Jokowi dan Masa Depan Demokrasi Indonesia
Diskursus Koran Solidaritas

Jokowi dan Masa Depan Demokrasi Indonesia

Diskursus Koran Solidaritas Edisi Ke-12

Undang-undang pemilu baru untuk siapa?

Setelah melewati perdebatan panjang, akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengesahkan Undang-undang  Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang akan menjadi aturan main pesta demokrasi Indonesia pada tahun 2019 yang akan datang.

Ada dua hal yang secara logika tidak masuk akal: pertama adalah mengenai upaya partai lama agar terhindar dari verifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai calon peserta Pemilu. Perihal kedua, terkait dengan ditetapkannya President Threshold sebesar 20% suara partai atau gabungan partai-partai, atau 25% kursi parlemen.

Sebenarnya tidak butuh menunggu lama untuk mengetahui keputusan tersebut. Partai politik lama sejak dulu memang lebih memilih cara instan untuk melanggengkan kekuasaannya. Hasil beberapa riset di penghujung tahun 2016 yang menunjukkan DPR RI dan partai politik adalah lembaga yang paling tidak dipercaya publik, seakan tidak sedikitpun membuat elit politik merasa terusik. Juga angka kedekatan atau identifikasi pemilih terhadap partai yang merosot jauh. Di mana pada tahun 1999 (data SMRC) jumlah pemilih yang menyatakan sudah memiliki afiliasi partai sebesar lebih dari 70%. Kini pada tahun 2016 hanya sekitar 17% pemilih menyatakan sudah memiliki afiliasi partai politik.

Namun mungkin benar kata Nikita Krushcev, “politisi sama di mana pun, mereka selalu berjanji membangun jembatan, meski ditempat itu tidak ditemukan sungai.” Undang-undang Pemilu jelas adalah sebuah lelucon paling anyar dari gedung DPR RI yang konon bangunannya sudah agak miring itu.

Betapa tidak, jelas, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa verifikasi partai poilitik sebagai peserta Pemilu itu berlaku sama, antara parpol baru maupun lama. Logikanya sederhana, apakah Partai Golkar tidak pernah mengganti kepengurusan sejak lima tahun yang lalu, jika ada pergantian siapakah yang bisa memastikan bahwa kepengurusan Partai Golkar memenuhi syarat keterwakilan 30% perempuan, misalnya.

Pertanyaan lain, adakah yang bisa memastikan jumlah kantor Partai Hanura sudah mnemenuhi persyaratan 100% Provinsi, 75% Kab/Kota dan 50% Kecamatan di seluruh Indonesia? Pasca pertikaian antara WIranto dan Hary Tanoe misalnya. Atau kisruh yang melanda PPP, apakah kepengurusan yang kini ada, adalah kepengurusan yang sah secara ketentuan undang-undang? Atas dasar itulah maka MK memutuskan verifikasi ulang seluruh parpol, baik yang baru maupun yang lama.

Berikutnya lebih lucu lagi, syarat mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2019 adalah yang bersangkutan harus diusung minimal 20% suara partai atau gabungan partai-partai, atau 25% jumlah kursi di parlemen. Bukankah MK memutuskan Pilpres dan Pileg diadakan bersamaan? Lalu darimana penetapan dukungan suara partai dan kursi parlemen?

DPR RI menyatakan bahwa itu diambil dari hasil perolehan suara Pemilu 2014 yang lalu. dengan demikianm partai baru tidak akan mungkin bisa mencalonkan calon presiden dan wakil presiden pada tahun 2019 yang akan datang. Harus diketahui bahwa jumlah pemilih pemula pada tahun 2019 yang akan datang kurang lebih berjumlah 15%, yang artinya mereka adalah bukan pemilih pada tahun 2014. Lalu apakah hak mereka dalam mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2019 bisa dihilangkan? Saya rasa ini adalah hak warga negara yang esensial dan substantif.

Skenario dua dan tiga pasang

Jokowi masih berada dipuncak tertinggi survei Mei 2017 yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC). Sebanyak 32% pemilih masih akan memilih Jokowi jika Jokowi maju kembali sebagai kandidat presiden. Namun jika berhadapan head to head antara Jokowi dan Prabowo Subianto, maka posisi suara tidak jauh berbeda dengan hasil Pilpres 2014 yang lalu. Jokowi unggul 55% dan Prabowo Subianto 45%, hanya terpaut 10% dengan masih tersisa dua tahun untuk masing-masing bekerja.

Sebagai oposisi, Prabowo sangat leluasa untuk terus memupuk kritik dan kekuatan oposisi yang kecewa terhadap pemerintahan Jokowi-JK, sementara Jokowi harus berbagi dengan tugas kenegaraan dan keribetan ‘mengeloni’ anggota koalisi yang masing-masing punya kepentingan yang berbeda.

Pasca pertemuan SBY dengan Prabowo Subianto, muncul spekulasi bahwa akan terjadi koalisi besar dipihak opsosisi yang akan menghadang kemenangan Jokowi pada pilpres mendatang. Juga ada yang mengatakan, bahwa pertemuan itu membahas tentang bagaimana untuk memecah basis suara Jokowi dengan mengajukan pasangan calon ketiga.

Pendukung nasionalis tentu sangat sulit untuk dialihkan dari Jokowi, satu-satunya jalan untuk menjegal Jokowi adalah dengan memecah kekuatan Islam Moderat yang selama ini masih setia berpihak pada pemerintahan Jokowi. Kelompok Islam tradisional seperti Nahdhatul Ulama mungkin sudah tidak masuk dalam hitungan mereka. Namun diluar itu masih mungkin dilakukan.

Keluarnya Perppu Pembubaran Ormas membawa suasana yang cukup hangat di akar rumput. Kelompok Islam Moderat, yang masih berdiam diri, dalam hal ini Muhammadiyah adalah satu kekuatan yang tidak mudah untuk diikat. Ini dikarenakan organisasi yang besar dan kultur yang tidak hirarkis dan feodal.

Wacana kedekatan Muhammadiyah dengan paham Wahabi secara sistematis dihembuskan untuk mendesak Muhammadiyah mengeluarkan sikap yang jelas. Seakan rejim Jokowi yang melakukan desakan itu, padahal ini bisa jadi adalah salah satu isu yang dihembuskan untuk mengelabui opini publik. Dengan harapan, Muhammadiyah kesal dengan pemerintahann Jokowi dan akhirnya pada tahun 2019, mengalihkan dukungan kepada siapapun “selain Jokowi.” Keadaan itu sudah cukup membantu agar penggerusan terjadi pada suara kubu Jokowi, sementara pihak oposisi bisa utuh tanpa tergerus.

Nama Anies Baswedan yang belakangan mulai sering berkunjung ke wilayah di luar Jakarta, seakan sinyal bahwa Anies bukan lagi sekedar Gubernur DKI Jakarta (yang belum dilantik), namun ini adalah sebuah persiapan untuk menuju ken jenjang yang lebih tinggi yakni tahta presiden. Ini bukan tidak mungkin, karena  jika ingin menggerus suara pro-Jokowi maka Anies adalah pilihan yang tepat. Suara Anies, tidak mungkin menggerus suara Gerindra dan lainnya. Jika ini terjadi, ada baiknya Jokowi mulai merapatkan barisannya. Baik  Poros Gerindra, Poros Demokrart dan Poros PDIP, tidak akan ada yang bisa memastikan hasil akhir Pemilu 2019.

Satu capres, seribu wapres

Dibawah komando Prabowo Subianto, memutuskan cawapres bukanlah hal yang sulit, namun tidak demikian jika hendak memutuskan siapa cawapres yang akan mendampingi Jokowi kelak. Ini dilema tersendiri yang muncul dari syarat dukungan 20% suara untuk pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.

Meskipun suara bulat mendukung pencalonan kembali Jokowi menjadi Capres 2019 sudah jauh hariu diumumkan oleh beberapa Parpol: Golkar termasuk yang pertama, lalu partai baru PSI, disusul Hanura dan PKPI. Sementara beberapa partai lainnya, termasuk PDIP mungkin hanya menunggu waktu untuk mengumumkan dukungannnya.

Tapi bukankah capres dan cawapres adalah satu paket yang akan dicantumkan di kertas suara? Bagaimana jika salah satu partai pendukung tidak setuju dengan nama Calon Wapres yang akan mendampingi Jokowi? Nasdem dan Partai Amanat Nasional sudah lebih dulu menyebut nama Gatot Nurmantyo, Panglima TNI sebagai nama yang pantas mendampingi Jokowi.

Tentu menarik untuk menunggu bagaimana dinamika pengajuan nama cawapres, besar kemungkinan keputusan akhir akan kembali ke tangan Megawati Soekarnoputri. Namun karena adanya syarat dukungan parpol, maka PDI-P tidak serta merta memegang kendali koalisi, Jokowi kembali akan disandera oleh kepentingan parpol. Celakanya, kadang partai yang memperoleh suara kecil kadang lebih galak dari pemilik suara terbanyak.

Pemilu 2019: perebutan suara diluar dan di dalam Koalisi Jokowi

Pasca aksi demonstrasi 411, 212 dan sejenisnya, juga kalahnya Ahok-Djarot dalam Pilkada Jakarta tentu bisa memberikan gambaran bahwa peta pertarungan suara akan memperebutkan suara Islam Moderat. Bisa dipastikan barisan Islam yang selama ini berjaringan dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) akan berafiliasi dengan kubu oposisi, begitu juga dengan yang memang sudah sejak awal tidak memilih Jokowi, kembali akan merapat ke kubu oposisi.

Barisan Nahdhatul Ulama, meskipun tidak seluruhnya mendukung Jokowi, namun mereka merasa memiliki kewajiban untuk berada pada kubu berseberangan dengan kubu yang didukung oleh Islam yang beraliran takfiri atau anti keragaman. Bagi mereka, negara dan keislaman adalah hal yang tidak bisa dipertentangkan satu dengan yang lain.

Masih banyak lagi suara Islam moderat di seluruh Indonesia yang belum tentu mengalir ke Jokowi. Di sinilah pertarungan sesungguhnya akan terjadi. Tercatat sebaran mereka mulai dari Sumatera, Jakarta, Jawa Tengah, Jogjakarta, Solo dan beberapa kota besar lainnya. Ini adalah kantong-kantong perebutan kursi dan suara.

Dilema tersendiri akan terjadi di kubu Koalisi Indonsia Hebat (KIH), partai yang bernafaskan Islam mayoritas dikuasai PKB, sementara kubu nasionalis akan terbagi ke PDIP, Nasdem, Hanura, PKPI dan pendatang baru PSI besutan Grace Natalie. Jika pemilih religus dan menyukai Jokowi, maka mereka akan memilih PKB, sementara jika dia seorang nasionalis maka belum tentu pilihannya jatuh ke PDIP, bisa jadi ke PSI sebagai alternatif baru.

Artinya sebenarnya, bisa terjadi kejutan dalam Pemilu 2019 yang akan datang, terutama dalam konfigurasi perolehan suara Partai Politik untuk legislatif. Semakin Partai yang kini memiliki kursi di DPR RI menunjukkan wataknya yang arogan, maka peluang partai baru untuk mendapat simpati publik akan sangat besar.

Jokowi, PDIP dan PSI

Jokowi pasti akan sedikit direpotkan oleh syarat dukungan 20% suara Parpol dan 25% kursi DPR RI. Bukan karena sulit mendapatkan dukungan 20% suara, namun karena harus kembali melakukan kompromi politik dengan partai-partai pendukungnya. Jokowi dengan kerja yang luar biasa cepat, diikuti dengan pemerintahan yang bersih dan komitmen kuat menjaga keutuhan NKRI dan Pancasila, tampak sangat selaras dengan apa yang memjadi pegangan teguh Megawati Soekarnoputri.

Namun, PDIP sebagai partai politik tampaknya tidak begitu mampu melakukamn kapitalisasi kekuatan itu, dalam beberapa kesempatan PDIP tampak seperti berseberangan dengan keputusan pemerintah. Dalam hal komitmen pemberantasan korupsi dan perlawanan terhadap Intoleransi, tampak PSI lebih mampu melakukan inovasi gerakan, apalagi kekuatan media social mereka sudah jauh melampaui partai lain. Menurut data INTRANS per Maret 2017, jumlah audiens dan keterlibatan orang di media social, menempatkan PSI sedikit lebih unggul dari PDIP dan kini berada di posisi kedua di bawah Partai Gerindra. Sementara PDIP dibayang-bayangi oleh PKS dan Demokrat.

Kelebihan PSI adalah karena mampu menunjukkan dirinya sebagai satu-satunya partai Baru dan muda. Konsistensi pesan, inovasi teknologi, komunikasi politik, dan keberanian melakukan gesekan politik menjadi catatan penting bagi partai lainnya. Namun tentu PSI tidak mudah untuk merebut brand “berpengalaman di pemerintahan” yang dimiliki oleh PDIP misalnya. Namun “berpengalaman” bisa menjadi konotasi negatif jika tidak dikomunikasikan dengan baik oleh PDIP.

Jokowi membutuhkan suara kelompok nasionalis, dan itu mayoritas akan diambil oleh PDIP, begitu juga Jokowi membutuhkan PKB, jika bisa PAN dengan tentu mengharapkan gerbong pemilih Muhammadiyah ikut serta didalamnya (meski PAN tidak pernah merupakan saluran suara tunggal Muhammadiyah).

Dan. mengingat angka bonus demografi Indonesia yang menempatkan pemilih muda sebagai pemilik suara mayoritas di 2019, maka suka tidak suka Jokowi membutuhkan PSI untuk berada dibarisan pendukungnya.

Menghadang populisme kanan

Pilkada DKI Jakarta ternyata tidak begitu berpengaruh terhadap konfigurasi pilihan politik di tingkat nasional. Namun meski demikian, setidaknya Jokowi harus lebih waspada dan taktis, sebab kekuatan yang sama akan dihadapinya di Pemilu 2019 yang akan datang. Membubarkan HTI tentu tidak cukup, namun bagaimana melakukan konsolidasi politik terhadap relawan-relawannya yang kini tersebar dimana-mana. Begitu juga merapikan kembali struktur koalisinya dengan menghitung kekuatan dan potensi suara lain yang belum pernah serius terpikirkan karena sibuknya kerja kenegaraan.

Jokowi pasti sudah paham, bagaimana fakta pemilih Jakarta yang begitu rasional bisa kalah oleh sebuah gerakan pemenangan yang nyaris tidak terduga akan digunakan pihak lawan Ahok dan Djarot saat itu. Dalam politik cara lama selalu digunakan, namun dengan nama dan inovasi yang lebih baru. Persoalannya ini bukan hanya fenomena di Indonesia, tapi juga di Amerika Serikat dengan kemenangan Trump, dan juga ketika jajak pendapat di Inggris mengakhiri keanggotaan Inggris dari Uni Eropa.

Yang bisa kita lihat dari tiga kasus: Brexit di Inggris, Trump di Amerika, dan Anies-Sandi dalam Pilkada DKI Jakarta adalah bahwa kemenangan itu selalu menunggangi ketakutan yang paling mendasar dari identitas satu bangsa atau keyakinan. Ketika ketakutan itu mampu menarik ketakutan, trauma dan phobia yang langsung beririsan dengan identitas primordial, maka rasionalitas dalam menjatuhkan pilihan politik tidak akan bisa diprediksi dengan cara biasa.

Hal itu diperparah dengan kegagapan kaum pro-demokrasi untuk menjawab tuduhan-tuduhan teoritik mengenai kedekatan demokrasi dengan kapitalisme yang kemudian juga melahirkan ketimpangan sosial dan ekspolitasi dimana-mana. Demokrasi juga mendapatkan kritikan tajam, bagaima mungkin sistem demokrasi mampu melahirkan perang dan arogansi politik diberbagai belahan dunia. Apalagi jika kemudian demokrasi juga dituding sebagai penyebab terjadinya perpecahan politik di Jazirah Arab yang meningkatkan ketegangan Timur dan Barat, serta juga dunia Islam dengan dunia lainnya.

Namun disela ketegangan dunia baru itu, muncul fenomena Jokowi di Indonesia, Trudeau di Canada  dan Macron di Perancis. Secara singkat ketiganya mencoba mengambil alih kendali demokrasi dengan menorehkan kemenangan yang mengesankan di negara masing, masing. Mereka hendak mengakhiri sinisme banyak orang terhadap demokrasi. Mereka menunjukkan bahwa selain hal yang buruk, demokrasi masih melahirkan juga hal-hal yang baik.

Demokrasi tidak pernah menutup pintu harapan, sekecil apapun itu, setiap kemungkinan bisa menjadi kenyataan baru.

Oleh Ramli Husein

Pemimpin Redaksi Koran Solidaritas

Koran Solidaritas

Republikanisme Milenial: Kelahiran Kembali Solidaritas Kebangsaan
Diskursus Koran Solidaritas

Republikanisme Milenial: Kelahiran Kembali Solidaritas Kebangsaan

Diskursus Koran Solidaritas Edisi 11, 2017

Oleh Ramli Hussein
Pemimpin Redaksi Koran Solidaritas

Indonesia sebuah Solidaritas berwujud Republik

Indonesia hanyalah gambaran abstrak dalam benak para pejuang di bawah penjajahan dan eksploitasi Kerajaan Belanda. Harus diakui, nama HOS Tjokroaminoto merupakan orang yang paling serius menyiapkan kelahiran negara bangsa ini.

Di rumahnya, Gang Peneleh, Surabaya, Tjokro menanam benih-benih mimpinya. Tjokro seakan sudah merancang identitas kebangsaan itu sejak dini. Dari rumahnya lahir Muso, Agus Salim, Soekarno, Semaun, Darsono, Kartosoewiryo, Sampoerno, Abikoesno dll. Belakangan, anak-anak kos itu mencatatkan namanya sebagai tokoh-tokoh kunci dalam menyambung upaya Tjokro “membayangkan Indonesia.”

Di saat yang sama geliat dari kaum priyayi terpelajar mulai bangkit dengan berdirinya Boedi Oetomo pada tahun 1908. Dimotori Ki Hajar Dewantara, Douwes Dekker atau Setiabudi dan Dr. Soetomo, Boedi Oetomo berdiri dan bergerak pelan membangun kesadaran persatuan suku bangsa di nusantara.

Mimpi Boedi Oetomo dan mimpi dari Gang Peneleh (termasuk Sarekat Islam, Komunis, Sosialis dan Nasionalis) akhirnya saling bergayung sambut. Pada tanggal 28 Oktober 1028, Sumpah Pemuda dibacakan diiringi gesekan biola Wage Rudolf Supratman. Teks lagu Indonesia Raya pertama kali dipublikasikan oleh koran Sin Po dan rekamannya diperoleh pertamakali dari seorang pengusaha Tionghoa bernama Yo Kim Tjan.

Republik Indonesia adalah wujud solidaritas yang menjadi ciri khas republikanisme ala Indonesia. Makna republikanisme Indonesia tidaklah serupa ketika Cicero pertamakali menyebutnya, menurut Bung Karno republikanisme Indonesia adalah Res Publica yang bergerak tidak hanya di lapangan politik, tapi diseluruh lapangan politik, ekonomi, pemerintahan juga sosial.

Jadi, bicara tentang NKRI maka pada saat yang sama makna republik di sini adalah negasi dari segala bentuk yang berupaya menempatkan satu golongan, satu etnis, satu agama menjadi poros bagi identitas yang lain. Dalam bayangan tentang Indonesia, niat itu tidak relevan dan tidak memiliki tempat. Bahkan ketika kontestasi demokrasi dimenangkan oleh satu kelompok mayoritas dalam perolehan suara, UUD 1945 telah menutup kemungkinan perubahan itu dengan penjelasan pasal bentuk negara adalah satu-satunya pasal yang tidak boleh diubah.

Sekali lagi Res Publica!

Res Publica, sekali lagi Res Publica! Adalah judul pidato Bung Karno di hadapan Konstituante pada tanggal 22 April 1959 yang menjadi sejarah kembalinya Indonesia ke UUD 1945. Yudi Latif memberikan definisi tentang republikanisme sebagai berikut “Ide sentral dari republikanisme adalah penemuan kerangka solidaritas politik yang mampu melayani kepentingan umum sekaligus menjamin terjadinya integrasi sosial dari masyarakat yang mengalami ragam perbedaan.

Proyek republikanisme berusaha mewujudkan pengakuan politik (political recognition) dan politik pengakuan (politics of recognition) yang menjamin hak individu maupun kesetaraan hak dari aneka kelompok budaya sehingga bisa hidup berdampingan secara damai dan produktif dalam gelanggang republik.”

Republikanisme yang didasari pada solidaritas politik saling mengakui dan diakui sebagai entitas yang sama telah lahir lebih dulu sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) lahir. Republikanisme yang menginspirasi kemerdekaan Indonesia, republikanisme yang bukan keseragaman tapi pengakuan keragaman melalui sebuah pengakuan hak dan kewajiban yang sama. Republikanisme ini disemai oleh Boedi Oetomo, oleh penghuni Gang Peneleh, oleh Kongres Pemuda. Republikanisme yang didasari oleh musyawarah mufakat dalam Sidang BPUPKI, semangat Res Publica yang pada tanggal 17 Agustus 1945 “menyatakan dengan ini kemerdekaan Indonesia”.

NKRI termasuk struktur pemerintahan di dalamnya adalah sebuah sebab atau konsekuensi dari Republikanisme Indonesia. Karenanya dalam Pembukaan UUD 1945 disebutkan “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia,” di sini kata Republik belum digunakan sebagai penegasan bahwa NKRI adalah alat dari bangsa Indonesia untuk meraih cita-cita kemerdekaannya. Baru pada kalimat berikutnya ditemukan “maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat.”

Sekali lagi Republik Indonesia adalah pemerintahan yang dibentuk sebagai alat operasi kemerdekaan Indonesia, dengan kadaulatan rakyat sebagai sumbu utama.

Pribumi Hoax dan Kaum Khilaf Ah!

Berhembus dari rontoknya rejim totaliter di jazirah Arab, sebuah gagasan yang mencoba menyatukan manusia dari berbagai negara bangsa ke dalam sebuah sistem politik dengan poros agama Islam sebagai dasar negara, muncul di Indonesia. Ide Khilafah Islamiyah murni merupakan dinamika kontemporer yang baru masuk ke Indonesia akibat terdesak. Ide negara khilafah bahkan tidak menemukan jejak sejarahnya dalam kegiatan membayangkan Indonesia. Konsep Khilafah benar-benar adalah kekhilafan para tamu yang ingin menguasai rumah yang telah menerima dan menjamu mereka dengan baik.

Tamu bernama Khilafah Islamiyah ini lalu mencoba mencocok-cocokkan identitas mereka dengan penduduk kampung dengan maksud agar mudah diterima. Pencariaan mereka buntu setelah membaca risalah Sidang BPUPKI, di mana perdebatan tentang Negara Islam tidak pernah ada, yang ada hanya perdebatan teks semantik yang akan dicantumkan dalam UUD 1945. Itupun kemudian berujung pada musyawarah mufakat para tokoh Islam, keputusan diambil tanpa voting. Di tengah keputusasaan itu, mereka menemukan kosa kata “pribumi” untuk mulai menebar permusuhan dan mengambil alih kepemilikan dari tangan tuan rumah.

Sayangnya, kosa kata pribumi yang dekat dengan makna asli itu sudah lama dibahas oleh kaum republikan. Jejak perdebatannya bisa ditemui dalam Risalah Sidang BPUPKI/PPKI ketika membahas tentang tafsir warga negara Indonesia asli. Dalam Pasal 6 ayat 1 UUD 1945 disepakati kata warga negara Indonesia asli memiliki pengertian “Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.” Pasal ini kemudian di amandemen pada tahun 2002, seiring semangat reformasi kata “asli” dihapuskan dan disertai penjelasan “orang Indonesia yang menjadi warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri.”

Bahkan ketika kita menafikan konsitusi UUD 1945 sebagai kesepahaman hukum untuk hidup bersama, dalam konteks antropologis juga tidak ditemukan jejak penghuni asli nusantara kecuali ditemukan jejak homo erectus dan homo sapiens sebagai manusia pertama yang menduduki bumi nusantara yang kini bernama Indonesia, bahkan migrasi dari dataran Tiongkok masuk lebih dulu dari migrasi manusia dari jazirah Arab ke Nusantara.

Dari jejak antropologis yang secara ilmiah menyatakan tidak ada penghuni asli di bumi Indonesia, maka pijakan satu-satunya adalah sejak NKRI dideklarasikan sebagai negara merdeka 17 Agustus 1945. Maka jelas bahwa Pribumi atau Warga Negara Asli NKRI wajib merujuk ke Pasal 6 ayat 1 UUD 1945 amandemen ketiga beserta penjelasannya.

Minoritas Kreatif vs Kaum Republikan

Kelompok minoritas kreatif secara konsisten sering digunakan oleh Eep Saefullah Fatah, seorang intelektual muda, pengajar di Universitas Indonesia, namun gagal meraih gelar doktoralnya lalu kembali ke Indonesia mendirikan sebuah konsultan politik. Sejak tahun 2000 dalam bukunya “Mencintai Indonesia dengan amal” Eep sudah menggunakan istilah minoritas kreatif untuk memulai wacana penggalangan kekuatan oposisi setelah Megawati dan GusDur membentuk Kabinet Pelangi yang mengkomodir seluruh partai sehingga tidak ada kekuatan oposisi di parlemen.

Istilah minoritas kreatif secara konsisten digunakan Eep, bahkan mungkin diyakininya. Eep mungkin pertamakali mendengarnya dari Prof. Ahmad Suhelmi, Guru Besar UI yang mendalami tentang perseteruan kelompok nasionalis dan Islam di Indonesia. Kata minoritas kreatif lalu disambut luas oleh PKS, inspirasinya dari kultwit Eep yang diberi judul “Perdaban besar dan Minoritas kreatif.” Kata minoritas kreatif lalu diyakini Eep sebagai resep mengalahkan Ahok di Pilkada DKI Jakarta.

Kata minoritas kreatif ini sudah dikupas oleh Arnold J. Toynbe, sejarahwan dari Inggris pada sekitar 1934-1961. Toynbee menyebutkan bahwa keberadaan kelompok minoritas kreatif adalah sekelompok manusia yang berpikiran maju dan berbeda sehingga memungkinkan manusia keluar dari gaya hidup primitif. Eep juga mengutip Toynbee namun memuja keberhasilan Partai FIS di Aljazair merebut kekuasaan. Eep mengabaikan Toynbee, bahwa minoritas kreatif adalah kelompok yang memberikan kontribusi kepada publik, untuk membawa transformasi dari keadaan yang satu ke keadaan lain yang lebih maju.

Dalam kasus Pilkada DKI Jakarta, justru sebaliknya, cara-cara pemenangan politik yang primitif digunakan di era demokrasi modern, wajar jika akibat yang ditimbulkan malah destruktif. Masyarakat dipaksa untuk berhadap-hadapan dengan menggunakan fasilitas masjid untuk pemenangan politik.

Menerjemahkan kreatifitas sebagai penggunaan cara-cara primitif adalah penyimpangan dari makna minoritas kreatif itu sendiri. Minoritas kreatif seperti itu justru adalah kebuntuan kreatifitas dalam konteks negara Indonesia. Namun hal ini tidak sepenuhnya bisa dipersalahkan kepada mereka, kekuasaan orde baru selama 32 tahun telah meninggalkan lubang ideologi yang menganga.

Depolitisasi dan deideologisasi yang dilakukan orde baru membuat makna NKRI justru mengalahkan kepentingan publik. Rakyat dalam konsepsi Orba adalah subrodinat dari NKRI, jauh berbeda dari makna rakyat dalam republikanisme yang tertuang dalam UUD 1945.

Demokrasi Tanpa Republikanisme

Kemunculan tamu tak diundang dalam kehidupan bangsa Indonesia, bukan saja karena konteks Indonesia yang terintegrasi dengan dinamika internasional dan regional, bukan hanya berbentuk datangnya kaum dan ideologi Khilaf Ah, tapi juga bisa berbentuk individualisme dan sektarianisme.

Persoalan keadilan sosial dan ekonomi yang belum mampu diselenggarakan oleh pemerintah juga menjadikan isu pribumi dan non pribumi muncul sebagai ekspresi ketidakadilan ekonomi akibat sistem pasar yang buas dan kapitalistik. Ekonomi dunia yang berubah kemudian membawa perubahan besar dalam konteks ekonomi politik kawasan. Bandul ekonomi yang membawa China, India, Korea Selatan dan Rusia kembali ke papan atas membuat pilihan pemerintahan Jokowi lebih bervariasi, meski masing-masing memiliki konsekuensi dan berimbas pada dinamika politik dalam negeri.

Visi menempatkan Indonesia menjadi poros maritim dunia, membuat Presiden Jokowi mengebut infrastruktur dan konektivitas antar wilayah sebagai prasyarat utama jika ingin membalik visi pembangunan nasional dari darat ke laut. Nawacita sebagai poros nilai pemerintahan Jokowi tampaknya tertinggal dari visi pembangunan. Hal ini menyisakan ruang kosong yang memungkinkan serangan ideologis terhadap pemerintahannya untuk masuk. Namun Jokowi masih punya konstitusi dan Pancasila sebagai benteng terakhir untuk menyelesaikan sisa masa pemerintahannya.

Presiden Jokowi sudah lebih dulu memberikan peringatan dengan menyatakan “Demokrasi kebablasan,” tentu pernyataan ini mengingat fakta sejarah bahwa rejim Hitler bersama NAZI juga lahir dari proses Pemilu yang demokratis. Begitu juga dengan fenomena di Mesir, Aljazair dan Suriah. Pilkada DKI Jakarta adalah sinyal tanda bahaya bahwa kemungkinan prosedur demokrasi digunakan oleh kelompok anti demokrasi untuk membelokkan dasar negara bisa saja terjadi.

Itu adalah fenomena Demokrasi tanpa republikanisme, atau lebih tepatnya Pancasila tanpa Kaum Republikan, di mana prosedur demokrasi dibajak oleh kelompok intoleran dan anti demokrasi. Demokrasi tanpa republikanisme juga memungkinkan nilai Res Publica atau kebajikan bersama dibajak oleh kelompok politik tertentu yang menunggangi pemilu untuk kepentingan yang lebih sektarian.

Republikanisme Milenial: Kelahiran Solidaritas Kebangsaan Baru

Solidaritas adalah saudara kandung Republikanisme Indonesia, dia lahir bersama kemerdekaan rakyat Indonesia. Solidaritas itu tumbuh dalam tradisi musyawarah mufakat, yang memungkinkan founding fathers negeri ini mencapai kata sepakat dengan menyingkirkan ego dan identitas kelompok demi kepentingan bersama. Solidaritas demi hidup bersama dalam damai dengan mengedepankan cita-cita mencapai keadilan sosial membuat Indonesia tidak kehabisan kaum Republikan yang beragama Islam.

Gus Dur merumuskan hakikat politik Islam dalam hubungan trilogis antara syura (demokrasi), ‘adalah (keadilan) dan musawah (persamaan). Artinya, tujuan politik  Islam ialah keadilan sosial dan persamaan hukum yang ditegakkan melalui demokrasi. Juga Buya Syafii Maarif yang menempatkan Islam Indonesia yang ditopang oleh tiga nalar: keislaman, kemanusiaan dan ke-Indonesiaan.

Tantangan Indonesia ke depan sebagai bangsa adalah bagaimana merawat Kemerdekaan Bangsa Indonesia beserta seluruh cita-citanya dalam pembukaan UUD 1945 melakukan revitalisasi nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika menjadi satu nafas dengan republikanisme. Dalam konteks pemerintahan Jokowi, ambisi menjadi poros maritim dunia haruslah berjalan bersamaan dengan Revolusi Mental dan Nawacita Jokowi. Persoalannya, baik Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan Nawacita membutuhkan agensi sebagai prasyarat operasi nilai di masyarakat. Dalam konteks memperkuat agensi pendukung nilai kebangsaan inilah republikanisme menjadi relevan.

Yudi Latif memberikan petunjuk sejarah dengan menyatakan “landas pacu (launchpad) cita-cita republikanisme ini adalah Sumpah Pemuda. Setelah aneka pergerakan etno-religius gagal menyatukan berbagai keragaman posisi, determinasi dan aliran ke front perjuangan bersama (historical bloc), terbitlah kesadaran baru di kalangan pemuda-pelajar dari berbagai daerah untuk mengakui komunitas impian bersama: bangsa Indonesia.” Dengan kata lain, anak muda adalah sumbu utama dari kelahiran kembali republikanisme Indonesia yang baru.

Generasi milenial yang tidak seperti definisi minoritas kreatif yang digunakan Eep, sedang tumbuh menjadi mayoritas akibat bonus demografi. Mereka terkoneksi dengan sitem komunikasi dan gaya hidup yang sama sekali berbeda. Ekspresi pembongkaran kreatif (creative destruction) mereka bertranformasi dengan cepat, ekspresi kreatif ini menerobos (dalam Bahasa Yudi Latif) kecenderungan serba ragu, konformis, parokialis, dan status quois generasi tua. Keberanian kreatif ini merupakan energi yang sangat besar, ini bukan merupakan gumpalan generasi yang tidak suka pada hal-hal yang sektarian, namun pada saat yang sama juga tidak menyukai stagnasi dan kelambanan.

Kelahiran PSI misalnya adalah gelombang baru yang sama sekali menolak memiliki hubungan historis dengan partai politik lainnya. Begitu juga tumbuhnya generasi baru di Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, generasi industri kreatif, dalam dunia profesional. Semakin hari mereka menjadi barisan generasi yang bukan hanya sekedar marah, namun mampu menarik garis demarkasi dengan tradisi lama. Tentu pemerintah Indonesia perlu untuk menunjukkan keberpihakan kepada generasi milenial ini, itu jika Jokowi ingin mendapatkan dukungan luas dan kembali menjadi presiden pada Pemilu 2019.

Ahok tampaknya telah lebih dulu menjadi salah satu figur yang menyediakan diri untuk membidani lahirnya Kaum Republikan Indonesia baru. Jutaan lilin dari segala penjuru negeri adalah bentuk solidaritas kaum milenial yang menolak tunduk pada logika-logika sektarian, nalar pribumi vs non pribumi, nalar minoritas kreatif dan cara-cara curang yang dipraktekkan segelintir orang.

Indonesia kini sangat bergantung pada Kaum Republikan Millenial yang membawa lilin solidaritas baru yang menolak pengkhianatan terhadap Res Publica.

https://galeri.psi.id/koran-solidaritas/item/download/22_7e84eef99f40efc8fca2e8d0266e97c4

Kita Bukan Korban Tapi Justru Pemerkosa!
Diskursus

Kita Bukan Korban Tapi Justru Pemerkosa!

Kolom Kebudayaan Koran Solidaritas Edisi X, Mei 2016

Oleh: E.S. Ito

Senin 4 April 2016, bendera Merah Putih berkibar di halaman SMP Padang Ulak Tanding. Betapa bahagianya siswi itu melihat bendera yang baru saja dicucinya sekarang melambai gagah di angkasa. Pada saat masuk kelas perasaannya semakin berbunga-bunga. Dia menghamparkan taplak meja yang kemarin juga dibawanya pulang sama bersihnya dengan sang bendera. Sayangnya, tidak ada Senin untuk YY setelah Sabtu kelabu itu.

Sabtu 2 April 2016, YY pulang sekolah dengan satu tugas istimewa mencuci bendera merah putih dan taplak meja dari sekolah. YY mungkin belum tahu bahwa 70 tahun yang silam seorang gadis dari Bengkulu lah yang menjahit bendera pusaka merah putih dari kain taplak meja. Ibu negara kita Fatmawati.

Empas belas remaja yang menghadangnya tentu tidak peduli dengan semua ini. Sebab lewat televisi, Jakarta tidak mengajarkan mereka untuk beradab tetapi malah mendorongnya jadi biadab. Empat belas remaja ini adalah KITA yang terbiasa mempertontonkan keberingasan,
fitnah, kesewenang-wenangan dan beragam kebiadaban lain yang kita anggap benar karena diamini media. Sementara YY adalah MEREKA yang hidupnya diabaikan, ditindas dan diperkosa hanya karena tidak bisa bersuara.

Andai saja harapan di daerah seperti Rejang Lebong seluas imaji yang ditampilkan dalam televisi. Tentu empat belas remaja tanggung ini tidak perlu ada. Sayangnya, Rejang Lebong tidak ada bedanya dengan ratusan daerah lainnya di Indonesia. Hanya satu cita-cita yang ada, yaitu jadi Pegawai Negeri Sipil, pekerjaan lain hanyalah ketentuan nasib belaka.

Cerah langit penjuru Indonesia hanya fatamorgana yang menyelimuti gelapnya cita-cita para remaja. Dan empat belas remaja laknat itu bahkan tidak perlu mabuk Tuak untuk melampiaskan kebejatannya. Sebab dalam gelap nasib mereka, kejahatan tinggal menunggu waktu. YY telah kembali padaNya, sesuatu yang istimewa mungkin telah menunggunya di alam sana. Jauh lebih indah dari impian tertinggi YY.

Empat belas remaja tanggung itu sepanjang hidupnya akan sibuk mencari dalih dari kebejatan mereka. Dan mereka (sebagaimana KITA), pelan-pelan akan memaafkan diri sendiri dan melupakan peristiwa ini.

Hukuman Pemerkosa, Berkaca pada India
Diskursus

Hukuman Pemerkosa, Berkaca pada India

Opini Koran Solidaritas Edisi X, Mei 2016

Oleh: Merry Magdalena*

Setiap kali ada kasus perkosaan brutal, selalu muncul teriakan untuk menghukum mati pemerkosa. Setidaknya, memberi hukuman seberat mungkin, seperti kebiri atau hukuman seumur hidup. Itulah yang terjadi pasca kasus Yuyun, menyusul kemudian Eno, dan kebiadaban Sony Sandra asal Kediri. 

Publik, media massa, LSM, mendesak agar hukuman pemerkosa diperberat. Semua terakumulasi dari kasus-kasus perkosaan brutal sebelumnya. Yang paling gres, Presiden Jokowi akhirnya menandatangani Perppu tentang hukuman mati dan kebiri bagi pemerkosa anak, Perppu Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Muncul pertanyaan, apakah setiap tindak kejahatan akan berkurang setelah ancaman hukumannya diperberat?

Di India, para pemerkosa sejak 2013 mestinya berpikir panjang. Setelah negara itu diguncangkan oleh meningkatnya kasus perkosaan secara drastis, baru kemudian pemerintahnya menerapkan Anti Rape Bill sejak April 2013. Pada kasus berat, pelaku perkosaan bisa dikenai hukuman seumur hidup dan hukuman mati. Agaknya hukuman ini merupakan hasil desakan amuk massa dan media atas kasus perkosaan brutal massal terhadap Jyoti Singh, mahasiswi di New Delhi, Desember 2012. 

Kasus perkosaan di India sempat menjadi perhatian dunia, sejak kasus perkosaaan mengalami lonjakan sebesar 7,1 persen pada 2010. Mayoritas korbannya wanita di bawah umur. Tersiar kabar, setiap 20 menit terjadi kasus perkosaan di India. Media barat menjuluki India sebagai ibukota perkosaan dunia. 

Apakah diterapkannya Anti Rape Bill sejak April 2013 India sukses menekan kasus perkosaan? India Today merilis data pada September 2014, di negara itu terjadi 92 kasus perkosaan setiap hari. Bahkan peningkatan kasus perkosaan tetap “langgeng” , yaitu dari 24.923 kasus di tahun 2012, menjadi 33.707 pada 2013, menurut National Crime Records Bureau (NCRB).

Pada 23 April 2016, kembali merebak kasus perkosaan disertai pembunuhan sadis di Kerala. Korbannya seorang gadis dari kasta rendah. Yang membuat publik murka, tidak ada tindakan apapun dari kepolisian setelah berhari-hari kasus itu dilaporkan. Disinyalir, ketidakpedulian penegak hukum dipicu oleh status korban yang berasal dari kasta Dalit, kasta paling rendah di India. Sementara pelakunya berasal dari kasta lebih tinggi. 

Mei 2014, di Uttar Pradesh ditemukan dua wanita Dalit tewas digantung setelah diperkosa secara massal. Ada kecenderungan menjadikan wanita Dalit sebagai obyek perkosaan dan hukum seolah menutup mata. Lebih dari empat wanita Dalit diperkosa setiap hari di seantero India. Dalit Media Watch melaporkan, kasta terendah itu menjadi sasaran serangan pembunuhan, perkosaan dan penganiayaan setiap waktu. 

Berkaca dari India, terlihat bahwa seberat apapun ancaman hukuman atas pemerkosa, tidak akan menyurutkan kasus perkosaan. Apalah artinya penetapan hukuman gantung, tembak mati, kebiri kimia, kebiri fisik, atau apapun itu, selama para penegak hukum masih meremehkan kasus perkosaan? 

Saya pernah mengira, manusia paling sial di muka bumi ini adalah mereka yang dilahirkan sebagai wanita, miskin, dan bodoh. Ternyata ada yang lebih sial lagi, yaitu yang dilahirkan sebagai wanita, miskin, bodoh, dan berkasta rendah. Memang tidak ada kasta di Indonesia seperti halnya di India. Namun aparat, penegak hukum, pengambil keputusan, para pejabat, bahkan khalayak pada umumnya, masih memandang status sosial dan ekonomi. 

Bagaimana bisa Sony Sandra, seorang pengusaha kaya asal Kediri bisa memperkosa 58 gadis selama bertahun-tahun lamanya? Ada pembiaran, persekongkolan massal antar warga di sana yang “melegalkan” aksi biadab itu. Aparat pun kabarnya tidak bergeming. Setelah sekian lama, baru kasusnya dibawa ke meja hijau, dan menghasilkan vonis yang mengecewakan bagi para korban. 

Berkaca dari India, yang kita butuhkan bukan ancaman hukuman semata. Kita butuh kesadaran individu manusia untuk berhenti mengikuti nalar kebinatangannya. Termasuk aparat, penegak hukum, dan publik yang wajib menghentikan pembiaran atas aksi-aksi biadab atas nama uang dan kekuasaan.  

*.Penulis adalah Pendiri PoliTwika.Com

Deparpolisasi: Menagih Janji Partai Politik
Diskursus Kolom

Deparpolisasi: Menagih Janji Partai Politik

Diskursus Koran Solidaritas, Edisi IX – April 2016

Oleh: Ramli Hussein* 

Partai Politik Membawa Kerusakan

Jika memiliki kesempatan dan kekuatan, niscaya partai politik akan membungkam kekuatan politik lainnya untuk berkuasa secara tunggal disalah satu Negara. Demikianlah kekuasaan mampu membuat batas-batas baru yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Siapa yang membayangkan Partai kecil yang pada Pemilu Jerman tahun 1928  hanya mampu memperoleh 2,6% suara itu, kemudian menjadi kekuatan politik sekaligus tempur yang paling menakutkan dalam sejarah peradaban manusia. 

NAZI dibawah kepemimpinan Sang Fuehrer Adolf Hitler, keluar sebagai pemenang Pemilu Maret 1933 dengan perolehan suara 43,91%. Kesempatan itu tidak dilewatkan oleh Hitler, seluruh Partai Politik yang tidak setuju untuk tunduk dibawah kekuasaan Hitler dibubarkan, elitnya menjadi buron hingga ke Rumania dan Yunani. Partai Komunis dan Partai Sosialis menjadi sasaran utama kemarahan Hitler. 

NAZI berkuasa secara absolut hingga menggelar Pemilu November 1933 dengan perolehan suara sebesar 92,11%. Hitler bersama sekutu dekatnya, Mussolini dari Italia, menyulut perang di daratan Eropa, dendam Afrika yang dibawa pulang. Dalam waktu singkat mesin-mesin industri dan produksi Jerman disulap menjadi industri perang yang memproduksi pesawat tempur dan tank-tank dengan kecepatan tinggi. Teknologi yang oleh politik harusnya diatur dan dikelola sebagai alat kesejahteraan, oleh Hitler dijadikan industri mesin-mesin pembunuh berkualifikasi canggih dijamannya. 

Tidak butuh waktu lama, Hitler yang disokong oleh Mussolini Sang Tiran dari Italia, menguasai hampir seluruh daratan Eropa, kecuali Inggris Raya di ujung Barat benua dan Rusia di ujung Timur Eropa.  Jepang merasa siap untuk menjadi penguasa Asia, ekspansi dilakukan, Asia Tenggara, Korea, Taiwan dan akhirnya mendarat di Shanghai. Setelah menguasai China, meski belum sepenuhnya stabil, Jepang mulai maruk dengan melancarkan sebuah serangan Kamikaze ke pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbour. Perang dunia yang sebenarnya dimulai, Amerika Serikat ikut dalam dua perang sekaligus, di Eropa  melawan Italia dan Jerman, juga di Pasifik melawan Jepang.

Partai Politik Yang Membebaskan

Berbeda dengan Partai NAZI di Jerman yang membawa petaka bagi umat manusia, di Nusantara tahun 1912 lahir sebuah partai politik pertama bernama de Indishce Partij yang didirikan tiga serangkai Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, Ki Hajar Dewantara. Peletak pondasi pertama gagasan kebangsaan Indonesia, meski digagas oleh kelas Priyai, Indische Partij merajut perbedaan kelas sosial dan kelas ekonomi bangsa jajahan menuju gagasan persatuan nasional. Dalam perjalanannnya, Indische Partij memang tidak mampu mencapai cita-cita pendiriannya mengupayakan Indonesia merdeka, namun sebagai sebuah Partai Politik, IP telah meletakkan pondasi awal bangunan Indonesia Merdeka yang menjadi lebih bergairah pada tahun-tahun berikutnya, bahkan setelah ketiga pendiri IP dibuang ke tempat yang terpisah. 

Kedatangan para orang yang dibuang di Belanda. Duduk dari kiri: Tjipto Mangoenkoesoemo, Douwes Dekker, Soewardi Soerjaningrat, berdiri dari kiri: F. Berding, G. L. Topee, dan J. Vermaesen.  –  Sumber: indischhistorisch.nl

Pondasi utama yang diletakkan oleh IP adalah kemampuan untuk merasa setara. Meski didirikan oleh Priyai dan Indo-Belanda, namun IP menempatkan persamaan rasial dalam segala urusan politik dan pemerintahan adalah hal utama. Tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih rendah. Palajaran lain dari kelahiran IP adalah pentingnya perjuangan legal, yang terlihat kooperatif dan damai namun jelas tidak lebih mudah dari gerakan bersenjata yang membuat banyak nyawa dan kerugian lainnya berjatuhan. IP adalah inspirasi politik baru, sebagai organisasi moderen ketiga setelah Boedi Utomo dan Sarekat Islam, IP merupakan organisasi pertama di Nusantara yang mendeklarasikan diri sebagai partai politik. Dalam perjalanan menuju pembuangan masing-masing, disadari atau tidak, berkat IP telah lahir benih-benih pembebasan nasional baru, yang pada babak selanjutnya akan dimulai dari Gang Peneleh, di sebuah rumah milik HOS Cokroaminoto tokoh Sarekat Islam, ramuan berbagai ideologi dan gagasan Indonesia merdeka sedang diramu. Sebagian besar mereka akan menjadi pendiri-pendiri partai politik, dan mengantarkan Soekarno membacakan Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.

Afiliasi, Fusi, Koalisi dan Aliansi 

Gagasan deparpolisasi harus dibedakan dengan beberapa istilah politik lainnya seperti: Afiliasi, Fusi, Koalisi dan Aliansi. Meskipun semua istilah tersebut memiliki makna yang hampir sama namun berbeda dalam praktik. 

Afiliasi, istilah ini biasanya digunakan dalam struktur organisasi yang lebih kompleks. Maknanya adalah pertalian sebagai anggota atau cabang. Sering digunakan antara organisasi induk dengan organisasi sayap. Misalnya di Jerman, DGB sebagai konfederasi sarekat buruh terbesar di Jerman memiliki afiliasi politik (meski tidak resmi dan wajib) secara tradisional memiliki afiliasi politik dengan SPD Partai Sosial Demokrat Jerman. Jenis kerjasamanya adalah kesamaan platform dan program kerja, aspirasi buruh melalui DGB dititipkan kepada SPD yang memiliki perwakilan di Parlemen Federal, sebaliknya dalam Pemilihan Umum, DGB mempromosikan SPD ke kalangan anggotanya. Afiliasi merujuk pada hubungan yang imbang, meski kadang secara struktur independen namun cara pandang, ideologi dan program kerja menyatukan sebuah afiliasi politik.

Fusi, Indonesia pernah mengalami masa dimana pemerintah menjalankan politik penyederhanaan partai politik melalui jalan Fusi. Fusi artinya menyatukan secara total seluruh aktifitas, struktur dari dua organisasi atau lebih menjadi satu partai. Demi memantapkan visi Orde Baru yang mengutamakan stabilitas politik untuk percepatan pembangunan, maka diluncurkan paket Fusi Partai pada tahun 1973. Akhirnya dimulailah masa Demokrasi Pancasila versi Orde baru dengan hanya menyertakan tiga partai politik dalam setiap Pemilu, yakni: PPP (Partai Persatuan Pembangunan) merupakan penggabungan partai-partai politik Islam, yang terdiri dari NU, Parmusi, PERTI dan PSII. Kelompok kedua dilebur kedalam PDI (Partai Demokrasi Indonesia), partai yang dilebur menjadi PDI ini terdiri dari: PNI, Murba, IPKI, Parkindo, Partai Khatolik. Sementara Golkar diisi oleh tokoh-tokoh arsitek Orba dan juga petinggi militer. Sementara partai lain yang berhaluan Komunis dan Sosialis secara resmi dibubarkan: seperti PKI dan PSI. Fusi PPP dan PDI bukannya tidak menyisakan persoalan, dimanapun proses politik yang dipaksakan, atau Fusi yang tidak melewati hasil kesadaran akan menemukan keretakan dikemudian hari. Ini terjadi pada saat era Reformasi 1998, ketika Pemilu demokratis pertama digelar tahun 1999, partai-partai politik kembali bermunculan, pecahan dari hasil fusi 1973 mencoba meraih kembali eksistensinya di Pemilu 1999.

Koalisi sebenarnya memiliki makna yang dekat dengan Aliansi, keduanya bermakna kerjasama antara dua atau lebih partai politik, didalam atau diluar parlemen. Hanya saja koalisi biasanya lebih dimaknai sebagai kerjasama insidental untuk memenangkan sebuah kebijakan atau kelebihan suara hasil Pemilu. Contoh misalnya Koalisi Merah Putih dalam memenangkan Capres Prabowo Subianto melawan Koalisi Indonesia Hebat untuk memenangkan Jokowi dalam Pilpres 2014 yang lalu. Koalisi jarang yang bersifat permanen, demikian juga dengan aliansi. Hanya saja aliansi digunakan lebih banyak untuk hal yang bersifat programatik dan aksi nyata, misalnya Aliansi Bhineka Tunggal Ika, adalah gabungan beberapa organisasi untuk melakukan kampanye pro keragaman dan melawan bentuk intoleransi. Beberapa partai politik membaginya menjadi aliansi taktis dan aliansi strategis, ini hanya didasarkan pada durasi dan penting tidaknya sebuah aksi politik dijalankan.
Seluruh istilah tersebut bisa saja diseret masuk ke dalam konteks DEPARPOLISASI, sehingga dengan membenturkan kata deparpolisasi dengan keberadaan mekanisme calon independen merupakan sebuah simplifikasi yang bisa saja destruktif dalam diskursus demokrasi di Indonesia. Apalagi semangat kelahiran mekanisme calon independen karena justru ingin memberikan terapi serius terhadap partai politik yang semakin jauh dari mandat pendiriannya.

Catch All Party dan Deparpolisasi

Masa mengaburnya ideologi, berakhirnya konfrontasi bipolar (blok barat vs blok timur) pasca perang dingin membuat partai politik yang tadinya sangat ideologis, mulai kehilangan basis dukungan suara.  Otto Kirchmer mengambil contoh Partai Sosialis Jerman, pasca unifikasi Jerman, ditambah kehidupan ekonomi yang semakin baik, konfrontasi kelas sosial yang menjadi basis teoritik pengorganisasi buruh dan kader partai menjadi mengabur. Teori kelas sulit digunakan dalam meraih dukungan elektoral. Karenanya kemudian struktur partai yang ketata dan sentralis tidak mungkin bekerja efektif dalam era masyarakat yang terbuka. 

Hal yang sama terjadi di Indonesia, sejak Pemilu 1955 politik aliran masih sangat kental mewarnai pertarungan politik, bahkan perdebatan di media massa tidak kalah sengitnya. Islam, Nasionalis, Sosialis dan Komunis meletakkan Bahasa-bahasa politik aliran, wajar jika masa itu media partai politik oplahnya melebihi media massa umum. Pertarungan ini berhenti pada masa Orde Baru, terutama pasca fusi partai 1973. Orde Baru memegang kendali politik dan keamanan melalui Golkar dan Dwi fungsi ABRI. Namun politik aliran masih terasa pada saat  kebebasan politik kembali dibuka melalui Pemilu tahun 1999, politik aliran kembali  terasa meski tidak lagi banyak memakan korban seperti masa Orde Lama.

Pemilu 2004 membawa cerita baru, pasca jatuhnya Gusdur, gagalnya Amin Rais menanamkan pengaruh dan Megawati yang ketika memimpin juga tidak mampu merawat kecintaan publik pada saat itu. Pemilu 2004 mengantarkan figur Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden, padahal Partai Demokrat adalah partai politik baru dengan perolehan suara hanya 7,45% suara.

Apa ideologi Partai Demokrat? Apa rekam jejak Partai Demokrat? Apakah Partai Demokrat jauh lebih berjasa melahirkan demokrasi baru Indonesia disbanding PAN, PDI-P, PPP, bahkan dengan partai yang programnya melawan rezim militer dan otoritarianisme Soeharto seperti PRD dan PUDI pimpinan Sri Bintang Pamungkas? Jawabannya tidak sama sekali, yang terjadi adalah perubahan cara pandang pemilih dan juga mengaburnya politik ideologi di Indonesia.

Meski mayoritas beragama Islam, pemilih Indonesia secara konsisten tidak menjatuhkan pilihannya kepada partai bernafas Islam. Pun ketika Pemilu 1955 umat Islam Indonesia terbagi ke partai yang memilih partai Islam, lebih banyak mengidentifikasi dirinya sebagai nasionalis bahkan tidak sedikit yang menyatakan diri berhaluan sosialis dan komunis. Pasca depolitosasi dan deideologisasi Orde Baru, politik aliran sudah tidak relevan lagi, tentu saja unsur traumatik pasca tragedi kemanusiaan 1965, membuat pemilih sangat hati-hati menjatuhkan pilihan politiknya. 

Ilustrasi: Politik Pencitraan

Era poilitik pencitraan menjadi trend baru dalam kontestasi parpol pasca 2004. Adopsi teori marketing dan branding masuk kedalam praktek pemenangan politik menjadi hal yang biasa. Panggung yang tadinya diisi oleh guru kader partai sekarang diambil alih oleh para pengampuh kaidah-kaidah pemasaran modern. Bagaimana membaca perilaku pemilih dan menciptakan brand yang kredibel ditengah pertarungan partai-partai adalah diskusi baru yang membuat Pemilu di era Reformasi menjadi sangat berbeda dengan Politik masa-masa sebelumnya. Seluruh partai politik akhirnya bertaruh di spektrum tengah, hal ini dilakukan demi memperoleh cukup ruang gerak didalam menciptakan diferensiasi dengan parpol-parpol lainya. Jargon bertebaran, janji politik diproduksi, relevansi politik realitas terbenam dalam kreasi iklan dan alat peraga kampanye. Bahkan yang paling miris adalah prinsip “kalau tidak bisa jadi yang terbaik, jadilah yang terlucu meski terlihat bodoh” asal materi kampanye anda mendapatkan perhatian dan pembicaraan dipublik.

PKS yang tadinya sangat kuat bernafaskan Islam, akhirnya bergeser ke tengah dengan jargon Bersih dan Peduli, PDIP yang harusnya tampil Nasionalis Kerakyatan menggeser ke tengah dengan slogan partai wong cilik, hampir seluruh parpol bertarung di spektrum tengah. Perbincangan ideologi menjadi topik pinggiran yang tidak lagi relevan dan mempengaruhi dasar kebijakan politik dan program aksi. Ini yang disebut era catch all party, pada saat itu sebagian ruh Partai Politik sebenarnya sudah hilang.

Era Digital, Demokrasi dan Re-Radikalisasi

Belum lagi penyesuaian sedang berlangsung, partai yang sedang sibuk-sibuknya bertarung di spektrum tengah, tiba-tiba pemilih dilanda kebosanan dan depresi akibat krisis ekonomi. Menu politik yang tidak berbeda antara satu parpol dengan parpol lainnya membawa pemilih kedalam keadaan kehilangan gairah. Bagaimana membedakan partai kiri dan kanan ketika keduanya ternyata mendukung Perang Iraq? Atau bagaimana sikap partai terhadap nuklir, krisis ekonomi, imigran, paket jaminan sosial dll tidak lagi bisa dibedakan berdasarkan ideologi dan program 
Parpol gelagapan ketika ternyata di internet, diskusi-diksusi ideologis kembali bisa dibangun dalam konteks yang lebih baru. Di Indonesia, masa catch all party harus mengalami kenyataan bahwa Party ID atau identifikasi kedekatan pemilih terhadap partai politik jauh menurun dibanding tahun 1999 yang mencapai 68,6% menjadi hanya 11, 1% pada Pemilu 2014 (Data SMRC 2016). 

Yang paling meresahkan adalah kekuatan figur jauh lebih kuat dibanding faktor partai politik dalam pertimbangan pemilih menjatuhkan dukungan. Ini adalah fenomena global, tidak hanya terjadi di Indonesia. Kemenangan Partai Kiri Yunani misalnya menunjukkan betapa pemilih Eropa kembali ke jalur ideologis ketika menghadapi krisis. Begitu juga kemunculan partai-partai alternatif seperti Internet Party di Selandia Baru, Piraten Partei di Jerman, Sex Party di Australia dll, menjadi sebuah kritik baru terhadap partai politik. Pilihannya bertahan ditengah sebagai catch all party? Atau segera mengambil jalan baru re-ideologisasi politik. SPD Jerman misalnya, pasca kekalahan telak pada tahun 2009, mengambil langkah percepatan regenerasi partai SPD, karena menganggap bahwa elit SPD sudah sangat tua untuk memahami perkembangan politik dunia baru, dunia digital.

Disisi lain partai-partai berhaluan ultra kanan seperti Neo-NAZI dan di timur tengah diwarnai dengan munculnya ISIS sebagai buah kegiatan kontra terorisme barat, adalah fenomena bahwa Catch All Party telah meninggalkan ceruk kosong dunia politik. Ruang yang tadinya hangat dengan perbincangan ideologi. Akhirnya diisi oleh tidak hanya gerakan alternatif tapi juga gerakan-gerakan anti-demokrasi yang mencoba meraih dukungan politik ditengah kealpaan politik ideologis. Di Indonesia, kehadiran Hizbut Tharir Indonesia (HTI) yang secara terang-terangan menolak Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika ternyata cukup signifikan meraih dukungan. Begitu juga dengan keberadaan Front Pembela Islam (FPI) yang seringkali menempuh jalur kekerasan untuk menyelesaikan perbedaan , hingga hari ini Negara tidak bisa secara tegas melakukan penindakan.

Masa Depan Partai Politik

Jika demikian maka meninggalkan ideologi dan berlomba meraih dukungan suara dengan menampilkan sosok Parpol tengah yang terbuka dan non-ideologis bukannya tanpa risiko. Sayangnya di Indonesia keterbatasan dan persoalan tersebut tidak dijawab dengan upaya serius partai politik untuk melakukan perubahan mendasar di internal maupun eksternal Parpol. Yang terjadi adalah upaya untuk menjaga zona aman dan nyaman dengan menciptakan regulasi yang diperkirakan akan mempersulit lahirnya partai atau kekuatan politik baru yang akan merongrong kekuasaan mereka.

Ada tiga upaya yang terbukti gagal membendung arus perubahan politik di Indonesia: Pertama, dengan mempersulit pendirian partai politik baru. Sejak lahirnya UU Partai Politik No. 2 tahun 2008, maka sangat jelas bahwa tidak ada lagi gerakan sosial yang akan mampu bertransformasi menjadi partai politik. Karena dalam Undang-undang tersebut jelas persyaratan administrasi yang sangat berat dan mahal tidak akan mampu dibiayai oleh Ormas atau kekuatan ideologis manapun untuk menjadi partai politik. Namun tahun 2014 dengan modal finansial cukup dan dukungan media yang kuat, Nasional Demokrat mampu mengatasi rezim administrasi tersebut dan lolos menjadi peserta Pemiliu, bahkan tercatat sebagain Parpol yang mengantar Presiden Jokowi ke kursi Presiden. 

Upaya kedua adalah dengan memperberat persyaratan di Undang-undang Pemilihan Umum. Biasanya dengan mengutak-atik persyaratan verifikasi KPU, dan juga menaikkan ambang batas parlemen. Faktanya tahun 2014 Nasdem mampu meraih suara jauh diatas parliamentary threshold yang ditetapkan 3,5%, bahkan beberapa pertain lama seperti PBB dan PKPI tidak berhasil melampaui PT tersebut, bahkan Hanura hampir saja masuk ke zona degradasi akibat kesulitan dalam meraih dukungan di Pemilu 2014.

Upaya ketiga adalah dengan mempersulit kemungkinan ikut sertanya calon independen didalam kontestasi Pilkada, hal ini pun sudah terbukti gagal untuk membendung arus perubahan politik. Dalam catatan sejak dikabulkannya gugatan mengenai calon perseorangan di Mahkamah Konstitusi, kemenangan demi kemenangan diraih oleh calon perseorangan. Di sisi lain partai politik semakin merosot dalam hal kepercayaan publik, bahkan berada dibawah TNI, Polri dan DPD-RI berdasarkan data CSIS 2015.

Di masa yang berubah, partai politik di Indonesia akan menghadapi Pemilu 2019. Meski masih jauh namun Pemilu 2019 merupakan tahun penting bagi demokrasi baru Indonesia. Untuk pertama kalinya jumlah pemilih berusia 45 tahun, menjadi pemilih mayoritas, tercatat 65% jumlah pemilih berada dalam rentan usia 17-45 tahun. Untuk pertama kalinya pula, sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi bahwa Pemilihan Umum Legislatif akan digelar bersamaan dengan Pemilu Eksekutif. Artinya selain pemilih yang relatif berusia muda, partai politik tidak akan menjadi faktor penentu kekuasaan di Indonesia. Kekuatan elektoral 2019 justru akan ditentukan oleh siapa figur Capres dan Cawapres yang diusung partai politik tersebut. Pada saat yang sama, apakah figur tersebut disukai oleh mayoritas rentan usia pemilih 17-45 tahun, yang notabene mereka adalah pengguna aktif media sosial.

Selamat datang di era demokrasi baru, demokrasi orang muda, demokrasi berbahasa digital. Demokrasi anti-oligarki, demokrasi yang mengembalikan gairah politik kepada hal-hal sederhana namun bisa dinikmati khalayak luas. Sederhana, setara dan beradab. Bagi Parpol yang tidak bisa menyesuaikan diri dengan arus perubahan ini, tentu harus bersiap-siap dimasukkan ke dalam sebuah etalase sejarah. Dikenang sebagai masa lalu, bukan masa depan.  

*. Penulis adalah Pemimpin Redaksi Koran Solidaritas

Perempuan dalam Kotak Afirmasi
Diskursus Kolom

Perempuan dalam Kotak Afirmasi

Mendobrak Tabu Politik Gender

Diskursus Koran Solidaritas, Edisi VIII Februari 2016

Persoalan Serius Perempuan Indonesia

Alih-alih memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan di parlemen, angka perolehan kursi kaum perempuan malah menurun. Peningkatan keikutsertaan perempuan dalam Pemilu dari angka 33,6 % pada tahun 2009 menjadi 37% pada tahun 2014, berbanding terbalik dengan perolehan kursi yang pada tahun 2009 sebanyak 18,2% menjadi 17,3% pada Pemilu 2014. Tuduhan serius jelas berbalik pada kaum perempuan, sudah diberi kesempatan tapi tidak digunakan sebaik-baiknya. Celakanya tidak sedikit kegagalan itu membuat perempuan berselisih paham diantara mereka. Sebagian menerima ini adalah kegagalan dalam mengisi ruang yang sudah disediakan oleh Konstitusi, ada yang menyalahkan soal kapasitas, ada juga yang tetap berkeras ini hanya soal waktu saja. Hanya sedikit yang menyediakan diri untuk secara mendalam  melacak mengapa itu sampai terjadi.

Mari mulai dengan syarat minimal 30% jumlah perempuan dalam kepengurusan Partai Politik. Dalam berbagai survey, jarang sekali tulisan apalagi gerakan yang benar-benar melacak apakah proses verifikasi Kementerian Hukum dan HAM untuk Parpol baru dan verifikasi yang dilakukan oleh KPU terhadap semua calon Parpol peserta Pemilu benar-benar memastikan bahwa 30% perempuan di semua jenjang kepengurusan sesuai dengan fakta lapangan. Tentu secara administrasi terpenuhi, mungkin saja. Namun Politisi yang kita maksud disini bukanlah mereka yang dicomot KTP dan tandatangannya menjelang verifikasi KPU, tapi perempuan yang tau betul alasan mengapa dirinya berada dalam kepengurusan Parpol bersangkutan. Harus ada pertanyaan kualitatif tambahan selain “apakah benar ibu memiliki Kartu Tanda Anggota Partai?” atau “apakah sudah sesuai nama yang ada di KTP dan KTA anda dengan nama yang tercantum dalam Surat Keputusan Kepengurusan Parpol?” Lalu semua urusan 30% keterwakilan perempuan di Partai Politik berhenti sampai disitu.

Rezim Laki-laki dalam Administrasi Partai Politik dan PEMILU

Lalu masa tenggat dari KPU tiba, Partai Politik yang sudah diumumkan bisa bertarung di Pemilu diberikan batas waktu untuk memasukkan nama-nama Calon Legislator di semua tingkatan, mulai Pusat hingga Kabupaten/Kota. Ada dua hal yang harus kita pahami bersama, pertama meloloskan sebuah Parpol menjadi peserta Pemilu adalah soal administrasi, sementara memenangkan pertarungan Pemilu adalah persoalan tingkat keterpilihan Caleg disetiap daerah pemilihan. Jadi tidak ada korelasi langsung antara keterlibatan perempuan di kepengurusan Parpol dengan nama-nama Caleg yang akan maju sebagai kontestan dalam Pemilu. Nama yang tercantum dalam kepengurusan tidak otomatis akan dicalonkan oleh Parpol pada saat Pemilu. Banyak perempuan yang selama ini diakomodir sebagai pengurus tapi tidak memiliki kesempatan untuk maju menjadi Caleg. Tidak lain karena tidak ada satu aturan yang mewajibkan Parpol untuk hanya mengambil perempuan dari kepengurusan Parpol. Akibatnya Parpol bisa saja mengambil ‘perempuan non-kader’ sebagai Caleg. Termasuk mengambil perempuan yang tidak punya pengalaman di bidang politik. Biasanya yang dipilih adalah mereka yang tidak berkeberatan ditempatkan di nomer urut caleg paling akhir.

Kedua, soal domestifikasi peran perempuan di partai politik. Disini letak sumbatan akses politik yang jarang dipersoalkan oleh kita semua.  Dominasi laki-laki sebagai rezim administrasi Partai Politik masih berlangsung hingga saat ini. Banyak keputusan-keputusan penting partai tidak menyertakan kaum perempuan. Bisa kita lihat tontonan ketika MPR RI atau DPR RI akan mengambil sebuah keputusan penting. Rapat biasanya akan berlangsung sampai larut malam, bahkan pemungutan suara biasanya berlangsung menjelang Subuh. Perempuan dihadapkan pada persoalan menghadapi tuntutan ‘tidak pulang larut’ dari rumah, pada saat yang sama harus mengorbankan hak suaranya untuk memilih atau dipilih. Jika lebih dalam kita periksa, itu sebabnya jika ada organisasi yang sekretarisnya dijabat oleh laki-laki, maka parpol yang jadi juaranya.
Seluruh proses administrasi yang diakui sah dan resmi oleh KPU dan KPUD adalah surat yang dibubuhi tandatangan Ketua bersama dengan Sekertaris. Sehingga jabatan Sekertaris disini bukan peran administrasi semata, tapi ada peran yang sangat strategis dalam mengesahkan seluruh keputusan Parpol. Termasuk didalamnya pengesahan nama-nama Caleg berikut nomer urutnya. Dalam keseharian menjalankan organisasi kepartaian pun, perempuan jarang sekali menduduki posisi Bidang I yang biasanya adalah bidang yang mengurusi soal administrasi dan keanggotaaan yang merupakan mesin utama keabsahan organisasi. Disana SK Kepengurusan dibuat, dari sana sanksi hingga pemecatan dilakukan sebelum masuk ke Mahkamah Partai yang juga bisa dipastikan seluruh ketuanya adalah laki-laki.

Domestifikasi di Rumah Rakyat

Tidak cukup perempuan mendapatkan peran “dapur, sumur, Kasur” di rumah dan dalam lingkungan sosial. Benerapa orang perempuan yang dengan susah payah akhirnya bisa terpilih dan dilantik menjadi Wakil Rakyat pun masih menerima perlakuan diskriminatif melalui domestifikasi peran perempuan  di Parlemen, yang notabene adalah rumah rakyat. Ketika aroma perseteruan antara kubu KIH dan KMP di sidang pertama MPR-RI, tidak satupun bicara tentang keterwakilan perempuan dalam susunan pimpinan DPR-RI. Suara 17% lebih perempuan Indonesia, suara Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 tenggelam dalam riuhnya perseteruan dua kubu politik, yang hari ini juga sudah saling berjabat tangan satu sama lain.

Implikasinya mudah ditebak, meskipun ada keputusan MK yang mempertegas tentang keterwakilan perempuan di unsur pimpinan dan alat kelengkapan DPR, namun langkah Rieke Diah Pitaloka, Khofifah Indar Parawansyah, PERLUDEM dkk. yang mengajukan Judicial Review itu hanya dikabulkan sebagian. Domestifikasi dan Stereotyping kembali berulang, urusan ‘dapur-sumur-kasur’ dirumah asal, diterjemahkan menjadi pembatasan peran perempuan dalam pembagian Komisi DPR RI. Kebanyak aggota DPR Perempuan komisi yang membidangi urusan Perempuan dan Anak, Agama, Sosial, Tenaga Kerja, Pendidikan dan Pariwisata. Namun meskipun mengurusi bidang-bidang tersebut, tidak otomatis membuat mereka mampu menggerakkan kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan yang Pro Perempuan, rezim administratif itu sudah dipasangi gembok dari berbagai penjuru hingga sulit untuk diubah.

Fenomena ini makin diperparah dengan peran media massa (koran, televisi, majalah) yang juga tidak memberikan ruang yang banyak untuk perempuan. Perdebatan hangat dan strategis,  kebanyak mengundang nara sumber laki-laki dan mempertegas diskriminasi gender di semua lini dan dari segala penjuru.

Mendobrak Tabu: Politik Generasi Milenial dan Perempuan PSI

Kita tinggalkan sejenak urusan afirmasi setengah hati itu. Sebuah fenomena baru sedang tumbuh, bonus demografi membawa sebuah kenyataan baru, fakta statistik yang menunjukkan bahwa pada tahun 2019, jumlah pemilih yang berada dalamm rentang usia 17-40 tahun berjumlah 62%. Dari jumlah itu, sekitar 58% diantaranya, hari ini berusia sekitar 15-29 tahun. Ini yang disebut generasi Y yang lahir tahun 80an dan yang terbaru adalah generasi yang lahir pada tahun 90an. Ada apa dengan generasi ini?

Karakterisitik generasi ini adalah “digital native” Bahasa, perilaku, gaya hidup adalah apa yang mereka temukan, diskusikan, baca dan praktikkan dalam berinterakis sesama generasi mereka. Mereka bahkan tidak perduli dengan tuduhan bahwa mereka adalah generasi “apatis dalam hal politik.” Bagi mereka Parpol sudah sangat tua, bahasa yang digunakan elit tidak dipahami oleh generasi mereka, Parpol bahkan lebih asing dari Bahasa asing yang mereka adopsi. Mereka adalah generasi digital yang ketika terbentur pertanyaan, secara cepat bisa menemukan jawabannya dari benda dalam genggaman tangan yang bernama Gadget.

Apakah mereka Asosial atau apolitis? Jangan salah, kesadaran mereka adalah kesadaran yang sangat humanis. Bisa terjadi hakim menjatuhkan hukuman kepada seseorang dari dalam ruang sidang pengadilan. Namun pada saat yang sama diakui sebagai pahlawan di media sosial. Yah mereka adalah generasi digital, multi talented, kreatif, mandiri, tidak suka dengan formalism, tapi juga punya solidaritas sosial meskipun dengan spektrum lebih luas dan mendunia. Jadi jangan bicara soal kesetaraan gender pada mereka, bisa jadi secara teoritik mereka baca dari sumber yang lebih valid dengan konteks yang lebih kontemporer.

Berbicara dengan generasi ini tidak mudah, sudah banyak guru-guru sekolah akhirnya mengambil jalan kekerasan karena tidak bisa beradu argumentasi dengan mereka. Siapkah kita jika tiba-tiba pertanyaannya adalah “jika UU Parpolnya, UU Pemilunya dan Praktik kekuasaannya sangat diskriminatif, kenapa tidak boikot Pemilu?” Ini tentu provokatif tapi tidak menutup kemungkinan keluar dari nalar rasional generasi milenial.

PSI Memutus Belenggu Politik Perempuan

Sebagai generasi yang rasional dan dibimbing oleh referensi luas dari dunia digital. Mereka bisa paham (contoh) bahwa banyak persoalan yang muncul akibat persoalan diskriminasi yang berlangsung sistemik dan terstruktur ini. Contoh paling nyata adalah persoalan prostitusi bukan? Prostitusi muncul karena akses ekonomi kebanyakan dikuasai oleh laki-laki, sehingga akumulasi kekayaan menjadi timpang, perempuan yang secara sosial sudah mengalami diskriminasi, secara politik dikerdilkan perannya melalui domestifikasi, juga mendapatkan nasib tidak adil di dunia kerja. Akibatnya ekonomi juga dikuasai laki-laki, uang terakumulasi menjadi ketimpangan gender dalam kesejahteraan. Perilaku konsumtif mungkin jika dipicu oleh kelonggaran finansial. Demikian juga dengan prostitusi, terjadilah transaksi dimana laki-laki menjadi konsumen, dan perempuan menjadi penyedia jasa. Karena di sektor barang dan produksi, peran perempuan selalu disubordinasikan dibawah laki-laki. Tentu hasilnya akan berbalik jika uang lebih banyak dikuasai kaum perempuan. Posisi konsumen akan berpindah ke tangan perempuan, dan laki-laki akan menjadi penyedia jasa.

Lalu perempuan dituding pembawa murka Tuhan dimuka bumi, sementara statistik terus mencatatkan laki-laki dalam daftar panjang pelaku korupsi dan kriminalitas di Indonesia. Dalam hal ini Gen Y dan Z akan bereaksi berbeda, bahkan bisa saja berseberangan dengan nalar elit bahkan  Negara. Itu untuk menggambarkan bahwa berbicara dan memahami Bahasa dan nalar Gen Y dan Z membutuhkan kedekatan yang bukam hanya dalam arti ‘mengerti’ tapi juga secara usia merupakan bagian dari mereka. Jangan lupa, jumlah mereka pada PEMILU 2019 yang akan datang adalah 58% dari jumlah pemilih.

Waktu tinggal 3 tahun menuju PEMILU 2019. Perjuangan kaum perempuan dihadapkan pada dua pilihan: Meneruskan ambisi keterwakilan Perempuan melalui langkah seperangkat fasilitas bernama Afirmasi tersebut? Tentu dengan perbaikan-perbaikan yang masih mungkin dilakukan. Atau memusatkan tenaga dan pikirannya untuk ikut melahirkan kekuatan baru yang menetukan, kekuatan generasi Millenial Indonesia. Caranya adalah dengan berbicara dengan Bahasa yang mereka mengerti.

Ini yang kemudian paling penting di apresiasi dengan keberanian Grace Natalie, Isyana Bagoes Oka, Novarini, Suci Mayang dan Danik Eka dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Muncul dengan brand ‘muda’ PSI sudah menarik garis pemisah generasi yang tegas dengan membatasi usia kepengurusan partainya hanya boleh bagi mereka yang berusia tidak lebih dari 45 tahun. Tidak hanya itu, kuota minimal mereka untuk perempuan adalah 40% minimal. Yang paling penting adalah dalam pembentukan kepengurusan provinsi, salah satu diantara jabatan Ketua dan Sekretaris wajib diisi oleh perempuan. PSI berpendapat tidak mungkin memenuhi keterwakilan 30% perempuan tanpa memberi posisi dan peran yang penting kepada perempuan di parpol.

PSI kini memusatkan kampanyenya pada digital media, Bahasa yang sama dengan yang digunakan 58% generasi millennial yang akan menjadi penentu siapapun yang mereka kehendaki untuk menang pada Pemiliu 2019 mendatang. Sebagai parpol baru PSI tentu tidak sesumbar, namun dari konsistensi mendisiplinkan diri, rasanya PSI bisa dilihat sebagai sebuah gerakan serius untuk mengakhiri diskriminasi kaum perempuan Indonesia.

Tuntut 30% Kursi Parlemen untuk Perempuan

Tidak banyak waktu tersisa untuk perempuan mempersiapkan arah gerakan politiknya. Menebak arah partai politik yang semakin kering dari isu-isu kesetaraan gender, dengan melihat hasil perolehanm kursi perempuan dari Pemilu ke Pemilu, tampaknya kaum perempuan memang harus khawatir. Konteks lokal tidak kalah parahnya, Peraturan Daerah yang makin menegaskan diskriminasi yang tadinya bersifat sosial dan budaya, kini dilegalkan melalui hukum dan juga ekomi. Ini jika tidak dianggap bahaya, maka tentu harapan masih kita titipkan pada Gen Y dan Z, generasi baru Indonesia, generasi mayoritas dalam Pemilu 2019, kepadamulah nasib perempuan Indonesia kita titipkan.

Dari kantor DPP – PSI sebuah suara yang lebih keras terdengar, tentu tidak lama lagi Undang-undang Partai Politik dan Pemilu sebentar lagi akan dibahas di DPR. Sebagai partai baru harusnya cukup aman jika bersikap biasa-biasa saja. Karena banyak diam, artinya tidak merecoki partai-partai senior yang ada di Senayan. Namun bukannya memilih diam, PSI tidak kalah garangnya dalam menolak Revisi UU KPK, juga dalam beberapa insiden intoleransi mereka tampil ke depan. Kutipan pidato politik pertama Grace Natalie, Sang Ketua Umum jelas sekali

“Saya gunakan kesempatan baik ini, untuk mengajak seluruh anak muda Indonesia, generasi Y, generasi Z, generasi yang selama ini diabaikan, kepada kalian PSI berbicara malam ini. Bersama seluruh kekuatan perempuan Indonesia,  PSI menunggu solidaritas kalian, kaum muda dan perempuan, solidaritas untuk mempersiapkan sebuah kelahiran baru. Kelahiran Indonesia yang lebih baik” (Grace Natalie, 14 November 2015)
Dalam persoalan perempuan ini, PSI mengambil pilihan cukup berani dengan menyatakan dengan tegas, bahwa “Afirmasi akan terasa adil jika bukan hanya bicara soal keterwakilan perempuan, tapi perempuan harus diberi waktu dan peran yang sentral, jangan pertarungkan perempuan dan laki-laki di gelanggan yang sama, UU Pemilu dan kemudian MD3 yang akan datang wajib menyebutkan bahwa 30% kursin parlemen di semua tingkatan diperuntukkan untuk Perempuan” demikian kata Isyana Bagoes Oka salah seorang Ketua DPP PSI.

Novarini menambahkan bahwa “PSI mengajak seluruh kaum perempuan, tidak perlu masuk PSI jika belum percaya pada kami, tapi setidaknya untuk menuntut kuota 30% kursi itu adalah tuntutan bersama kaum perempuan.” Rasanya PSI memang tidak main-main, dalam menutup pidationya, Grace dengan lantang menyatakan “Download terus DNA kebajikan dan keragaman, Upload terus virus Solidaritas Indonesia ke seluruh penjuru negeri. Mari bersama kita tebarkan benih kebajikan, semai terus bunga-bunga keragaman. Karena sesungguhnya, kami bukan siapa-siapa, tanpa kamu semua.”

PSI telah mengarahkan tuntutan politiknya untuk menjawab lemahnya Afirmasi 30% dari sisi kebijakan dan praktiknya. PSI bicara dengan Bahasa Gen Y dan Z, rasional dan praktis, jika tidak bisa pakai yang lama – kita buat saja yang baru, jika ruang politiknya tidak ada – kita bangun ruang politik kita sendiri.

Selamat Hari Perempuan Internasional
Merdekalah Perempuan Indonesia!

Seks, Seksualitas dan Kekuasaan
Diskursus Kolom

Seks, Seksualitas dan Kekuasaan

Rubrik Diskursus – Koran Solidaritas Edisi VII, Januari 2016

Seks Dikepala Kita

Entah sejak kapan seks sedemikian tabu untuk dibicarakan di ruang publik. Mungkin karena seringnya ‘nge-seks’ kita anggap pain killer, efeknya instan dan temporer. Atau seks begitu menyatunya dengan keseharian, sehingga kita alpa untuk mengecek relasinya dengan kekuasaan. Hampir tidak pernah terbersit untuk mengecek bagaimana seks bisa menyeseuaikan diri dengan teknologi modern. Kita terkejut ketika menyadari bahwa seks sudah direduksi menjadi sensualitas yang baku dan seragam: selebriti, pop, glamour, tinggi, putih, mancung dst.

Menjelaskannya bukan hal mudah, para pemikir Post-modernisme menyatakan bahwa seks merupakan relasi sosial yang dikonstruksikan menjadi subordinat dari seksualitas.  Seks bahkan dianggap memilki relasi yang sangat dekat dengan kekuasaan dan pasar. Kepala kita adalah pusat sensorik dari tubuh, disana Seks menjadi sebuah sikap sosial,  bukan karena jenis kelamin kita semata, tapi karena cara pandang dan keberpihakan. Tidak jarang Seks hadir sebagai pernyataan dan pemberontakan kelas, pesta seks di hotel berbintang sengaja diciptakan untuk menegaskan perbedaan kelas sosial mereka dengan yang ‘bawah.

Kapitalisme, konsumerisme dan hedonisme selalu berhasil mencari alasan mengapa mereka selalu membangun tembok pemisah dengan kelas sosial lain. Mereka tidak pernah belajar. Prostitusi artis adalah pernyataan kelas yang membedakan mereka dengan kelas sosial lain yang dianggap lebih rendah. Reaksi kelas sosial lain mudah ditebak, mereka akan melancarkan protes dan perlawanannya dengan cara berbeda: merekam video amatir/mesum, vulgar, lalu upload ke media-media sosial. Ini menjelaskan mengapa Ariel tidak dicemooh ketika keluar dari tahanan, karena video Ariel Peterpan dianggap sebagai kemenangan sosial kelas marjinal, seorang anak band membuat para artis lain bersedia direkam saat berhubungan intim.

Sehingga benarlah bahwa seks adalah hubungan biologis tapi juga relasi sosial sejak jaman Adam. Sama seperti makan dan minum, seks sejatinya adalah ruang individu yang bebas. Hak untuk minum. sebelumnya, seks adalah cara hidup, cara menikmati keindahan, menelusuri kedaulatan diri diatas setiap sensasi yang ditimbulkan oleh gerakan romantis, seks adalah seni kehidupan. Sebagaimana makan

dan minum, seks adalah alat untuk menghubungkan tubuh dengan rasa nikmat dan sebagai alat memperluas kemampuan dan meningjkatkan kualitas tubuh. Seks membuat setiap orang tumbuh secara kuantitas dan kualitas. Seks adalah pernyataan sosial sekaligus transenden. Demikian wujud seks tanpa embel-embel kekuasaan, agama dan konsesi sosial lainnya.

Konstruksi Seksualitas

Seiring konflik berkecamuk sebelum abad pertengahan, perang berebut kuasa masuk dengan ide seks sebagai alat penaklukan ras. Seks menjadi alat represi untuk menghapus atau menghilangkan kemurnian satu ras, pemerkosaan massal dilakukan, perempuan dari suku yang kalah perang, dipaksa melahirkan bayi ‘ras tak murni’ dari hasil pemerkosaan. Tercatat Kerajaan Persia, Yunani dan Romawi melakukan strategi penaklukan ras secara seksual. Sementara mereka menjaga ras mereka dengan melindungi perempuan-perempuan dengan cara berbeda-beda. Sejak itu seks adalah hal yang berbeda, dia tidak lagi menjadi hal pribadi, namun menjelma menjadi relasi kuasa dan represi kekuasaan. Tradisi gereja melanjutkannya dengan menganjurkan kontrol penuh terhadap perilaku seksual, tubuh adalah rumah dari dosa, seks adalah perwujudan dari nafsu iblis yang harus dihilangkan dari sifat manusia. Sementara kaum Viktorian atau bangsawan sibuk melembagakan hubungan seks ke dalam stratifikasi sosial yang feodal, diluar itu pembicaraan mengenai seks adalah hal yang tabu. Seks lalu dibelenggu puritanisme yang membentuk antagonisme dua kelas sosial di masyarakat.

Lebih spesifik lagi di jaman Medieval abad-14, ada hak istimewa bagi Raja untuk merenggut keperawanan mempelai wanita yang baru menikah. Seks lalu menjadi alat penguasaan tubuh. Perbudakan dan perdagangan wanita menjadi fenomena di awal abad moderen.  Lalu ketika Negara modern muncul, lembaga pernikahan sebagai rezim administrasi dan kontrol seksual, bersamaan dengan pelestarian kekuasaan Patria terhadap kaum perempuan. Pernikahan adalah akhir dari kemerdekaan perempuan. Friedrich Engels adalah salah seorang yang secara tegas  menyatakan bahwa “Pernikahan adalah nurture dari institusionalisasi hubungan antara dua orang, di mana seseorang dianggap menjadi milik dari seseorang yang lain. Menjadi properti yang tidak bisa dipindahtangankan tanpa melalui urusan administratif. Pernikahan adalah cindera mata untuk menandai dimulainya penaklukan perempuan dan privatisasi alat produksi.”

Tubuh Yang “ikut” Terjual

Tidak mungkin bicara seks tanpa membicarakan tubuh sebagai media utama dari aktivitas seksual. Sigmund Freud adalah generasi pertama yang meneliti berbagai fenomena seks dengan pendekatan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan digunakan untuk mengembalikan Seks ke jatidirinya terbebas dari institusionalisasi dan pelembagaan kuasa.  Michel Foucault, filusuf asal Perancis yang termasuk memberikan sumbangan paling jernih dan lengkap mengenai relasi antara seks dan kekuasaan.

Foucault menyatakan bahwan tubuh merupakan satu dimensi dengan empat variabel dalamnya yakni: kuasa pengetahuan, kenikmatan, rasa, dan sensasi. Pasar, negara dan media massa adalah pihak yang paling bertanggungjawab dalam mengubah tubuh menjadi komoditas komersil. Karena operasi mereka manusia menjadi konsumtif lalu terjebak ke  dalam kegandrungan untuk melakukan eksplorasi dan  eksploitasi tubuh, bedah plastik menyempurnakan ekoplorasi dan manipulasi tubuh itu. Iklan produk (persekutuan pasar dan media) mulai melakukan rekonstruksi makna baik-buruk juga benar-salah. Selera manusia dipaksa untuk seragam, tubuh yang ideal mulai diciptakan. Bisa kita lihat di sekeliling  kita hari ini, bagaimana media massa bekerjasama dengan modal korporasi untuk mendapatkan kulit putih. Dada besar perempuan cantik dan seksi itu adalah mereka yang berkulit putih, berambut lurus, berhidung mancung dst.

Tahap lanjut dari idealisasi dan normalisasi itu, lalu menjebak tubuh menjadi hanya seonggok daging tanpa rasa, tanpa keinginan untuk bebas. Dengan melakukan operasi oleh seorang dokter ahli, tubuh bisa dibongkar pasang sesuai selera pasar dan negara. Inilah yang kemudian terjadi dalam kasus prostitusi artis di Indonesia.

Artis adalah contoh nyata dari operasi kapitalisme dalam membentuk keseragaman makan atas tubuh. Berkat modal dan operasi media rtis adalah kesempurnaan bentuk tubuh perempuan dan laki-laki. Awalnya memang hanya menjadikan mereka sebagai model dari produk-produk komersial mereka. Namun sensasi yang liar, fantasi, euforia  yang menjadi efek ikutan dari idealisasi seksual itu lalu menyebabkan tubuh menjadi obyek komersialisasi itu sendiri.

Tubuh yang tadinya menjadi tempat dimana sebuah produk ditentukan kelas dan harga jualnya, ditambah lagi dengan pennggunaan media  untuk membangun kesan berlebihan terhadap Sang Model/artis. Tubuh dikuasai, dieksplotasi, dipaksa untuk menjadi sesuatu yang berbeda dari keberadaan tubuh yang azali. Tubuh kita harus tunduk pada tubuh ideal rekayasa media dan pasar. Sensasi tentang kesempurnaan tubuh Nikita Mirzani, pertama kali dipromosikan dan dibentuk oleh media, lewat Televisi, sinetron, iklan, sampul majalah, konten berbayar dll. Lalu media jugalah yang mengekploitasi tubuh Nikita ketika Negara melakukan represi melalui sebuah operasi tangkap tangan.

Seks dan Ketidakadilan Gender

Dalam kasus Nikita Mirzani dkk, yang sering disebut media sebagai prostitusi artis. Cara pandang publik terhadap seksualitas juga mulai bergeser. Pertanyaan publik sebenarnya sederhana saja. Bukankah jika Nikita adalah korban dia harusnya tidak ditangkap dalam sebuah operasi tangkap tangan yang diekspos ramai di media? Bukankah jika Nikita adalah korban perdagangan orang, maka bukankah yang menjadi tersangka adalah beberapa orang yang ‘menjual’ Nikita dengan harga tertentu? Lalu bagaimana sebuah perdagangan tidak ada penjual dan pembeli? Jika penjualannya adalah sebuah tindak pidana/perdata, mengapa pembeliannya lalu tidak ditetapkan sebagai satu kesatuan dari  tindak kriminal tersebut? Lalu apakah transaksi itu tidak memberikan keuntungan kepada Nikita? Mengapa dia hanya sebagai Korban? Bukankah tindakan ‘mengetahui tapi tidak melaporkan’ juga meruapakan tindak pidana? Bukankah segala sektor jasa di Republik ini haruslah dikenakan Pajak Negara?

Sudah bisa dipastikan, ketika kasus itu disidang di Pengadilan,  Nikita akan dihadirkan sebagai saksi korban. Bisa anda bayangkan tubuh ideal yang merupakan alat represi negara muncul menggiring Nikita ke kursi saksi, lalu seonggok tubuh yang lain mengetuk-ngetukkan palu hakim sambal menebar represi kepada tubuh lain yang hadir. Disana seksualitas dipahami sebagai konstruksi kuasa, kuasa politik, kuasa administratif, kuasa ekonomi, yang pada titiknya membuat seorang Nikita Mirzani menghardik marah di akun media sosialnya “Surgaku bukan surgamu, karena surga belum tentu tempatmu!” itu adalah bagian dari tubuh yang sejati, tubuh yang telah di eksploitasi oleh modal, pasar dan negara. Tubuh itu kembali tampil merindukan kejujuran apa adanya. Betapa leganya Nikita setelah marah-marah, lalu betapa publik media sosial memaklumi Nikita dan skandal seksualitas sambil menyatakan “kamu berani dan jujur.”

Seks yang purba, perbudakan yang abadi, patriarki yang mengikuti abad modern, eksploitasi fantasi yang memasuki abad digital. Tidak lain bukan karena takdir biologis perempuan yang lemah, sehingga dalam relasi kuasa atas tubuh, laki-laki selalu unggul. justru karena negara tidak bisa mengambil posisi yang jelas sehingga perempuan akhirnya tidak bisa berdaulat atas dirinya sendiri. Administrasi pernikahan yang dipelihara seakan merupakan perjanjian jual beli dan menjadi akhir masa kedaulatan perempuan atas tubuhnya.

Seks dan Kekuasaan

Bisa kita bayangkan betapa groginya negara dihadapan Nikita Mirzani. Sampai-sampai Kepolisian harus mengatakan bahwa Nikita dalam kasus ini adalah korban perdagangan orang. Tubuh Nikita bukan milik negara, dia berdaulat penuh sebagai pemilik tubuh. Lalu dimana sebenarnya titik persoalannya? Jika Negara konsisten harusnya tidak sulit mengurai persoalan itu. Tinggal menanyakan apakah Nikita secara sadar telah melakukan hubungan seks? Jika benar, apakah yang bersangkutan secara sadar telah melakukan tindakan komersialisasi tubuhnya? Tinggal negara

memutuskan apakah tindakan melakukan ekspolitasi dan eksplorasi tubuh tersebut dikenakan pajak tersendiri atau tidak. Terhadap pembeli atau pihak pengguna jasa prostitusi artis tersebut, juga harus ditanyakan hal yang tidak berbeda dengan apa yang ditanyakan kepada Nikita.

Ketidakadilan terjadi ketika penegak hukum menggunakan standar ganda dalam penegakan hukum.  Polisi relatif lebih tegas dan cekatan memburu jejak prostitusi online ketimbang kasus prostitusi Artis. Harga jangan ditanya, tentu jauh dari bayangan jumlah yang diterima Nikita dkk. Negara dan juga Ahok tersentak mendengar si Tata Chubby ditemukan meninggal disebuah kosan di kawasan Tebet.  Apa yang terjadi? Aksi kejar-kejaran terjadi, razia kos-kosan mesum dan prostitusi online dimulai dari Jalan Vagina di Tebet hingga masuk ke tower-tower apartemen Kalibata City, Jakarta. Mengapa tida terjadi razia besar-besaran ke rumah-rumah artis? Bukankah ada lebih 100 nama yang terdapat di contact-list sang Germo? Seks adalah pernyataan kelas, begitu juga kekuasaan adalah perpanjangan tangan dari kelas.

Jean Paul Sartre memberikan petunjuk mengenai dua karakter manusia dalam melakukan interaksi sosial termasuk menyampaikan hasrat seksualnya. Karakter yang pasti ditemukan dalam interaksi sosial adalah: Pertama, pedoman (hukum) atau teladan dalam bertindak tidak pernah ada, karena akan selalu mengalami revisi, dalam eksistensi penciptaamn berlangsung berulang dan terus menerus. Kedua, hakikat eksistensi semua manusia akan dia temukan didalam konflik.

Artinya baik Sartre maupun Foucault sepakat, bahwa seks dan seksualitas adalah sebuah benda sosial yang tumbuh dan berkembang secara sosial. Tubuh adalah medan konflik pribadi, dimana informasi bertarung saling berebut kuasa atas tubuh. Pertarungan itu kelak akan menentukan sikap sosial tubuh kita. Padahal yang dilakukan oleh Tata Chubby tidak beda dengan yang dilakukan Nikita Mirzani.

Disinilah kita bisa melihat sebuah realitas dimana tubuh bahkan secara tidak sadar telah dikuasai oleh sebuah nilai yang tidak tertulis namun dipercayai dan diamalkan.  Gramsci menyebutnya ‘hegemoni’ dimana isi kepala kita telah diisi oleh sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataan disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan; (ideologi) mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral.” Korupsi telah telah menjelma menjadi gaya hidup. Tubuh esksistensial para Satpol-PP dan Polisi yang harusnya melakukan tugas tanpa pandang kelas sosial, sudah dikuasai oleh citra diri yang disematkan secara perlahan oleh kapitalisme dan media, bahwa memasuki rumah artis adalah perbuatan bodoh, ujungnya mereka akan ditelepon seseorang yang berpangkat lebih tinggi. Sekali lagi: perilaku seks yang sama, berbeda dalam relasi kuasa seksualitas. Apa yang terjadi kemudian?

Perlawanan sosial terhadap kuasa Negara yang tidak adil, kuasa pasar atas tubuh ideal yang dipaksakan melalui media massa berujung pada menghamburnya kemarahan seksual itu melalui video-video amatir, rekaman pernyataan seks dari semak dan gubuk bahkan Ariel melakukannya dari hotel berbintang. Seks menjadi komoditas propaganda perlawanan audio-visual yang mengalir tanpa mampu dikendalikan oleh negara. Aksi counterhegemony melalui rekaman adegan seks tersebut ingin menunjukkan ketidakmampuan Negara membatasi hasrat seksual mereka, Negara tidak bisa berkuasa penuh atas tubuh mereka. Sama dengan ketidakmampuan Negara memasuki pagar rumah-rumah sang artis yang terlibat prostitusi. Sebagian anak sekolah yang tidak terproteksi oleh pendidikan seks yang cukup, kemudian menerjemahkan dengan referensi masing-masing. Ada yang merekamnya, ada juga yang melakukannya di hotel-hotel mewah.

Jika ini terjadi, konfrontasi seksual antar kelas-kelas sosial akan menjadi sangat menyakitkan. Banyak hal yang tidak terduga akan kita lihat: media massa vs media online, hotel bintang vs kos-kosan, artis vs cabe-cabean dll.

Seks Yang Hilang

Sejak jaman perang kemerdekaan, pekerja seks komersil sudah digunakan oleh Soekarno untuk memata-matai Belanda dan Jepang. Itu pengakuan Soekarno sendiri kepada Cindy Adams yang lalu menulisnya ke dalam biografi “Soekarno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.” Soekarno adalah tokoh yang sangat memuja seksualitas.

Ali Sadikin adalah Gubernur DKI yang membangun Lokres (lokasi rehabilitasi sosial) Kramat Tunggak, pada jamannya terbesar di Asia Tenggara.  Kuasa atas ribuan pekerja seks komersil itu berubah ketika rezim berganti tahun 1998. Kramat Tunggak resmi ditutup, saking dramatisnya WS Rendra mengabadikannya dalam sebuah puisi berjudul Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta. Di bekas Lokres Kramat Tunggak kini digantikan Jakarta Islamic Center. Hal yang sama terjadi dengan Lokalisasi Saritem di Bandung, didirikan pesantren besar diatas tanah bekas transaksi seks. Lalu yang terbaru adalah penutupan lokalisasi Dolly di Surabaya. Relasi kuasa yang tadinya dikontrol oleh Negara, kini menambahkan aktor baru bernama Institusi keagamaan.

Problem sosial ditangani dengan pendekatan moral. Seksualitas telah menjadin komoditas ekonomi dan komoditas politik, sementara tubuh benar-benar tinggal seonggok daging tanpa sikap. Nalar romantis dan rasa berdaulat yang biasanya mengalir dalam setiap sentuhan tubuh, digantikan oleh fantasi-fantasi seragam yang tercipta dari konten porno dan sensual di media massa. Seks sebagai media integrasi perennial dan pengalaman sufistik menjelma menjadi pesta seks dan narkoba.

Seks yang tadinya adalah kemurnian dan kebudayaan, tiba-tiba dilembagakan menjadi rezim administrasi pernikahan, celakanya mengorbankan perempuan. Belum lagi rezim moral non-negara, yang bahkan bisa mengurusi cara berpakaian kita.

Mimpi Yang Terbeli

Perilaku korup berhubungan ‘sebab akibat’ dengan hasrat menikmati sensasi dan fantasi seksual berkelas Premium. Tidak sedikit fakta menunjukkan bahwa dalam setiap kasus korupsi, sejumlah nama artis ikut menerima aliran dana. Tapi bukankah artis dan politisi sama-sama bertabur bintang? Mungkin saja ini ibarat malam bertabur cahaya bintang. Mata tertuju tak berkedip pada bintang, sehingga lupa bahwa bintang itu tidak akan bersinar tanpa ada langit hitam menjadi latar.

Langit hitam itu bernama konstitusi, sebuah mandat pendirian Negara dan Pemerintahan Republik Indonesia yang dalam pembukaannya termaktub “dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”

Artinya cita-cita berkehidupan kebangsaan yang bebas adalah subyek yang mendahului pendirian obyek bernama negara. Rakyat dan kehidupan kebangsaan yang bebas adalah satu nafas cita-cita, dan untuk mencapainya Konstitusi UUD 1945 merasa perlu untuk membentuk pemerintahan “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”
Rakyat dan kebebasan termasuk seks bukanlah obyek yang dikuasai Negara! Ini yang disebut Daulat Rakyat, maka sudah menjadi kewajiban negara untuk melindungi seks dari eksploitasi dan eksplorasi yang berbahaya melalui tayangan-tayangan yang tidak mendidik di media massa. Negara wajib melakukan proteksi agar penetrasi modal tidak lantas menciptakan model tunggal  tentang ‘baik dan buruk, benar dan salah’ juga ‘miskin dan kaya.’ Negara harus menciptakan keadilan, prostitusi di Jalan Vagina harus diperlakukan sama dengan prostitusi di hotel berbintang lima. Negara harus adil menghukum penjual dan pembeli, juga broker jika terbukti ada perdagangan yang  melanggar Undang-undang. Akhirnya negara benar-benar tidak boleh kalah oleh mafia korupsi dan juga kelompok intoleran. Karena segala bentuk tindak korupsi dan intoleransi sama saja dengan tindakan ‘melacurkan’ konstitusi.

Tafsir kuasa yang adil haruslah menempatkan seks sebagai mandat dari kehidupan kebangsaan yang bebas, sebagai cita rasa yang didorong oleh keinginan yang luhur. Begitu juga seks yang jujur, tubuh yang bebas dari manipulasi akan membawa bangsa ini pada kecintaan akan keadilan. Pada akhirnya seks yang disertai cinta, kejujuran dan keadilan adalah jalan menuju integrasi transenden antara manusia dengan Tuhannya. 

Kepo Demi Bangsamu!
Diskursus Kolom

Kepo Demi Bangsamu!

Rubrik Diskursus – Koran Solidaritas Edisi VI, Desember 2015

Oleh: Ramli Hussein  (Pimpinan Redaksi Koran Solidaritas)

Kepo Demi Bangsamu!
Solidaritas Relawan dan Cita-cita Tentang Pemilu Jurdil

Demokrasi Digital adalah Anak Kandung Teknologi dan Politik Partisipatif

Tiang pancang demokrasi Indonesia dimulai ketika digelar Pemilu 1999 sebagai Pemilu pertama pasca Orde Baru. 32 tahun lamanya Pemilu hanya instrumen untuk melegitimasi rejim Orde Baru. Untuk menjalankan kekuasaan, jelas Orde Baru tetap membutuhkan Pemilu. Pertanyaanya, mengapa selama 32 tahun lamanya, tidak muncul partisipasi publik untuk mengawal jalannya Pemilu? Mengapa semua orang diam membisu, ketika di setiap Pemilu Golongan Karya menang dengan angka fantastis? Jawabannya mudah saja, semudah  laras senapan membungkam mulut anda jika mencoba berbeda dengan garis kekuasaan.

Kembali ke Pemilu 1999, suasana euforia mewarnai kegembiraan politik saat itu. Golongan Karya hampir saja bubar jika tidak muncul sosok Akbar Tanjung dan B.J Habibie datang menyelamatkan. Ya wajar saja mereka lihai dalam mengayunkan pedang politik, selama 32 tahun mereka mengontrol kekuasaan dengan bersanding dengan Militer. Orang-orang yang tadinya bungkam, berbondong-bondong ke TPS, tingkat partisipasi pemilih mencapai angka 92,5%, ini melebihi tingkat partisipasi Pemilu 1955 (Pemilu terakhir sebelum Soekarno menerbitkan Dekriti dan sebelum Orde Baru berkuasa) yang hanya mencapai angka 91,4%. Di masa Orde Baru, tingkat partisipasi memang fenomenal, nyaris semua diatas 95%, bahkan hampir tidak masuk akal, diatas angka 95%, tapi orang diarahkan memenangkan Golkar.

Pemilu 1999 adalah tonggak sejarah kembalinya kegembiraan politik publik. Setelah puluhan tahun dikepung oleh ketakutan, kini mereka bisa masuk ke bilik-bilik suara dengan pilihan sendiri, tanpa campur tangan orang lain, tanpa tekanan dari pihak lain untuk memilih partai tertentu. Inilah hari yang dinantikan, Indonesia di jalan Demokrasi. Selain tingkat partisipasi yang tinggi, berbagai inisiatif mengawal potensi kecurangan di Pemilu 1999 juga muncul, baik dari nasional maupun internasional.

KIPP Sang Pemula dan Inspirasi dari Manila

Februari 1995, Rustam Ibrahim begitu bersemangat kembali ke Indonesia, rupanya gonjang ganjing politik di Manila membuat dirinya terisnpirasi. NAMFREL (National Citizen’s Movement for Free and Fair Election) adalah inisiatif masyarakat sipil di Filipina pada tahun 1983, pasca terbunuhnya Benigno Aquino yang terkait dengan semakin panasnya oposisi melawan Ferdinand Marcos menjelang Pemilu 1984. NAMFREL merekrut relawan untuk memantau jalannya Pemilu dengan kekuatan 500 ribu relawan dan dukungan organisasi masyarakat sipil dan pengaruh gereja Katolik yang sejalan dengan NAMFREL untuk meewujudkan Pemilu yang jujur dan adil. NAMFREL mendapatkan akreditasi resmi dari pemerintah untuk mengakses TPS dan melakukan penghitungan cepat. Terdapat perbedaan perhitungan antara NAMFREL dan versi pemerintah, pemerintah menuduh NAMFREL partisan dan dibiayai oleh asing. Tentu Ferdinand Marcos adalah pihak yang paling menginginkan NAMFREL  dibubarkan. Untuk menghindari tudingan ‘dibiayai asing’ yang gencar dipropagandakan oleh Marcos, para relawan NAMFREL mengumpulkan dana sumbangan sukarela dari publik. Ini juga untuk menjaga independensi gerakan NAMFREL dan meningkatkan kepercayaan publik sebelum Pemilu berlangsung.

Pada tahun 1985, sesaat setelah pemungutan suara, NAMFREL mengumumkan kemenangan Corazon Aquino sebagai Presiden mengalahkan Marcos berdasarkan versi hitung cepat. Namun pemerintah mengumumkan hal berbeda, Marcos dinyatakan menang dan terpilih kembali sebagai Presiden. Keberhasilan NAMFREL tidak hanya dalam hal menggalang dukungan relawan dan sumbangan dana publik. Rakyat percaya bahwa pemerintah Marcos bertindak curang dan mengakali hasil Pemilu, ini membuat banyak kemarahan dan akhirnya menjadi alasan kuat bagi Menteri Pertahanan Filipina Juan Ponco Enrile untuk memimpin sebuah kudeta militer yang akhirnya menjatuhkan Marcos, dan menyerahkan kursi Presiden kepada Corazon Aquino.

NAMFREL adalah contoh baik partisipasi masyarakat dalam mengawal agar Pemilu tetap jujur dan adil. Tidak berhenti disitu, reputasi NAMFREL yang baik membuat banyak aktivisnya dipercaya memegang posisi penting di pemerintahan. Selain itu NAMFREL menjadi sebuah payung bersama gerakan sosial di Filipina yang membawahi 100 lebih organisasi keagamaan, buruh, petani, professional, perempuan untuk terus menyuarakan pentingnya Pemilu yang jujur dan adil.

Kita kembali ke Rustam Ibrahim yang sedang bersemangat. Ketua LP3ES itu baru pulang dari Manila menghadiri konferensi yang digelar NAMFREL. Baginya NAMFREL adalah referensi politik baru, selain karena mendekati Pemilu 1997, Indonesia dan Filipina juga punya kemiripan dalam konteks sosial politik. Bersama beberapa orang, dirinya lalu menginisiasi berdirinya KIPP (Komite Independen Pemantau Pemilu). Setelah melewati beberapa pertemuan akhirnya KIPP resmi berdiri pada awal Januari 1996 untuk mengawal Pemilu 1997 yang diperkirakan akan penuh dengan kecurangan. Diketuai pertama kali oleh Goenawan Mohammad dan dipilih sebagai Sekjen adalah Mulyana W. Kusumah. Dalam barisan pengurus lainnya ada beberapa nama seperti Chatibul Umam Wiranu, Muhammad Najib Sinulingga, Saut Sirait, Beathor Suryadi, Budiman Sujdatmiko dan  Andi Arief.

KIPP mendapatkan dukungan yang luas, tercermin dari susunan nama di Dewan Pertimbangan  duduk Nurcholis Madjid, Adnan Buyung Nasution, mantan Gubernur DKI dan Petisi 50 Ali Sadikin, Arbi Sanit, Arif Budiman, Marsilam Simanjuntak dll. Jelas tugas KIPP tidak ringan, Pemilu 1997 sudah di depan mata, rejim Orde Baru dalam kondisi  linglung karena dihantam krisis ekonomi. Penggunaan kekerasan sangat mungkin terjadi,  petinggi TNI sudah memberikan sinyal penolakan. Kasospol ABRI Sjarwan Hamid dan Menhan Eddy Sudrajat  merespon dengan nada negatif bahwa keberadaan KIPP tidak dibutuhkan dan inkonstitusional. KIPP tidak mendapatkan akreditasi dari pemerintah sebagaimana NAMFREL, begitu juga dengan rekruitmen dan pendidikan relawan yang harusnya dilakukan dengan baik tidak berjalan seperti direncanakan. Kerusuhan 27 Juli meletus di Jakarta, situasi ini membuat ruang gerak KIPP semakin sempit. Pemerintah dan TNI semakin memperketat pengawasan terhadap suara-suara kritis: media di bredel, penculikan terjadi, sensor bacaan dan film diperketat, beberapa aktivitas organisasi masuk daftar ‘terlarang’ termasuk KIPP didalamnya.

Jika tidak keliru, sepanjang 1996 KIPP berhasil mengumpulkan sekitar 12 ribu relawan,  mendirikan cabang di 47 kota di 16 propinsi juga dua cabang di luar negeri, yaitu di Kuala Lumpur – Malaysia dan Berlin – Jerman. Gerakan KIPP segera tertahan, KIPP dituduh memiliki hubungan yang kuat dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang dituding sebagai dalang kerusuhan 27 Juli. Bukan kebetulan jika beberapa aktivis PRD memang juga adalah pengurus dan pendiri KIPP. Ketika itu PRD secara organisasi memang mendukung penuh berdirinya KIPP, termasuk setelah mempelajari kasus NAMFREL di Filipina. Beberapa aktivis KIPP lalu juga ikut menjadi target penangkapan.

Meski akhirnya KIPP tidak sukses sebagaimana NAMFREL di Filipina, namun KIPP berhasil memecahkan lumpuhnya daya kritis publik terhadap Pemilu. KIPP memang tidak memiliki akses ke bilik pemungutan suara, sehingga KIPP hanya bekerja mencatat kecurangan Pemilu yang berisikan 10.000 kecurangan Pemilu 1997 yang dilakukan oleh Golkar, ABRI dan Birokrasi. KIPP menyatakan bahwa Pemilu 1997 tidak jujur dan tidak adil, sehingga tidak memiliki legitimasi. KIPP adalah  Sang Pemula keterlibatan masyarakat menjadi relawan untuk mengawal jalannya Pemilihan Umum. KIPP menginspirasi menjamurnya organisasi serupa dalam Pemilu 1999 pasca kejatuhan Soeharto. Sepanjang tahun 1998, mengikuti jejak KIPP, tercatat dua organisasi relawan pemantau yang lahir menjelang Pemilu 1999 yakin UNFREL (University Network for Free Election) yang merupakan jaringan 14 universitas. UNFREL memilih Todung Mulya Lubis sebagai koordinatornya dan memiliki sekitar 100.000 relawan. Lalu lahir Forum Rektor yang diinisiasi oleh 174 Rektor Perguruan Tinggi Se-Indonesia dengan kekuatan sekitar 200.000 relawan.

Hilangnya Daya Ideologis Parpol dan Era Marketing Politik

Seiring semakin membaiknya sistem Pemilu dan penyelenggara Pemilu, maka kehadiran relawan tidak lagi begitu menarik. Terbukti pada Pemilu 2004, jumlah organisasi pemantau tidak lagi massif seperti ketika Pemilu 1997 dan 1999. DItariknya TNI/Polri dari ranah politik juga menjadi salah satu sebab berkurangnya kekhawatiran terjadinya kecurangan Pemilu. Akses informasi yang terbuka seiring sejalan dengan media massa dan televisi yang semakin bebas, membuat kontrol berupa kehadiran fisik para relawan menjadi tidak begitu dibutuhkan lagi. Peraturan Pemilu mengenai saksi dari partai politik dan calon kandidat menciptakan sistem saling kontrol terhadap hasil perolehan suara. Kecurangan menjadi mudah di identifikasi dengan dikuatkan oleh sistem administrasi pemungutan suara yang ketat.

Isu teknis sepanjang Pemilu 2004 dan 2009 bergeser ke arah Money Politics ketika kampanye, korupsi oleh penyelenggara Pemilu yang akhirnya menyeret beberapa nama Anggota KPU ke pengadilan. Juga isu tekni seputar kecurangan yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu, rebut mengenai daftar pemilih sementara dan tetap, berikut persoalan waktu cetak dan pendistribusian surat suara yang terlambat. Pergeseran persoalan tersebut membuat kehadiran relawan untuk memantau kecurangan dalam Pemilu 2004 dan 2009 menjadi tidak signifikan.

Demokrasi Indonesia memasuki fase baru, tidak ada lagi euforia berlebihan dari pemilih seperti tahun 1999. Hal ini dibuktikan dengan turunnya jumlah partisipasi pemilih dari 92,5 % di Pemilu 1999, menjadi 84,1 % pada Pemilu 2004 dan terus turun menjadi 70,9 % pada Pemilu 2009. Belum lagi angka Golput yang semakin tinggi berkisar 15-35% hingga Pemilu 2009. Hal ini banyak disebabkan karena ketidakmampuan Partai Politik membaca perubahan dan perilaku pemilih. Lalu jawaban praktis muncul menjelang 2004, jawabannya dibawa oleh Lembaga-lembaga Kajian dan Konsultan Politik yang mengkombinasikan pendekatan statistik survei dan teori-teori marketing dan branding, yang juga diperkuat oleh teknologi periklanan di media massa. Fase 2004 hingga 2009 ini banyak disebut sebagai era politik pencitraan. Perbedaannya 2004 banyak melibatkan tim sukses, di tahun 2009 nyaris peran tersebut diambil alih oleh konsultan professional. Model ini semakin diperkuat dengan konteks politik ideologi yang semakin melemah seiring dengan keraguan publik terhadap pilihan demokrasi. Kasus korupsi dan kasus-kasus lainnya membuat Pemilu Indonesia lesu dari inisiatif partisipasi publik.

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tahun 1999 menggunakan konsultan komunikasi Soedarto & Noeradi PR (SNPR) juga Golkar sudah bekerjasama dengan Ida Sudoyo & Associates (Akhmad Danial, 2009). Lalu ini berlanjut di tahun 2004, bahkan rumah produksi berlomba untuk menerjemahkan gagasan politik kandidat maupun Partai menjadi sebuah visualisasi iklan dengan durasi tertentu. Televisi dan Media cetak dipenuhi oleh iklan kampanye politik. Mungkin situasi ini sejalan dengan apa yang dikatakan Charles-Maurice de Talleyrand, seorang diplomat ulung asal Perancis “Dalam perpolitikan, apa yang menjadikan keyakinannya akan lebih penting daripada apa yang sebenarnya terjadi.” Iklan politik yang dibuat secara professional tersebut bukanlah realitas politik, artinya pemilih dipaksa berpindah dari pertimbangan ideologis rasional kepada sesuatu yang “bukan realitas” atau imajiner.

Bisa kita lihat tayangan televisi dan media cetak ketika berlangsung Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden tahun 2004. Hasil hitung cepat menjadi alat kontrol baru, pembentukan opini publik secara bertingkat dan konsisten, serta teknik pendampingan untuk pemenangan perseorangan atau parpol adalah metodologi yang juga digunakan NAMFREL ketika mengawal Pemilu Filipina. Perbedaannya terletak di soal hubungan kerjasama antara aktor politik dan aktor professional. Jasa konsultan politik tidak bisa diabaikan dalam era demokrasi sepanjang 2004 hingga 2014.  Lembaga Survey Indonesia (LSI), FOX Indonesia, Ligkaran Survey Indonesia, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Pol-Mark, Cyrus Network dll adalah nama-nama yang seringkali menjadi rujukan media massa dalam perhitungan cepat hasil Pemilu. Tentu kita tidak lupa dengan kemenangan Partai Demokrat dan SBY di tahun 2009 yang membawa FOX Indonesia melambung, juga PKB yang sudah diujung tanduk lalu ditangani oleh SMRC malah melonjak menjadi salah satu parpol papan atas.

Banyak tuduhan miring (seringkali tanpa bukti) mengenai keberadaan konsultan politik tersebut, apalagi jika berkenaan dengan kehadiran konsultan abal-abal yang kadang hanya mengandalkan relasi ketimbang penguasaan metodologi ilmiah. Namun diluar itu kehadiran konsultan politik yang memiliki kredibilitas baik merupakan langkah maju. Ternyata demokrasi Indonesia tidak membutuhkan waktu lama untuk mengadopsi ilmu pengetahuan dan teknologi, fenomena survei/polling, adu strategi dan taktik, adu ketepatan periklanan adalah hal yang positif untuk memberikan informasi kepada publik ditengah ketidakmampuan Partai melakukan fungsi edukasi politik. Tentu dibutuhkan masyarakat yang kritis sebagai prasyarat lain agar demokrasi menjadi lebih berkualitas. Konten pesan yang dikirim kepada publik tidak langsung dicerna begitu saja, masyarakat kritis memerlukan rasionalitas sebagain senjata utama menjatuhkan pilihan politiknya. Disini fungsing media massa yang kredibel dan beritegritas sangat dibutuhkan. Media sosial adalah cerita berbeda yang masuk di tahun politik 2014.

Kisah Ainun dan Jokowi

Pemilu legislatif 2014 menjadi sangat panas, pertanyaan mendasar mengenai pilihan Partai Politik menyertakan satu pertanyaan sisipan “siapa calon Presiden dan Wakil Presidennya?” Lalu semua orang, tidak terkecuali mereka yang awalnya cuek dengan diskusi politik, tiba-tiba berada dalam kondisi masyarakat yang terbelah ke dalam dua kubu menjelang Pilpres 2014. Tentu kita masih ingat betul setiap detail perdebatan di masa itu. Ada tiga hal yang berpengaruh besar saat itu: Media massa, Media sosial dan Tim Sukses. Media massa konvensional seperti Televisi, Koran dan Radio  sebagai agen informasi bukan lagi menjadi pemain tunggal di arena politik. Fenomena tarung politik bahkan lebih panas berlangsung di media sosial. Bukan kisah dibuat-buat jika salah satu yang disebut-sebut sebagai penentu kemangan Jokowi adalah keunggulannya di media sosial. Berikut dukungan politik yang tercipta dari media sosial tersebut.

Perbedaan mendasar antara keduanya terletak pada kemampuan penerima pesan (audiens) dalam hal ini pemilih, untuk melakukan konfirmasi dan interaksi dengan si pengirim pesan. Baik di televisi maupun di media cetak, para penonton dan pembacanya tidak bisa melakukan konfirmasi terhadap konten yang dikirim, juga tidak bisa sekedar melakukan koreksi jika terjadi kekeliruan tayangan atau konten berita. Semua berlangsung satu arah. Sementara media sosial menawarkan tingkat interaksi, konfirmasi, koreksi dan afirmasi antara pengirim pesan dengan penerima. Interaksi langsung bisa berlangsung sangat panas. Jika terjadi kekeliruan konten, publik media sosial akan langsung bereaksi. Proses interaksi ini akhirnya mampu menciptakan kredibilitas dan integritas politik.

Di media sosial, anda sulit melakukan rekayasa tanpa ada protes dari pihak lain. Konten media massa cenderung melewati satu verifikasi informasi oleh redaksi, karenanya meski media sosial bisa lebih cepat dan interaktif namun dalam hal tingkat kepercayaan mengenai informasi tetap menjadi milik media konvensional. Titik damai diantara keduanya bernama media online. Di media online, kredibilitas informasi yang dimiliki media konvensional bisa berkomprmi dengan akselerasi informasi yang cepat dan tepat sasaran yang dimiliki media sosial.

Jokowi berhasil memenangi Pilpres 2014, namun cerita yang paling seru terjadi di hari H pemilihan Presiden ketika beberapa stasiun televisi menayangkan hasil Hitung Cepat yang berbeda. TVOne dan MNC Group menayangkan data dari beberapa lembaga survei yang memenangkan pasangan Prabowo dan Hatta. Sementara MetroTV, TransTV, NET TV, SCTV, Indosiar menayangkan data lembaga survei yang memenangkan pasangan Jokowi-JK. Publik yang sudah sejak awal terbagi dalam dua kubu menjadi kehilangan pegangan. Diskusi berlanjut bukan lagi soal menang-kalah, tapi bergeser ke pertanyaan benar-salah atau valid-invalid. Yang bertarung bukan hanya kandidat calon, tapi juga para tim sukses, relawan, artis, media massa, dan juga lembaga survei. Kekacauan informasi ini terus mewarnai masa-masa pasca Pilres, kedua kubu mengklaim kemenangan mereka, publik tersesat di kebisingan informasi yang begitu cepat tanpa bisa melakukan konfirmasi kebenaran.

Ditengah kebingungan itu muncul sosok Ainun Najib penggagas KawalPemilu.org yang menyajikan data perolehan suara secara faktual (real count). Ainun tidak sendiri, dua orang lagi adalah Felix Halim yang bekerja di kantor pusat Google di Amerika Serikat, sementara Andrian Kurniady juga bekerja di Google Sydney Australia. KawalPemilu.org juga diperkuat oleh sekitar 700 Netizen yang bekerja menginput data Formulir C1 sebagai bukti faktual keabsahan perolehan suara di TPS. KawalPemilu.org adalah gerakan pemantauan baru ketika masyarakat Indonesia kebingungan harus mempercayai hasil Quick Count yang dipublikasikan oleh Lembaga Riset dan juga media massa. Apalagi saat itu, media juga terpecah dalam keberpihakannya kepada kepentingan pemilik media. Ainun dkk adalah kisah lain dari pemantauan Pemilu di abad digital. Pemantauan CrowdSourcing yang melibatka setiap orang yang ingin berpartisipasi mengawal terwujudnya Pemilu  yang Jujur dan Adil.

Era Kepo Pemilu: Koalisi Kekuatan Marjinal Menjadi Kekuatan Penentu

Momentum Pemilihan Presiden tahun 2014 membuat semua pihak tersentak, betapa masyarakat kita sudah begitu dewasa dalam berdemokrasi. Tidak benar bahwa apatisme telah menghinggapi sebagian besar warga negara Indonesia. Itu benar-benar hanya asumsi dan tuduhan tanpa bukti. Publik pemilih akan menunjukkan keberpihakannya, bahkan tanpa diminta, jika di depan matanya berlangsung konspirasi kejahatan dengan begitu telanjang. Inisiatif akan muncul bersama partisipasi yang kekuatannya bisa tidak terduga. Telah banyak kita saksikan bagaimana reaksi publik media sosial menyatakan perlawanan dan penolakan terhadap upaya pendongkelan beberapa pemimpin yang mereka cintai. Sebut saja Ahok di Jakarta, ketika DPRD sedang berupaya menggagalkan Ahok sebagai Gubernur DKI, berbagai upaya dilakukan, bahkan dengan menggunakan serangan berbasis Agama dan Ras. Namun publik media sosial membela dengan meluncurkan #SaveAhok yang kemudian menjadi Trending Topic Dunia di jagad Twitter. Atau sebut saja Risma di Surabaya, atau Ridwan Kamil di Bandung  yang selalu mendapatkan apresiasi dan pembelaan di media sosial.

Jagad politik sedang bergerak bersama inovasi teknologi komunikasi digital. Mungkin tidak lama lagi dunia cetak mencetak spanduk dan baliho akan mulai digantikan oleh berbagai platform di media digital. Gadget telah menggantikan Televisi sebagai primadona alat mengirim dan menerima pesan. Bisa kita bayangkan, ketika hanya dalam waktu tidak lebih dari 15 menit sebuah aksi protes bisa dirancang melalui sebuah Group WhatsApp. Tidak lebih 90 menit berikutnya para penggagas aksi protes atas keputusan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang menggelar Sidang Tertutup atas kesaksian Setya Novanto itu, telah berada di depan ruangan siding MKD di Senayan, lengkap dengan konsep Press Release. Pola komunikasi politik yang semakin efisien, mulai meninggalkan pola komunikasi yang birokratis dan penuh protokoler, menjadikan publik kembali bergairah. Politik tidak lagi menjadi barang mewah yang dipajang di etalase mall sehingga sulit dijangkau oleh masyarakat ekonomi lemah. Politik kembali memperoleh gairahnya, dari semua untuk semua.

Ketika publik mendapatkan kembali kepercayaan dirinya sebagai Warga yang memiliki Hak untuk menentukan nasib bangsanya. Maka bukan hal yang sulit untuk mengajak mereka melakukan kontrol terhadap kekuasaan. Ini yang terjadi ketika PSI, Change.org dan KawalPilkada.id meluncurkan sebuah gerakan dengan hashtag #KepoinPilkada 9 Desember 2015. Respon publik cukup baik, karena gerakan ini mengajak pemilih untuk berpikir cerdas dan kritis dalam menentukan pilihan politiknya dalam Pilkada yang berlangsung di 269 Kabupaten/Kota tersebut. Ini fenomena baru, ketika sebuah gerakan pemantauan yang didukung oleh kredibilitas penggasnya dan juga kreativitas penyampaian pesan politiknya bersanding bersama, maka publik langsung merespon dengan cepat.

Media sosial dulu disebut sebagai Dunia Maya atau tidak nyata (unreal), sementara Pemilih juga hanya dilihat sebagai tidak lebih kertas suara. Lebih jahat lagi, kertas suara itu bisa diperdagangkan oleh para penyelenggara Pemilu. Banyak kejadian dimana kandidat tidak perlu lagi membeli suara langsung dari rakyat, tapi langsung ke penyelenggara Pemilu dengan harga yang jauh lebih murah, “ngapain eceran kalo bisa grosiran” prinsip mereka. Dengan inisiatif dan dukungan partisipasi publik di setiap momentum politik, maka disitu akan mulai terbentuk mekanisme kontrol baru. Relasi kekuasaan baru, dimana rakyat bukan lagi sebagai obyek, tapi menjadi subyek langsung dari kekuasaan.

Media sosial dan pemilih adalah sama -sama merupakan subyek marjinal yang dulunya hanya bisa menonton dari pinggir gelanggang. Ternyata di alam gerakan digital seperti seperti KawalPemilu.org dan #KepoinPilkada 2015 rakyat menemukan dirinya menjadi penentu berakhir tidaknya sebuah kekuasan, rakyat baru merasakan dirinya sepenuhnya adalah Raja yang memilih pelayan-pelayannya. Jaman baru telah datang, jaman KEPOnya orang-orang kreatif, jaman pemilih yang tercerahkan. Di era seperti ini, kepala suku utamanya adalah : create, upload, share dan engage. Buat semua yang kita mau, upload secara bertanggungjawab dengan menyertakan sumber materi, berbagilah kepada publik agar pihak lain bisa merasakan dan memberikan penilaian terhadap sesuatu yang kita buat. Terakhir, jikalah langkah sebelumnya berhasil mendapat simpati publik, maka engagement atau keterlibatan bukanlah hal yang sulit untuk didapatkan. Gerakan #KepoinPilkada adalah gerakan melawan korupsi dan intoleransi.

Solidaritas Orang Muda
Diskursus Kolom

Solidaritas Orang Muda

Meniti Jalan Baru Politik Indonesia di Era Digital

Rubrik Diskursus – Koran Solidaritas Edisi IV, Oktober 2015

Oleh: Ramli Hussein (Pimpinan Redaksi Koran Solidaritas)

Orang Muda

Pasti banyak yang mencibir Soekarno ketika ditengah kawan-kawannya yang kumuh, dia seorang diri berpakaian rapi dan selalu necis dalam setiap penampilan. Mungkin juga lebih banyak yang mengutuk Soekarno, daripada memberinya simpati, ketika cintanya kepada seorang Noni Belanda harus kandas ditengah jalan. Cintanya harus menyerah pada kenyataan bahwa perbedaan warna kulit bisa menimbulkan perbedaan dalam cerita percintaan. Mungkin itulah benturan pertama Soekarno dengan kolonialisme.

Tentu tidak ada yang menyangka bahwa pemuda Kusno yang necis, sedikit bergaya aristokrat itu akan didampingi oleh seorang anak muda Minang bernama Hatta, kelak akan menjadi orang yang mengumumkan kemerdekaan Indonesia kepada dunia. Dari sebuah Gang kecil di Surabaya, Gang Peneleh 10, HOS Tjokroaminoto seorang aktivis Sarekat Islam melahirkan orang-orang muda berpikiran maju. Tjokro tentu tidak mengajarkan teori semata, Tjokro mengajarkan bagaimana seorang Guru harus bersikap. Satu kata – dengan perbuatan. Anak kos Gang Peneleh mengambil jalannya masing-masing. Muso dan Semaun mendirikan Partai Komunis Indonesia, Kartosuwiryo mendirikan DII/TII, Soekarno sendiri mengambil jalan Nasionalis.

Ketika masa berjuang, mereka bisa bersama. Mendekati ruang kekuasaan mereka saling berkelahi. Mungkin sedemikian membiusnya aroma kekuasaan itu sehingga tidak cukup pertemanan dan penderitaan berpuluh tahun, demi sebuah perebutan kuasa politik. Setiap zaman memlilih anaknya sendiri untuk ditulis dalam sejarah. Itu juga yang terjadi dalam Kongres Pemuda Oktober 1928. Keberanian berimajinasi, mengambil jalan berbeda, bahwa hari ini – tidak boleh sama dengan hari esok, hanyalah dilahirkan oleh orang-orang yang tidak punya ketergantungan besar pada kebahagiaan dunia. Biasanya itu yang disebut “orang muda.”

Rock, Hippies dan Generasi Bunga

Ketika dunia memasuki tahun 1960, perang berkecamuk kembali. Perang yang sudah lama diramalkan Churchill akan meletus, bahkan sebelum pendaratan sekutu di Normandia sebagai awal dimulainya Perang Dunia II. Dunia terbagi dalam kekuatan Bipolar, TImur dan Barat, Kapitalisme melawan Komunisme, Liberalisme melawan Komunitarianisme. Porosnya adalah Amerika Serikat dan Uni Soviet. Namun yang merasakan dampak paling mengerikan justru wilayah Asia dan Amerika Selatan. Di Asia Tenggara: Laos-Cambodia dan Vietnam lalu terakhir Indonesia, terlibat perang saudara yang sampai hari ini masih terasa dampaknya. Perang dunia kedua memang melibatkan mesin-mesin tempur dalam sebuah perang terbuka. Namun Perang Dingin tidak kalah mencekam, dengan melibatkan operasi intelijen tertutup dan beberapa kisah tentang “boneka lokal” yang digunakan untuk kepentingan membelah dua dunia.

Tiba-tiba sebuah gerakan orang-orang muda merebak di jantung Amerika Serikat. Diawali dengan penolakan mereka terhadap konservatisme Gereja, diskriminasi rasial, kemapanan yang membosankan dan kemuakan terhadap kisah peperengan yang tak pernah berujung. Generasi bunga lahir melahirkan sebuah kultur tandingan. Gramsci menyebutnya sebuah “counter hegemoni” Dasarnya teorinya sederhana, penundukan seseorang atau kelompok bukan hanya karena ketidak berdayaan fisik. Tapi juga karena makna “kebenaran” dikuasai oleh segelintir orang dan karenanya kelompok lain terkadang menerimanya sebagai sebuah kewajaran. Flower generation menolak hegemoni atas logika-logika kemapanan yang berujung pada pembenaran diskriminasi rasial, penundukan seksual, kesenjangan ekonomi dan melegitimasi terjadinya perang saudara di beberapa negara.

Musik Rock N’Roll didaulat menjadi lafadz perjuangan kaum Hippies. Usia mereka mendekati 30 tahun ketika mereka menari dan bernyanyi di sepanjang jalan-jalan Amerika Serikat sampai ke Eropa. Mereka tidak lagi bertanya tentang kebebasan dan kesetaraan manusia, juga tidak meminta dan menuntutnya. Mereka “melakukannya” sebagai penolakan langsung terhadap aturan gereja, hukum Negara dan keganderungan tentara pada perang. Sambil membawa spanduk ‘Make Love Not War’ mereka bertelanjang di jalan-jalan raya. Sebagai simbol perlawanan terhadap ‘candu kekuasaan dan kekerasan’ mereka menggunakan narkotika secara terbuka, menurut mereka perang lebih mematikan dari narkotika.

Ketika Barat dan Timur saling berperang dan menghancurkan. Kaum Hippies justru menjadikan Timur sebagai rujukan tata dunia yang penuh kedamaian. Tidak heran jika The Beatles lalu memburu ilmu ke India. Lagu Stairway to Heaven, All you need is love, Imagine dan Mary Jane mendatangkan euforia Bahasa dunia baru “Rock N Roll dan Hippies.” Menolak perang, bercinta dan bermusik menjadi karakter Flower Generation ini.  Nama-nama seperti Jimi Hendrix, Pink Floyd, Janis Joplin, The Doors masih kita dengarkan karyanya sampai hari ini. Generasi bunga tidak hanya melahirkan kebudayaan baru, tapi juga tatanan nilai baru dalam pergaulan internasional. Pintu dibuka bagi Malcolm X untuk menyuarakan keaamaan hak kulit putih dan kulit hitam di Amerika Serikat, begitu juga kesadaran akan pentingnya kesetaraan gender dan perdamaian dunia.

Salah satu jejak dari suara Generasi Bunga itu bisa kita saksikan dalam video-video dan juga masih digelar hingga hari ini. Dunia mengenangnya sebagai salah satu sumbangan Musik Rock pada perdamaian dunia. Ketika selama tiga hari non-stop, di sebuah lahan pertanian di Bethel – New York, sekitar 700.000 kaum Hippies berkumpul dalam sebuah pagelaran musik Woodstock. Perang dingin berakhir, namun suara dari Woodstock, lirik-lirik lagu dari generasi bunga itu masih terdengar hingga hari ini.

Bob Marley, Reggae dan Pesan Damai untuk Afrika

Desmon Tutu, tokoh pembebasan dan rekonsiliasi Afrika Selatan pernah menjelaskan bagaimana Politik Apartheid dimulai di benua itu. “Ketika mereka (bangsa kulit putih) datang, kami punya tanah dan mereka punya kitab. Lalu mereka berkata: tutuplah matamu dan berdoa, Tuhan akan menghilangkan kesedihan hati kalian. Ketika kami membuka mata, mereka punya tanah dan kami punya kitab.”  Apartheid, sebuah politik rasial, yang memisahkan secara genetis dan seksual kelas kulit putih dan ras kulit hitam. Politik identitas itu lalu terus berlanjut pada berkuasanya Apartheid yang dalam  bahasa Afrika, dikenal dengan istilah Aparte Ontikelling atau perkembangan yang terpisah.

Afrika hampir satu abad dilanda perang, lima tahun sebelum Perang Dunia II dimulai, Divisi Der Panzer Jerman dibawah komando Erwin Rommel telah menjelajahi Afrika. Belum selesai duka perang dunia kedua, kemajuan belahan dunia yang lain tidak dirasakan di Afrika. Politik Apartheid kembali berkuasa, migrasi besar-besaran terjadi bersambut dengan perang saudara di beberapa titik, termasuk Jamaika.

Jamaika, Reggae, Rasta dan Marijuana. Empat kata yang sulit dipisahkan, mengapa demikian? Tidak lain karena penderitaan berkepanjangan. Empat kata tersebut mengikat mereka ke dalam sebuah identitas baru yang mengandung harapan, minimal menjadi obat penawar sakit sementara. Jauh sebelum membumi, langgam dan ritme Reggae adalah musik ritual pemujaan. Tidak heran jika Reggae memiliki cita rasa magis dan mistis, karena memang sebagai musik ritual, haruslah punya dua kekuatan tersebut. Lalu datanglah Bob Marley, anak muda yang tentu akrab dengan perjuangan kesetaraan ras yang disaksikannya langsung di Amerika Serikat dimana dia dan ibunya tinggal. Yang istimewa, Bob Marley punya keahlian: suaranya unik dan kemampuan bermusiknya sangat bagus.

Usianya masih 17 tahun ketika Marley menginjakkan kaki kembali di Jamaica. Dihari yang sama, Raja Etophia Haile Selassie mengunjungi Jamaica. Mereka berdua memiliki kesamaan, terinspirasi oleh intektual Afrika, Marcus Garvey. Afrika untuk bangsa Afrika, adalah inti pemikiran nasionalis Garvey. Namun hal yang tidak kalah pentingnya,  Garvey mencoba melakukan dekonstruksi Teologis, dengan menyebutkan bahwa Tuhan  bukan dari ras kulit putih, tapi dari Afrika dan berkulit hitam. “Harusnya Moses berkulit hitam seperti mereka,” Bob Marley sangat mengagumi Garvey dan Selassie, pengalaman masa kecilnya menjadikannya demikian. Marley melihat Ibunya ditinggalkan oleh ayahnya (kulit putih) dan tidak pernah peduli lagi dengan nasib mereka.

Reggae yang disuarakan oleh Bob Marley adalah perpaduan dari kekuatan ritual transenden yang merupakan inti kekuatan spiritual orang Afrika, kekuatan lirik yang hadir mewakili penderitaan akibat politik Apartheid, menjadi identitas baru yang pelan-pelan membentuk kesadaran baru Orang Muda Afrika. Rastafarian adalah anti tesis dari apa yang selama ini kulit putih install ke kepala mereka. Rastafari menjadi mazhab religius baru, ritual baru, kebudayaan baru,  identitas Afrika baru dan aknirnya menjadi kekuatan Partai Politik Baru.

Lagu dan lirik Reggae dari Bob Marley membuat perubahan itu menyebar lebih cepat. Marley mewakili ekspresi penolakan terhadap ketidakadilan dan ajakan untuk bersatu dalam perdamaian. Lagu Buffalo Soldier dan album Exodus misalnya adalah ajakan agar pemuda Afrika yang ada diluar negeri untuk kembali ke Afrika, tanah yang dijanjikan Zion. Marley menyemai Reggae, semangat pembebasan, namun juga pemberontakan. Tidak heran dua butir peluru bersarang ditubuhnya ketika hendak menggelar konser di Taman Nasional Kingston. Namun Marley tetap menggelar konser tanpa merasa takut.

Suara Marley terdengar ke penjuru dunia, bahkan beberapa lagunya sempat bertahan lama di Top Chart di Amerika dan Inggris. Terutama lagu No Woman No Cry melambungkan Reggae sebagai genre musik dunia. Pesan yang ada di dalamnya memang tidak ringan, namun itulah politik seorang Marley: Musik, ritual dan pembebasan Afrika. Marley tidak pernah berhenti sampai dirinya meninggal dunia di Miami karena kanker. Namun namanya telah menginspirasi jutaan orang Afrika untuk mengatakan TIDAK pada Politik Apartheid. Tidak lama setelahnya, Apartheid terjepit oleh perlawanan dari Afrika dan tekanan dunia internasional. Rezim Apartheid akhirnya menyerah, sebagian diadili dalam sebuah Sidang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang melambungkan nama Desmon Tutu dan Nelson Mandela. KKR Afrika Selatan adalah tanda berakhirnya politik Apartheid.

Si Lupus, Gang Potlot dan Reformasi 1998

Awal 1980an di Indonesia, selain Donald Duck, Micky Mouse dan komik Siksa Api Neraka jarang buku cerita bermutu. Radio hanya ada sandiwara radio Misteri Gunung Merapi. Sementara di Televisi si Huma dan Unyil masih menjadi tokoh sentral. Nasib layar lebar tidak kalah menyedihkan, meski ada beberapa yang bagus, namun lebih banyak menyajikan kultur anak muda glamour, silat yang jauh dari ikatan historis, malah dibumbui ornamen pornografi (dalam arti ekslpoitatif) yang menjadi senjata satu-satunya agar film ditonton orang. Sementara itu di dunia musik Endang S. Taurina, Obbie Mesakh, Nike Ardilla, Betharia Sonata dan Desi Ratnasari masih terus melantunkan kesedihan cinta. Keadaan spiral keheningan dalam teori Noelle-Neumann, begitu hening tapi mencekam, seakan menunggu waktunya untuk pecah.

Di media cetak apalagi, anak muda tidak memiliki referensi memadai kecuali diktat-diktat wajib yang kering dari pengetahuan baru, lebih sering menjadi penghasilan sampingan guru-guru saat itu. Budaya menulis menjadi beku, novel-novel kebanyakan dari terjemahan luar negeri, itupun sangat terbatas. Anak SMA saat itu lebih sering bertukar bacaan stensilan porno dengan tokoh Nick Carter, agen intelijen cabul. Selebihnya hanya majalah dengan berita yang datar. Sementara orang muda selalu membutuhkan ruang pertukaran emosi, namun kenyataan harus diterima, rezim Orde Baru membatasi bacaan-bacaan politik dan progresif selain yang ditetapkan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dan Badan Sensor.

Bacaan yang berbeda dari berbagai mazhab, baik yang berbasis agama maupun filsafat sosial beredar secara diam-diam. Kelompok-kelompok diskusi kecil bermunculan, sembunyi-sembunyi, tadinya berlangsung diluar kampus, pelan-pelan mulai masuk ke organisasi mahasiswa formal, terutama pers mahasiswa. Entah darimana bacaan-bacaan itu mulai bermunculan, ada yang berbahasa Inggris ada juga yang berupa terjemahan yang diketik ulang atau bahkan tulisan tangan. Dalam kajian Islam bemunculan referensi Revolusi Iran karya Suroosh Irfani atau pemikir lainnya Sayyid Ahmad Khan dan Jamaluddin al-Afghani. Di kajian kelompok Kristen mulai bermunculan karya-karya Paulo Freire tentang teologi pembebasan. Di beberapa tempat buku paling dilarang selama Orde Baru seperti karya Pramoedya Ananta Toer dan referensi filsafat kritis lainnya mulai dibaca kembali.

Lalu Hilman Wijaya muncul, dengan cerita berseri LUPUS, sosok anak muda sederhana, urakan, tidak necis dan jorok. Bacaan Lupus dan peran Majalah HAI ketika itu cukup gencar. Generasi Indonesia yang merupakan antitesis dari cerita kesedihan generasi sebelumnya mulai terasa. Tiba-tiba Lupus menjadi sosok yang melawan pakem Si Boy anak muda glamour dengan mobil mewah dan mobil terbaru. Lupus mengunyah permen karet dan naik bus kota. Lupus menjadi idola baru, karena mayoritas yang diam, seakan terwakili oleh sosok rekaan Hilman Wijaya.

Di Gang Potlot, Bimbim yang tadinya ‘nongkrong’ di Cikini Stone’s Complex dengan lagu-lagu Rolling Stones sebagai genre utamanya masih mencari formasi band yang tepat. Spirit Rock N Roll dari Flower Generation juga tiba di Jakarta, begitu juga Reggae pembebasan Afrika mulai bermunculan. Tentu generasi sebelumnya ada Iwan Fals yang cukup keras dan digandrungi, tapi Iwan sudah terlalu besar, konser-konsernya dilarang dimana-mana. Mungkin juga lagu Iwan Fals kurang menghentak anak muda saat itu.

Desember 1990, album pertama SLANK berjudul ‘Suit suit He hee.. Gadis Sexy” diluncurkan dan meledak di pasaran. Generasi Obbie Mesakh dengan semut yang berbaris di dinding sudah berakhir. Dengan musik yang diramu apik oleh Kaka, Bimbim, Pay, Indra dan Bongky ini, lirik cinta dengan bahasa baru menarik perhatian orang muda. Slank konser disambut ribuan orang, wajar album kedua mulai dilirik pemerintah. Selain karena mulai menghembuskan narasi politik, Bahasa yang digunakan seperti dalam lagu “Anjing” langsung terjaring sensor. Slank menjadi fenomena baru, tapi Gang Potlot 14 bukan hanya Slank, dari sana lahir Oppie Andariesta yang juga muncul dengan lirik dan musik yang jauh dari ‘kecengengan.’ Lagu Oppie  mencerminkan perempuan yang mandiri dan tegar. Sangat berbeda jika dibandingkan lirik Betharia Sonata yang ketika disakiti hanya bisa meminta dipulangkan ke rumah orang tuanya. Atau Desi Ratnasari dengan Tenda Biru menyajikan kesedihan ditinggal kawin sang kekasih.

Gang Potlot 14 juga melahirkan Anang yang PopRock, Imanez dengan warna Reggae dan banyak lagi musisi lainnya mulai lahir. Gairah baru berhembus, spiral keheningan mulai pecah. Orang berkumpul dimana-mana dalam konser-konser. Disisi lain kelompok-kelompok diskusi di luar kampus, mulai masuk ke Senat-senat mahasiswa, masjid-masjid kampus mulai hidup dengan narasi yang ‘bukan’ narasi mainstream. Bahkan sebagian nekad mendirikan Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang lalu pada tahun 1996 oleh Kejaksaan Agung dinyatakan sebagai partai terlarang.

Massa mulai terkonsentrasi, Slank dan Geng Potlotnya melahirkan musiknya dari potret sosial yang berlangsung. Bimbim dan Kaka menyerukan kebebasan melalui musik, Hilman WIjaya berhasil memantik gaya penulisan baru, setelahnya muncul sosok Si Roy karya Gola Gong. Majalah remaja bermunculan seiring dengan majalah politik dan kajian sosial. Lalu spiral keheningan itu pecah, kerumunan massa berubah menjadi kerumunan politik. Era demokrasi tiba, spiral ketakutan berganti kebebasan berbicara dan berekspresi. Mei 1998, adalah tanda dimulainya era reformasi di Indonesia.

Kebingungan dalam Era Keterbukaan

Reformasi 1998 mampu memobilisasi jutaan anak muda karena sumbatan sosial sudah semakin terasa. Kata Slank ‘mau begini salah, mau begitu salah, lalu yang mana yang nggak salah?’ cerita reformasi memang banyak didukung oleh kemarahan sosial kepada dinding kekuasaan yang sudah dirasakan terlalu angkuh menghadang generasi baru yang muncul. Para pemikir reformasi mulai merasakan bahwa ternyata arah perubahan politik telah dibajak. Politik yang terbuka, ternyata dirasakan menjadi sangat normatif prosedural, seperti sirkulasi kekuasaan lima tahunan. Desentralisasi kekuasaan melalui otonomi daerah dan Pilkada langsung, tetap dikuasai oleh elit-elit partai. Aktor politik tidak berganti, begitu juga dengan aktor ekonomi yang menopang negara. Benar adanya, terjadi desentralisasi ekonomi disatu sisi, namun jika diurut ke puncak mata rantai ekonomi, nama yang sama saat Orde Baru juga masih tercantum disana. Gerakan LSM, non partisan, mahasiswa, buruh dan perempuan dihadapkan pada satu kenyataan bahwa: dalam sistem politik yang terbuka, representasi aspirasi politik paling sentral adalah Partai Politik. Teori anti-partisan harus direvisi, Partai Politik harus direbut.

Beberapa dari aktivis angkatan 98 itu mencoba secara individual untuk masuk merebut ruang-ruang politik di partai. Namun kembali, kenyataan yang tidak bisa dihindari adalah fakta bahwa Partai-partai politik di Indonesia membutuhkan darah biru dan kesiapan finansial. Ruang politik yang terbuka adalah catatan penting keberhasilan Gerakan Reformasi. Bagaimanapun ruang keterbukaan masih jauh lebih baik, daripada berdiskusi politik dibawah ancaman rezim. Namun zaman benar-benar berubah lebih cepat. Rekayasa-rekayasa politik dilakukan, sebagian mencoba mendirikan partai politik: Partai Matahari Bangsa (PMB) yang digawangi anak-anak muda Muhammadiyah berhasil menjadi peserta Pemilu, begitu juga dengan PRD berhasil mengikuti Pemilu 1999. Namun tidak satupun dari keduanya berhasil melampaui Parliament Threshold. Sebagian mencoba membangun partai politik Partai Perserikatan Rakyat (PPR) yang kebanyakan adalah aktivis Buruh dan Tani, platform ideology partai dusah rampung, namun gagal dalam verifikasi administrasi Partai Politik di Kementerian Hukum dan HAM.

Di sektort yang berbeda, insan-insan kreatif Indonesia sedang bergumul dengan industri-industri, aturan-aturan hak cipta dan birokrasi negara yang tidak disiapkan untuk mengakomodasi kepentingan mereka. Harusnya fokus berkarya, sebagian dari mereka malah harus menyisihkan waktu untuk menjawab persoalan diskoneksi antara insan kreatif, negara dan pasar. Sangat berbeda jika kita lihat dunia fashion, film dan musik di Korea Selatan. Insan kreatif, industri dan negara digerakkan dalam satu nafas yang sama. Tidak heran K-Pop, film dan fashion Korea mampu menembus pasar Indonesia dengan mudah. Negara yang tahun kemerdekaannya sama dengan Indonesia itu telah merajai industri musik, film, fashion Asia. Pelan tapi pasti menggeser India, Jepang dan Hong Kong.

Solidaritas Politik Digital, Trance dan PSI

Bukan anak muda jika tidak mampu menjawab tantangan jamannya. Social media menjadi fenomena yang berhasil membuat dua lapangan (politik dan dunia kreatif) menjadi menemukan jalan baru. Dunia sosial menyediakan berbagai kemudahan untuk memasarkan karya-karya, saling betukar informasi dengan cepat serta membukan keran ekonomi baru yang  tidak membutuhkan birokrasi dan formalitas yang rumit. Geliat kehidupan di internet dan gadget menjadikan anak-anak muda Indonesia tumbuh dan membangun karakter digitalnya sendiri melalui alat baru ini. Pelan-pelan media berbasis cetak dan layar televisi mulai merasakan ancaman bisnis. Di dunia politik, dukungan politik dan konfirmasi kritik terhadap gaya hidup elit dengan cepat menyebar. Kemenangan Jokowi dalam Pilpres 2014 menjadi salah satu fakta penting yang harus dicatat. Melalui akun-akun sosial, menjalar sebuah gerakan baru, tidak membutuhkan Kartu Anggota, atau bahkan tidak perlu menjadi anggota partai tertentu untuk menyatakan sebuah sikap dan pilihan politik.

Tidak seperti media cetak dan elektronik yang cepat menyadari pentingnya bertransformasi ke dunia digital. Partai politik malah masih asik dengan fasilitas lama, bahkan berusaha mempertahankan kebijakan lama demi melanggengkan privilege kekuasaannya. Metode politik lama masih digunakan, spanduk dan billboard serta iklan televisi masih menjadi andalan saat kampanye. Padahal rekruitmen keanggotaan dan kaderisasi politik seperti itu, sudah terbukti using dan tidak pernah mampu memobilisasi dukungan dari orang muda.

Dunia sedang berubah, raksasa keuangan dunia yang berkantor di Wall Street diserbu demonstrasi massal berhari-hari. Tanpa menggunakan surat kabar mainstream dan televisi untuk menyebarkan ajakan dan propagandanya. Kumpulan massa itu saling terhubung dari akun-akun media sosial seperti Facebook dan Twitter. Hal yang sama terjadi di Tahrir Square yang merupakan awal berjatuhannya rezim-rezim otoriter di jazirah Arab. Dari Hongkong seruan Joshua Wong, pelajar muda itu berhasil memicu demostrasi dan pemogokan massal melawan kebijakan Beijing yang sedang merajai ekonomi dunia. Arus sejarah dan peradaban terus dihembuskan melalui jaringan-jaringan baru yang mungkin unik dan rumit bagi orang berusia 50an tahun. Namun tidak bagi anak-anak muda, gadget dan sosial merebut ruang-ruang yang selama ini tidak disediakan oleh elit dan juga negara.

Sementara itu di Belgia anak muda dari berbagai penjuru dunia berkumpul, sebuah kerumunan raksasa sedang seakan terhipnotis oleh irama suggestif yang muncul dari musik elektro dalam event Tomorrowland. Kerumunan serupa direplikasi di belahan dunia lain dengan tema berbeda seperti Ultra Music Festival, A State of Trance (ASOT), tidak ketinggalan di Indonesia event serupa digelar, pemuncaknya bertema Djakarta Warehouse Project dan Dreamfields Festival di Bali. Kerumunan ini tidak mudah diseret ke arus politik jika menggunakan metodologi pengorganisasian politik lama. Namun mereka juga bukan kelompok yang pasif, sebagian mereka aktif dalam menggalang solidaritas dalam tema-tema sosial tertentu.

Kemunculan tokoh-tokoh muda yang memiliki integritas dan dedikasi tinggi, banyak merebut simpati publik media sosial. Sebut saja Ahok, Risma, RIdwan Kamil, Jokowi dll seakan didaulat oleh publik menjadi idola politik dengan kriteria yang ‘berbeda’ dengan kriteria partai politik dan Undang-undang. Persoalan terjadi ketika popularitas tokoh-tokoh baru ini seakan tidak kompatibel dengan sistem dan tradisi kepartaian di Indonesia. Lalu pertanyaannya adalah ‘jika tidak sudi diusung oleh partai politik, darimana kemudian tokoh-tokoh tersebut bisa bertahan dalam kekuasaan?’ Keadaan ini tampaknya yang membuat seorang mantan presenter cantik, masih 32 tahun, bersama kawan-kawannya membentuk Partai Solidaritas Indonesia (PSI).

Yang menarik, Grace dkk sangat ketat dalam kriteria usia. Harus dibawah 45 tahun dan belum pernah menjadi pengurus harian Parta Politik lama. Jelas ini adalah upaya menarik garis demarkasi yang tegas. Dalam gerakan politiknya, PSI mensiasati kebutuhan finansial  (tidak bisa dihindari dalam syarat mendirikan sebuah partai baru) dengan menggunakan media sosial. Awalnya mungkin terdengar tidak mungkin atau mustahil. Tapi tampaknya, pelan-pelan PSI mulai mencuri ruang kosong yang ditinggalkan oleh Partai-partai lain. Ruang kosong itu bernama Gerakan Sosial Digital.

PSI tentu menyadari, bahwa sejarah selalu berulang, hanya saja dengan latar dan narasi yang berbeda. Perubahan besar tidak pernah dimulai oleh orang-orang besar yang berjiwa kerdil. Tapi oleh orang-orang biasa yang yakin dan percaya untuk mengubah ketidakmungkinan menjadi sebuah kenyataan baru. Di Eropa partai sejenis bermunculan, sebut saja Piraten Partei (Partai Pembajak) di Jerman yang cukup mengejutkan, karena pelan-pelan mulai mendekati ambang batas parlemen (PT). Di New Zealand, berbekal media sosial dan platform digital yang apik, Internet Party NZ secara resmi ikut dalam Pemilihan Umum.

Ketika tulisan ini dibuat, akun Fanpage Facebook PSI sudah mendekati angka 1 juta Fans. Artinya sudah hamper 1 juta orang Indonesia yang setuju dengan konten kampanye yang diluncurkan oleh PSI di media sosial. Bukan hal yang mudah mendapatkan simpati publik media sosial. Mereka adalah publik yang kritis, terdidik dan berani menyatakan pendapat. PSI mungkin akan menjadi kekuatan politik baru, dengan Bahasa yang baru untuk jaman yang baru. Sebagaimana Soekarno yang patah hati pada colonial, John Lennon dalam babak Flower Generation, atau Slank dengan Gang Potlot 14 nya. Tidak ada yang tidak mungkin, angka-angka statistik demografi, survei-survei kuantitatif, fenomena media sosial seakan mengkonfirmasi bahwa ‘Grace dan PSI on the right track’.  

Tanpa mengusung Bahasa ideologi yang mungkin rumit bagi sebagian orang, atau janji-janji yang muluk-muluk, PSI mengusung DNA kebajikan dan keragaman. Dua hal yang terdengar ringan namun bisa memiliki daya dorong sosial yang besar seperti Rock N Roll tahun 60an, Reggae tahun 70an atau Suit suit He hee ala Slank di tahun 90an. PSI selalu mengajak publik muda dan perempuan untuk tidak anti pada politik. Hanya Partai politiklah yang punya otoritas legal menciptakan kebijakan.

Tantangan yang dihadapi PSI tentu tidak ringan, namun sebagaimana kata Grace dalam videonya “Saya yakin, karena saya percaya akan ada jutaan tangan, jutaan bahu, jutaan anak muda dan perempuan yang akan ikut serta dalam gerakan PSI. Karena sesungguhnya kami bukan siapa-siapa tanpa kamu semua!” Kata-kata ini mungkin tidak bermakna apa-apa hari ini. Tapi akan dikutip orang dikemudian hari, jika Grace dan kawan-kawannya di PSI mampu mengukir sejarah politik baru dengan Bahasa yang baru. Tantangannya adalah bagaimana mengubah kerumunan anak muda di Djakarta Warehouse Project atau Dreamland, yang sedang gandrung dengan kebisingan Trance, menjadi sebuah kerumunan politik yang menjatuhkan solidaritas politik elektoralnya kepada PSI di Pemilu 2019.  

Setidaknya bisa disimpulkan, dalam setiap fase perubahan sosial di belahan dunia manapun. Indikator yang paling menentukan sebuah gerakan bisa mendapatkan dukungan yang luas adalah karena tiga hal: Pertama, karena gerakan itu bisa menyediakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan jaman yang baru. Kedua, karena gerakan itu bicara kepada publik dalam frekuensi yang sama dengan kegelisahan mayoritas. Ketiga, karena gerakan tersebut digerakkan oleh energi yang bernama SOLIDARITAS. Grace dan kawan-kawannya di PSI tampaknya memenuhi tiga prasyarat itu. Kita tunggu saja.

Indonesia Move On
Diskursus Kolom

Indonesia Move On

Rubrik Diskursus – Koran Solidaritas Edisi III, September 2015

Politik Ingatan dan Dua Keberanian

Oleh: Ramli Hussein (Pimred Koran Solidaritas)

Milan Kundera dan Kitab Melawan Lupa

Sesungguhnya semua manusia punya kecerdasan yang sama, hanya daya ingat yang berbeda. Dalam konteks ini diksi “Si Pintar” dan “Si Bodoh” mejadi tidak tepat, yang tepat adalah “Sang Pengingat” dan “Sang Pelupa.” Milan Kundera, seorang novelis asal Cheko menggambarkan secara jernih mengenai bagaimana “lupa” menghapus kebahagiaan yang mengalir lewat “gelak tawa.” Dalam bukunya The book of laughter and forgetting (1979), Kundera Mengambil latar kekejaman rejim komunis Cheko, dia menceritakan tentang Tamina, seorang perempuan yang terus mempertahankan memorinya tentang cinta bersama sang suami, meski suaminya sudah wafat akibat dibunuh oleh rejim otiriter Cheko. Tamina menolak melupakan: suaminya, cintanya, kebebasannya dengan sebuah gelak tawa.

Meski Tamina seorang diri, terusir keluar dari Cheko, namun dirinya melawan dengan “ingatan” atau memoria. Dari novel ini lahir ungkapan terkenal dari Milan Kundera “perjuangan menegakkan kebenaran adalah perjuangan melawan lupa.” Kundera menegaskan bahwa ingatan bukanlah hal yang sederhana, karena ingatan membentuk pengetahuan tentang diri kita sendiri dan lebih jauh tentang lingkungan. Milan menulis bahwa “Diri adalah keseluruhan dari segala sesuatu yang kita ingat. Jadi, yang membuat kita takut pada kematian bukanlah hilangnya masa depan, melainkan hilangnya masa lalu. Lupa merupakan sebentuk kematian yang hadir dalam kehidupan.”

Kesadaran kita tentang hari ini, merupakan tumpukan ingatan-ingatan tentang masa lalu. Sehingga kehilangan ingatan adalah juga kehilangan identitas diri, ini yang disebut keadaan “tidak sadarkan diri” atau amnesia. Setiap individu yang mengalami keadaan amnesia, akan gamang membaca diri dan lingkungannya. Memorinya harus di install ulang dari nol, dengan menghapal kembali nama dari benda-benda. Ketika itu terjadi, bisa saja seseorang dipaksa untuk menghapalkan sejarah masa lalu, namun tidak akan pernah lagi memiliki emosi dan empati jaman yang lampau, dimana mereka pernah hidup. Ingatan telah berpisah dengan jiwa, maka lumpuhlah segala nalar dan intuisi yang sangat dibutuhkan untuk merencanakan ketidakpastian di masa depan.

Dalam setiap kasus pelanggaran HAM berat, individu pelaku dan korban memiliki memori yang hampir sama tentang satu fakta (tempat, waktu, nama) kejadian. Namun masing-masing, baik pelaku maupun korban, mengingat (mengapa dan bagaimana) sebuah peristiwa bisa terjadi, tentu dengan emosi dan nalar yang berbeda. Maka tidak heran, akan selalu lahir dua versi narasi pelanggaran HAM: narasi versi pelaku dan narasi versi korban. Narasi ini terus diwariskan dari hari, bulan dan tahun. Dalam kasus Indonesia, untuk kasus 1965 misalnya, selama 32 tahun lebih, narasi pelaku menjadi narasi tunggal yang berlaku. Narasi diluar Orde Baru adalah subversif dan haram.

Akibatnya, Indonesia sulit untuk “move on” Mengapa? Mari coba kita periksa secara mendalam. Yang selalu kita dengar dari testimoni korban, sebagaimana selalu dikatakan oleh Mugiyanto, salah satu korban penculikan aktivis 96-97 oleh Tim Mawar Kopassus “Saya menuliskan lagi cerita ini dengan jantung berdebar. Saya berusaha melawan trauma, walau sulit. Amat sulit. Saya tidak bisa melupakannya.” Kalau saja kata “Move On” bisa dicapai semudah menekan “Ctrl+Alt+Del” di keyboard computer anda, tentu dengan senang hati mereka lakukan, dan tentu negara tidak perlu bersusahpayah untuk menggelar pengadilan HAM dan juga Rekonsiliasi untuk menghapus “ingatan” yang suram itu. Mari kita tinggalkan sejenak Indonesia.

Mereka Berhasil Move On

Jerman salah satu contoh baik dalam konteks “merawat ingatan.” Sebagai bangsa yang kalah perang, tentu generasi muda Jerman tidak ingin menanggung malu akibat kejahatan perang dan kemanusiaan yang telah dilakukan NAZI di jamannya. Seiring penyatuan kembali Jerman Barat dan Jerman Timur, pemerintah Federal Jerman mencanangkan gerakan “merawat ingatan” terbesar dalam sejarah dunia. Museum perang dibangun, monumen mengenai kejahatan dibangun, fakta sejarah terus dikumpulkan untuk mengingat tragedi tersebut. Lebih jauh lagi narasi-narasi berisikan detail sejarah, testimoni, film, musik, drama, foto dan surat-surat terus diarsipkan dan dipublikasikan. Jerman baru adalah Jerman yang tidak malu mengakui kekalahannya, Jerman yang menunjukkan kepada dunia dan generasi muda mereka, betapa berbahayanya kekuasaan yang tidak dikontrol oleh kemanusiaan. Jerman yang baru adalah Jerman yang direkonstruksi sebagai anti tesis dari kekalahan perang, anti tesis dari Hitler dan NAZI. Jerman yang bukan Hitler, Jerman yang bukan NAZI, Jerman yang tidak rasis, Jerman yang tidak takut mengakui masa lalunya: Sebuah Jerman Baru.

Demikian pula Nelson Mandela, tokoh perjuangan melawan Apartheid di Afrika Selatan, dalam perjuangannya membebaskan bangsanya dari penjajahan kulit putih atau rejim Apartheid. Dari mimbar Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Truth and Reconciliation Commission – TRC),  Mandela berkata “Kita mengingat masa lalu kita, agar kita bisa berdamaia dengannya, memaafkan tanpa melupakan, agar kelak kita bisa memastikan hal yang sama tidak terulang kembali diantara kita, dan untuk menghapus semua kebijakan yang berbahaya bagi demokrasi kita ke depan.” Mandela mendapatkan Nobel Perdamaian berkat jasa-jasanya mempromosikan perdamaian di seluruh dunia. Satu kata kunci penting dari sukses TRC di Afrika Selatan: Memaafkan Tanpa Melupakan alias “Move On dengan memaafkan namun tidak melupakan.”

Argentina sejak 1976 sampai hari ini, barisan ibu-ibu yang kehilangan anaknya secara rutin mendatangi Plaza De Mayo untuk mencari keadilan bagi anak-anak mereka yang diculik rejim militer Argentina. Militer Argentina berkuasa melalui sebuah kudeta terhadap pemerintahan Isabel Peron pada tahun 1975. Tokoh  militer saat itu adalah Jorge Rafael Videla yang dengan lantang mengatakan dihadapan pasukannya “Sebanyak mungkin orang mungkin harus mati di Argentina sehingga negara bisa aman kembali.” Gagasan pembunuhan massal oleh seorang Jenderal bisa berakibat fatal,  hampir 30.000 orang dibunuh dan 11.000 lainnya dihilangkan. Para keluarga korban “penghilangan paksa” inilah yang kemudian tidak hentinya, merawat ingatan. Perjuangan ibu-ibu Plaza de Mayo itu tidak sia-sia, Desember 1983 CONADEP (Pengadilan Penghilangan Paksa) dibentuk dan menghukum Jenderal-jenderal Argentina yang terlibat dengan hukuman seumur hidup.

Kembali ke Indonesia, bisa disimpulkan bahwa “merawat ingatan” bukanlah persoalan, tidak bisa move on karena disandera oleh masa lalu (satu tuduhan keji yang sering digunakan untuk melemahkan semangat para korban). Tapi adalah memberi pedoman tentang bagaimana gerakan “move on” menyongsong masa depan, menjadi sebuah gerakan “Politik Ingatan,” dimana kebenaran dibuka dan kata maaf diberikan: tanpa melupakan. Pada titik ini negara wajib memastikan, apakah gerakan Move On itu adalah sebuah gerakan politik ingatan, atau hanya sebuah gerakan “Pengabaian” bahkan lebih jauh menjadi gerakan “Melupakan” yang lahir dari kemalasan berpikir dan berimajinasi mencari jalan keluar.

Indonesia Yang Luka dan Lupa

Hari Kamis, sudah 8 tahun lebih sejak 9 Januari 2007, para korban berpayung hitam berdiri menghadap Istana Merdeka. Mereka adalah komunitas yang menamai aksi mereka sebagai Aksi Kamisan. Terdiri dari korban dan keluarga korban dari berbagai kasus pelanggaran HAM di tanah air. Mereka secara rutin mendatangi istana untuk menuntut tanggungjawab negara atas kejahatan Hak Asasi Manusia yang menimpa mereka dan keluarga mereka. Nggak bisa Move ON? Jangan salah dulu! Tentu mudah bagi kita yang tidak menjadi korban langsung dari kejahatan tersebut.

Tidak banyak yang tahu, bahwa kejahatan hak asasi manusia, ataupun kejahatan lainnya seperti pemerkosaan, korupsi, terorisme dll. selalu berulang dan terjadi terus-menerus, karena tidak ada penuntasan dan pemenuhan keadilan bagi korban dan pelaku. Demikian halnya dengan kejahatan HAM, berulang karena terjadi pembiaran oleh negara. Ini yang disebut sebagai kekerasan yang diwariskan turun temurun, terjadi dan terjadi kembali. Keberadaan Aksi Kamisan tersebut adalah dalam rangka merawat ingatan, melawan lupa, menyembuhkan luka, agara tidak terulang lagi di masa yang akan datang.

Sebut saja kasus pembunuhan massal tahun 1965 yang mengantarkan Orde Baru berkuasa, kasus selama 32 tahun kekuasaan orde baru (Petrus, Tanjung Priok, Talangsari dst.), penculikan aktivis pro-demokrasi tahun 1996-1997, penjarahan dan pemerkosaan etnis Tionghoa tahun 1998, lalu penembakan mahasiswa di Trisakti dan Semanggi tahun 1998. Semua bukan hanya  merengkuh nyawa warga negara Indonesia, tapi juga menyisakan luka yang masih lebar. Banyak lagi kasus-kasus kekerasan berbasis SARA dan juga kekekerasan terhadap perempuan, pers dan anak. Ini semua adalah repetisi-repetisi kekerasan yang di reproduksi dari ketidakbecusan kita sebagai bangsa untuk dua hal yang sangat sederhana dan manusiawi (mestinya): Mengakui kebenaran dan memaafkan kesalahan.

Mengapa itu terjadi? Tidak lain karena tidak pernah ada upaya serius dari negara untuk menyelesaikannya. Korban melihat bagaimana para “terduga” pelaku bebas menikmati hidup, bahkan sebagian mereka kini berkuasa melalui partai-partai politik. Ketika kita berpikir tentang masa depan, ingatan-ingatan itu selalu kembali, menarik dan menahan laju kita untuk menyogsong masa depan. Pengingkaran terhadap identitas masa lalu, adalah kekaburan pandang terhadap masa depan.

Gusdur Sang Pemula

Gusdur adalah sebuah nyala lilin, dia rela terbakar hanya untuk memberikan cahaya disekitarnya. Bisa dilihat hanya dalam kurun waktu tidak lebih dari 3 tahun berkuasa, Gusdur melahirkan banyak sekali produk hukum yang mendasar, yang sangat penting menjadi bekal transisi Indonesia menuju demokrasi. Kita tidak bisa membayangkan transisi Indonesia dari Orde Baru ke Demokrasi jika tidak ada seorang Gusdur.

Gusdur mengejutkan banyak orang ketika dirinya membubarkan Bakorstanas (Badan  Koordinasi Bantuan Pemantapan  Stabilitas Nasional) dan prosedur Litsus (Penelitian Khusus), dua lembaga yang menurutnya lebih banyak menimbulkan keruwetan daripada penyelesaian masalah. Pemisahan Polri dari TNI, Undang-undang Hak Asasi Manusia, dan terakhir adalah sebuah tindakan yang kontroversial “meminta maaf”  kepada korban-korban 65 yang dituduh sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Gusdur tidak main-main, dia menyusulnya dengan pernyataan meminta pencabutan TAP MPRS No. XXV/1966 tentang larangan penyebarluasan ajaran marxis-leninis. Tidak hanya itu, Gusdur mengijinkan pengibaran bendera GAM di Aceh dan Bintang Kejora di Papua.

Gusdur bukan tanpa perhitungan, dirinya sedang mendobrak budaya bisu yang diwariskan rejim lama. Gusdur memecahkan keheningan dengan suara bising yang awalnya terasa tabu dan guyon, namun hari ini mulai terasa sebagai sesuatu yang sangat rasional dan perlu untuk kita tempuh sebagai sebuah bangsa.

Satu hal yang tidak sempat dia saksikan adalah buah dari perjuangannya merawat ingatan, yakni hadirnya sebuah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Indonesia. Undang-undang KKR ketika itu kandas di Mahkamah Konstitusi karena perbedaan rujukan juridis dalam soal Amnesti antara konstitusi dengan hukum internasional. Diawal pemerintahan Jokowi, cita-cita Gusdur sayup tapi pasti, mulai kembali didengungkan. Draft UU KKR yang baru sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2015.

Luka Lama diatas Janji Rejim Baru

Ketika Gusdur lengser, Megawati sempat dilihat sebagai harapan. Putri Bung Karno ini juga merasakan bagaimana rejim telah meminggirkan dirinya dan keluarganya. Namun ternyata pelan-pelan suara KKR peninggalan Gusdur tidak terdengar lagi. Bahkan pada masa pemerintahannya, Megawati menjawab persoalan separastisme dengan status Darurat Militer di Aceh, ketika itu Menkopolhukamnya adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Jangankan berharap menyelesaikan kasus HAM masa lalu, justeru catatan pelanggaran HAM menjadi semakin panjang dengan lahirnya kasus-kasus baru di Aceh dan Papua. Narasi berikutnya sangat mudah ditebak, cahaya yang tadinya tampak terang tiba-tiba redup tak bernyawa. Janji baru ditabur diatas luka lama.

Berganti rejim, berganti harapan. SBY memenangkan Pilpres 2004 menggantikan Megawati. Tepat ketika itu pembunuhan terhadap Munir terjadi. SBY sempat menginterupsi pidatonya untuk mengucapkan rasa duka dan doa pada Munir. Sekali lagi, sepertinya rejim baru ini adalah harapan baru untuk menyembuhkan luka bangsa. Dua periode berlalu, penanganan kasus masa lalu tersebut tidak kunjung dilakukan. Suciwati, isteri almarhum Munir, memilih memboyong anaknya kembali ke Batu Malang, sambil mengenang sebuah janji rejim: “kasus Munir adalah test of our history.” Sekali lagi luka lama itu ditaburi bubuk janji diatasnya.

Lalu datanglah Jokowi menjadi Presiden RI yang Ketujuh, setelah menang atas lawannya Prabowo Subianto, Jenderal yang diduga paling bertanggungjawab dalam kasus penghilangan paksa aktivis tahun 1996-1997. Untuk pertamakalinya, kasus penculikan aktivis menjadi bahan perdebatan politik secara fulgar. Korban kembali menaruh harapan, bahwa rejim baru akan membawa setitik harapan tentang keadilan bagi mereka. Memang benar bahwa rejim Jokowi belum berakhir, namun juga belum ada tanda-tanda positif ke arah sana, selain Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional 2015. Tim penyusun (kabarnya) sangat serius dalam menyiapkan naskah UU tersebut, agar peristiwa 2004 tidak terulang kembali. Dimana UU KKR yang sudah disahkan digugurkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Ahok dan Ingatan untuk Move On

Meski proses di tingkat nasional belum juga berbentuk. Insiatif lokal yang positif dan penting di apresiasi justeru sudah dimulai oleh Gubernur DKI Jakarta. Bulan Mei 2015 yang lalu, Basuki Tjahaja Purnama, atau akrab disapa Ahok itu, meresmikan sebuah Prasasti Mei 98 untuk mengenang tragedi kemanusiaan di Jakarta tahun 1996-1998. Ahok menyatakan bahwa memorabilia dalam bentuk prasasti adalah sangat penting, sebagai pengingat akan tragedi kemanusiaan pada Mei 1998.

Langkah Ahok diapresiasi oleh Ketua Komnas Perempuan, Azriana yang mengatakan “pembangunan prasasti ini adalah bentuk tanggung jawab negara untuk merawat ingatan publik dan memulihkan korban. Serta mencegah sejarah kelam tragedi Mei ’98 berulang di masa yang akan datang.”

Langkah Ahok adalah bentuk paling nyata dari “politik ingatan.” Anda hanya perlu dua keberanian untuk melakukannya: Mengakui kebenaran dan memaafkan kesalahan. Langkah Ahok akan menjadi sangat elok, jika diikuti oleh Kepala-kepala Daerah yang lain. Ahok bahkan mendahului Pemerintah Aceh, yang harusnya telah memiliki dasar hukum kuat untuk membentuk Pengadilan HAM dan KKR, karena termaktub jelas kewenangan pemerintah Aceh dalam Perjanjian Damai Helsinki dan juga UU Pemerintahan Aceh.

Ini terlihat sederhana, tapi sulit untuk dilakukan. Seperti kata Mugiyanto “Saya menulis, saya berbicara, saya bercerita, itu proses dari penyembuhan psikologi saya.” Lain lagi yang disuarakan oleh Tamiyem, ibunda Suyat (korban penculikan aktivis) “Nek sih waras, ayo mulih. Nek wis ora ana, kuburane neng endi? (Kalau masih hidup, ayo pulang. Kalau sudah meninggal, dimana kuburannya?).”

Politik ingatan harus terus disuarakan, aktor utamanya adalah kekuasaan. Sebagaimana Ahok, politik ingatana mensyaratkan penggunaan kekuasaan untuk dua keberanian: mengakui kebenaran dan memaafkan kesalahan. Kesaksian-kesaksian harus dituliskan dan dibacakan. Rekaman-rekaman terus dipertontonkan, pelaku ditunggu untuk berani mengakui kesalahan, sementara korban dan keluarganya tentu dimohonkan kelikhlasan atas maaf.

Tidak mungkin maaf terucap, jika pengakuan tetap bungkam dalam keangkuhan. Mengaku bersalah bukanlah sebuah tindakan seorang pengecut, dia membutuhkan seribu nyali. Sebuah testimoni menjadi sangat bernilai, bukan untuk masa lalu, tapi untuk masa depan bangsa ini. Pada titik ini, sekali lagi Negara dituntut untuk menggunakan otoritasnya dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu. Jika tidak ingin hal yang sama terulang kembali di masa depan.

Ketika redaksi menyusun edisi ini, baru saja, coretan Palu-Arit di beberapa titik menghebohkan semua orang. Ini adalah pertanda betapa kita masih memelihara kecemasan dan sisa-sisa indoktrinasi. Ketakuta-ketakutan semu yang diciptakan oleh masa lalu kita, sehingga kita begitu takut pada simbol-simbol, pada warna-warna, pada bayangan-bayangan palsu dikepala kita. Ketakutan yang telah ditanam kuat oleh sistem pendidikan yang enggan dirubah oleh Menteri Pendidikan sekarang. Buku sejarah yang tidak direvisi, narasi-narasi yang tabu didiskusikan. Begitulah ketika “ingatan” kita mulau pudar, maka jangan heran “gelak tawa” akan semakin jarang kita temui. Karena sesungguhnya, politik ingatan adalah Move On ke masa depan dengan tidak melupakan kebenaran masa lalu.