Kebiri Akarnya Bukan Syarafnya
Kolom Opini

Kebiri Akarnya Bukan Syarafnya

Kekerasan sebagai Alat Perebutan Kekuasaan di Indonesia

Diskursus Koran Solidaritas Edisi X, Mei 2016

Oleh: Ramli Hussein (Pemimpin Redaksi Koran Solidaritas)

Kartini Melawan Patriarki Jaman Feodal dan Kolonial

Banyak yang menggugat Kartini sebagai simbol perjuangan kesetaraan gender. Banyak hal mereka ajukan sebagai fakta kritik bahwa Kartini cuma menulis, masih banyak tokoh perempuan lagi seperti Laksaman Malahati, Cut Nyak Dhien, H.R Rasuna Said dll. Saya rasa yang mengajukan tuduhan itu belum pernah membaca buku Habislah Gelap Terbitlah Terang yang merupakan kumpulan surat-surat Kartini kepada sahabatnya di Belanda. Pergulatan Kartini mungkin membutuhkan nyali dan keberanian, dibanding yang dibutuhkan seseorang untuk maju ke medan tempur. Tentu tidak bermaksud mengecilkan peran tokoh perempuan lainnya, namun Kartini pantas mendapat tempatnya sebagai peletak dasar-dasar perjuangan perempuan Indonesia dengan membongkar kedok feodalisme dan kolonialisme.

Kartini menyajikan akar-akar persoalan dengan membentur-benturkan dirinya kepada tembok kekuasaan Patriarki. Jaman dimana ketidakadilan perempuan yang disisakan oleh tradisi feodal Jawa disokong dan dilanggengkan dimasa kekuasaan kolonial. Tidak hanya berhenti menyajikan persoalan, Surat-surat Kartini seakan meninggalkan jejak-jejak kecil ditengah kegelapan, agar kelak pertanda itu bisa menjadi penanda jejak yang bisa membimbing hati perempuan Indonesia untuk keluar dari kegelapan dan diskriminasi. Kartini tahu bahwa surat kepada sahabat-sahabatnya akan menjadi buku yang bisa dicetak dan tersebar di jantung Eropa. Hanya dengan menulis ke sahabatnya di Negeri Belanda, manuskrip perjuangan Kartini itu, kini bisa kita baca dalam bentuk buku berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang.

Membaca surat-surat dan sejarah hidup Kartini, kita akan memahami peran sentral Kartini dalam meletakkan dasar-dasar perjuangan kesetaraan kaum perempuan di Indonesia. Kartini dengan bekal pendidikan, pena dan kertas, tentunya bisa diperoleh Kartini karena statusnya sebagai anak perempuan dari Bupati Jepara, setidaknya diarahkan pada dua poros perjuangan perempuan. Pertama adalah dengan memompakan kesadaran dalam pikiran dan diri perempuan Indonesia, bahwa perempuan dan laki-laki memiliki hak untuk perlakukan sama dalam segala hal. Kedua, Kartini mengajukan Pendidikan sebagai pintu masuk untuk membalik paradigma dan ketakutan perempuan terhadap takdir. Paradigma yang selama ratusan tahun mengekang perempuan untuk tunduk dalam kekuasaan patriarki yang berlindung dibalik topeng feodalisme dan kolonialisme.

Berbekal diskusi dan pengajaran dari Kyai Sholeh Darat, guru agamanya. Jiwa Kartini dipenuhi oleh ayat suci yang menyebutkan bahwa Allah menciptakan laki-laki dan perempuan dalam keadaan setara, yang membedakan keduanya adalah derajat ketakwaan. Kartini menjadikan bisikan tersebut ke dalam praktik nyata kidupannya sehari-hari. Kartini memulai perjuangannya dengan sebuah doa ”Allahumma akhrijnii min aldzulumati ila al-nuur” – Ya Allah keluarkanlah aku dari kegelapan menuju cahaya yang benderang (QS Al-Baqarah: 257). Berbagai  praktik feodal dan kolonial yang diceritakan Kartini dalam 

tulisannya, merupakan praktik diskriminasi yang dirasakan dalam keseharian perempuan Jawa dimasa itu. Mulai dari pembatasan ekspresi biologis, seksualitas, feminisme, pembagian kerja dan akses sosial dituliskan Kartini dengan bahasa yang jelas. Surat Kartini bukan surat biasa: kemarahan, kritik, penolakan bahkan pemberontakan Kartini jelas tertulis sebagai tusukan langsung ke jantung patriarki jaman feodal akhir dan kolonial di Indonesia. 

“Aku juga musuh formalitas. Apa peduliku soal peraturan-peraturan adat? Aku gembira sekali akhirnya dapat mengoyak peraturan adat Jawa yang konyol itu.” Sesungguhnya Kartini tidak pernah menyerah pada apa yang ditentangnya. Pernikahannya dengan Bupati Rembang bukanlah bukti bahwa akhirnya Kartini menyerah pada takdir.  Tepat sebelum menikah, Kartini diterima untuk melanjutkan pendidikan ke Batavia, namun akhirnya Kartini menolak kesempatan itu dan memilih menikah. Pernikahannya bersyarat, Kartini diijinkan untuk mendirikan sekolah khusus perempuan. 

Kartini wafat setelah melahirkan anak pertamanya, namun perjuangannya membuat Van Deventer salah seorang  tokoh politik etis, mendirikan Yayasan Kartini yang dibentuk untuk memberikan pendidikan kepada perempuan-perempuan Indonesia. Tahun 2012 berdiri di Semarang, sebuah Sekolah Kartini, lalu menyusul di Surabaya, Yogyakarta, Cirebon, Malang, Madiun dan beberapa kota lain. Terlalu berlebihan jika kita mengatakan bahwa surat Kartini telah menjadi pemicu perjuangan kaum perempuan Indonesia, banyak tokoh perempuan lain sebelum dan sesudahnya. Namun seperti yang dituliskan Pramoedya Ananta Toer dalam karyanya ‘Panggil Aku Kartini Saja,” Pram memberi tempat Kartini setara dengan Sang Pemula di novelnya yang lain, bagi Pram “Kartini sebagai pemikir modern Indonesia pertama-tama, yang tanpanya, penyusunan sejarah modern Indonesia tidaklah mungkin.” 

Kartini Baru  yang  Terdidik dan Terorganisir

Setelah wafatnya Kartini di tahun 1904, mulai tumbuh kesadaran perempuan. Kartini benar adanya, pendidikan dasar baca dan tulis, telah membawa perempuan saat itu kedalam cakrawala yang lebih luas. Poetri Mardika adalah salah satu organisasi awal perempuan, didirikan pada tahun 1912 Poetri Mardika melanjutkan gagasan Kartini dengan mendorong pendidikan untuk kaum perempuan. Dari kelompok Islam, didirikan Aisyiah pada tahun 1917. Kehidupan perempuan menjadi semarak, organisasi terus tumbuh seiring dengan budaya literasi perempuan. Media perempuan berbentuk majalah dan koran juga terbit seiring belenggu feodal yang mulai mengendor. Masa perjuangan kemerdekaan terutama ketika Jepang datang menggantikan Belanda,  gaya berpakaian mereka berganti sejalan dengan pengetahuan mereka yang semakin maju.

Perempuan mengorganisasikan diri berdasarkan identitas keagamaan, kedaerahan, kegiatan, misi sosial dan akhirnya juga berafiliasi dengan partai politik. Mereka tidak hanya berkumpul dan belajar, mereka juga mulai terampil mengorgansir demonstrasi dan pemogokan. Terhitung sejak Kartini menulis surat-suratnya, perempuan Indonesia berkembang sangat pesat,  puncaknya adalah terlaksananya Kongres Perempuan Indonesia pertama di Yogyakarta pada bulan Desember 1928. Kongres itu dihadiri lebih dari 30 organisasi perempuan dan melahirkan federasi perempuan pertama dengan nama Persatoean Perempoean Indonesia (PPI).

Seiring tumbuhnya gagasan nasionalisme baru, tentang gagasan satu bangsa, gerakan perempuan juga tumbuh pesat sejalan kemajuan jaman. Mereka ikut dalam diskusi penting, berdebat dan ikut dalam berbagai pertemuan menyusun rencana melahirkan Indonesia. Pada Kongres perempuan 1935 di Bandung, dengan organisasi yang semakin banyak, PPI berubah nama menjadi Kongres Perempuan Indonesia. Namun gerakan perempuan sempat berhenti sejenak di masa pendudukan Jepang. Organisasi mereka dilarang, dan hanya Fujinkai yang direstui Jepang, itupun dengan gerakan mengajar perempuan pribumi untuk membaca.

Perjuangan perempuan Indonesia bersama gerakan lainnya, berpindah dari strategi terbuka menjadi strategi tertutup, salah satu yang paling konsisten memerangi patriarki adalah Gerakan Wanita Sosialis (Gerwis) yang  belakangan berganti nama menjadi Gerwani. Pasca Indonesia merdeka gerakan perempuan kembali hidup, mereka kembali mengaktifkan organisasi dan menjalin komunikasi. Menjamurnya partai politik sejak kemerdekaan Indonesia, juga mendorong arus gerakan perempuan ke partai politik. Tercatat Gerwani dan Wanita Marhaen yang berhaluan Nasionalis merupakan partai dengan anggota terbanyak, keduanya mengirimkan wakil ke DP-RI. Pemilu tahun 1950, Sembilan orang perempuan  terpilih menjadi anggota DPRS.

Orde Baru: Awal Domestifikasi Peran Perempuan

Akhirnya perang dingin memakan korban justru tidak di wilayah dimana dua kubu blok barat dan timur berselisih paham secara ideologi. Angka korban kejahatan kemanusiaan  lebih banyak terjadi di Asia Tenggara dan Afrika peda umumnya. September 1965 adalah titik balik gerakan perempuan Indonesia. Dianggap memiliki kedekatan dengan PKI, angota Gerwani ikut ditangkapi, begitu juga barisan perempuan pendukung PNI yang tergabung dalam Wanita Marhaen tidak luput dari penangkapan  setelah dinyatakan terlarang.

Gerwani dicitrakan sebagai contoh gerakan perempuan yang keluar dari kodrat kewanitaan, moralnya hina, rusak akhklaknya dan bersedia melakukan apapun untuk bisa bersenang-senang. Salah satu kampanye Orde Baru yang paling berhasil bisa disaksikan dalam film G30S/PKI yang disutradarai oleh Arifin C. Noer berdasarkan naskah yang ditulis oleh Nugroho Notosusanto, yang belakangan menjadi Rektor Universitas Indonesia dan juga Menteri Pendidikan dan Kebudayaa di rezim Orde Baru.

Wani Ditata – “Perempuan Yang Harus” , seni instalasi karya Marishka Soekarna, satu dari sejumlah karya seni yang ditampilkan dalam Wani Ditata Project (Okt/2015) yang mengangkat tema khusus perempuan dengan membaca ulang sejarah mengenai organisasi Dharma Wanita yang berdiri saat pemerintahan Orde Baru. (sumber foto: googs.me)

Setelah berhasil membuat ketakutan dengan menangkapi tokoh dan anggota gerakan perempuan yang ideologis dan nasionalis. Strategi domestifikasi perempuan mulai dijalankan seiring dengan ambisi Orde Baru mengejar pertumbuhan ekonomi. Domestifikasi dimulai dengan memberi ruang organisasi bagi para istri-istri pejabat dan pegawai negeri. Dharma Wanita adalah organisasi  istri-istri birokrat dan Pegawai Negeri Sipil yang dipimpin langsung oleh Tien Soeharto, the first lady Presiden Soeharto. Lalu dibangun organisasi Dharma Pertiwi  yang merupakan organisasi istri prajurit ABRI saat itu. 

Di tingkat desa dan kelurahan, RT dan RW hingga keluarga organisasi istri-istri ini disebut Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Kegiatan organisasi ini selain sudah disubordinasi dibawah label “Istri” dalam versi jaman feudal: dapur – sumur – kasur. PKK juga dibatasi pada kegiatan sosial dan menata keindahan kantor, taman dan ruang-ruang publik. Gerakan perempuan tiarap bersama gerakan lainnya di masa Orde Baru, kebebasan mereka yang diperjuangkan sejak Kartini dulu,  hilang ditelan derap sepatu pembangunan.

Ketika organisasi perempuan yang lebih progresif  pelan-pelan menyusun kembali kekuatannya, Republik memang sedang hamil tua. Orde Baru memasuki bab terakhir kekuasaannya. Suara Ibu Peduli (SIP) dan beberapa organisasi lainnya berbentuk LSM ikut mendorong kekuatan masyarakat sipil yang sejak 1996 mulai berani mempertanyakan kekuasaan Orde Baru. Puncaknya adalah menjelang kejatuhan Soeharto bulan Mei 1998. Salah satu catatan penting adalah peristiwa kekerasan seksual yang menimpa perempuan etnis Tionghoa di Jakarta. Ini sebagai bukti bahwa politik, sudah sejak awal selalu menggunakan “kekerasan seksual” sebagai alat untuk menciptakan ketakutan, melumpuhkan kekuatan berbasis gender, dan untuk mengontrol atau melanggengkan kekuasaannya.

Orde Afirmasi: Jalan Culas Rezim Patriarki

Afirmasi adalah mantra baru untuk melunakkan tuntutan gerakan perempuan yang juga andilnya tidak kecil dalam mengakhiri kekuasaan Orde Baru. Gerakan perempuan yang kembali tumbuh dan bangkit, mulai mengajukan tuntutan politik melihat arah perkembangan reformasi lebih banyak dikuasai oleh laki-laki yang memang selama Orde Baru punya kesempatan dan akses lebih besar disegala bidang.  Partai politik tiba-tiba menjamur, dan seluruhnya dikuasai laki-laki, tidak ada satupun yang memiliki prioritas pada kesetaraan gender. 

Tuntutan gerakan perempuan agar poses demokratisasi yang sedang berlangsung, juga menempatkan agenda kesetaraan gender sebagai agenda reformasi.  Benar kebebasan telah diperoleh, namun bukankah laki-laki telah memiliki akses sosial ekonomi dan politik lebih banyak dari perempuan? Bukankah adat, budaya dan agama juga telah memperkuat kekuasaan laki-laki dan melemahkan posisi perempuan? Langkah afirmasi akhirnya disetujui oleh Pemerintah dan DPR.  Pada UU Partai Politik No. 8 Tahun 2012 pertamakalinya langkah afirmasi keterwakilan 30% perempuan dalam kepengurusan tingkat  pusat dan dalam daftar bakal calon DPR, DPRD Provinsi, serta DPRD Kabupaten/Kota ditetapkan sebagai aturan yang wajib diikuti oleh semua partai politik. Namun hingga hari ini faktanya keterwakilan perempuan di parlemen belum pernah mencapai angka tersebut, malah setiap Pemilu semakin berkurang.

Jelas saja, proses domestifikasi yang dilakukan oleh Orde Baru selama 32 tahun terus berlanjut hingga hari ini Kebebasan berpolitik memang telah dirasakan, namun tidak untuk perempuan. Kesulitan menghadiri rapat hingga tengah malam karena disandera kerja domestik, seringkali membuat perempuan kehilangan kesempatan untuk menentukan keputusan penting di parpol. Begitu juga dengan posisi dalam struktur organisasi, perempuan selalu ditempatkan dalam posisi yang mengurusi persoalan rumahtangga, jarang sekali yang diberi kesempatan menduduk posisi Ketua atau Sekertaris, itu terjadi di semua tingkatan, mulai dari pusat hingga kecamatan.

100% Laki – Pimpinan DPR melantik 14 anggota Tim Pengawas Intelijen yang seluruhnya laki-laki (26/1/2016). Meski ada keterwakilan perempuan di  parlemen,  namun dari segi kuantitas dan porsi pembagian tugas dan tanggung jawab belum mencermikan adanya kesetaraan gender dalam tubuh DPR. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Afirmasi sebagai bentuk keadilan, jika dilihat secara simplistik memang sudah memenuhi unsur keadilan yang dipaksakan. Namun jarang yang mengukur bagaimana mungkin perempuan yang akses sosial, ekonomi, budaya, agama dan politik bisa mengalahkan laki-laki yang menguasai struktur Parpol dan akses yang lebih banyak ke calon pemilih. Wajar jika quota 30% Caleg tidak signifikan menyumbang jumlah perempuan yang lolos ke parlemen. Kalaupun ada yang lolos, komisi yang mereka tempati adalah komisi yang berurusan dengan urusan domestik:  pariwisata, olahraga, kebudayaan, pendidikan, anak dan perempuan. Bahkan susunan pimpinan DPR-RI periode 2014-2019 seluruhnya dikuasai oleh laki-laki.

Tidak mengherankan sebenarnya, meski dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti kata Afirmasi adalah “penetapan yg positif; penegasan; peneguhan; atau pernyataan atau pengakuan yang sungguh-sungguh (di bawah ancaman hukum) oleh orang yang menolak melakukan sumpah; pengakuan.” Namun afirmasi dalam praktik filsafat memliki makna pencitraan, dibuat seolah-olah menjadi nyata. Afirmasi adalah kemampuan sugestif untuk memanipulasi pikiran dan membayangkan apa yang kita inginkan atau idam-idamkan seolah-olah sudah nyata didepan mata, sehingga karena itu diri kemudian diarahkan untuk mengejar keinginan itu. Tapi sekali lagi itu adalah manipulasi dan sugesti. Dalam konteks politik gender, langkah afirmasi ini memang cenderung manipulatif dan sugestif. Persoalannya kemudian, perempuan dipersalahkan karena tidak mampu memenuhi apa yang sudah disiapkan oleh Undang-undang. Akhirnya sebuah kesimpulan manipulatif dan celakanya diyakini secara kolektif bahwa dunia politik memang tidak cocok untuk perempuan.

Kekerasan Seksual sebagai Gagasan Kekuasaan dan Ekspresi Sosial

Jika kita perhatikan bagaimana perang terjadi dibeberapa dekade dan belahan dunia. Instrumen pemerkosaan selalu dipilih untuk berbagai macam tujuan. Menciptakan ketakutan, menghilangkan kemurnian ras tertentu, juga sebagai ekspresi kemenangan satu pihak terhadap pihak lainnya. Selalu ada harta rampasan perang, salah satunya adalah pemerkosaan.

Jadi tidak benar jika ada yang mengatakan bahwa Libido, alkohol, narkotika atau pemicu rangsangan seksual lainnya sebagai penyebab terjadinya kekerasan seksual. Ide dan gagasan perkosaan, kekerasan dalam rumahtangga, pelecehan, hingga kekerasan verbal terhadap perempuan, sudah merupakan model dan ekspresi yang seringkali digunakan oleh laki-laki. Dengan kata lain, gagasan patriarki tentang berkuasanya laki-laki atas kaum perempuan sudah menjadi gagasan yang sejalan dengan praktik kekerasan. Karenanya menekan angka kekerasan seksual, bukanlah dengan membuat efek jera atau membatasi peredaran minuman beralkohol. Tapi jauh lebih penting adalah melakukan strategi pendidikan dan kebudayaan mengenai kesetaraan gender. Itu diterjemahkan ke dalam bentuk praktik tatakelola birokrasi, kurikulum pendidikan, dan pengajaran dasar dalam keluarga. 

Perkosaan dan jenis kekerasan seksual lainnya adalah sebuah gagasan yang harus ditolak. Akibat yang ditimbulkan terhadap korban sangat besar dan panjang. Apalgi jika infrastruktur sosial seperti keluarga dan masyarakat, masih cenderung mempercayai bahwa perkosaan terjadi karena cara berpakaian, jam malam yang dilanggar, gesture tubuh perempuan. Itu adalah sebuah bias kebudayaan dan kadang juga bias ajaran agama yang selalu menempatkan perempuan dibawah derajat laki-laki. 

Perkosaan harus dipahami sebagai sebuah fakta sosiologis, bahwa dari seluruh kasus yang ada, sangat sedikit yang diakibatkan oleh faktor bilologis, misalnya libido yang berlebih dan konsumsi alkohol yang berlebih. Perlu dipahami bahwa tindak perkosaan jauh membutuhkan persiapan dan perencanaan yang matang. Termasuk mengidentifikasi kebiasaan calon korban. Makanya hampir 90% kasus perkosaan dilakukan oleh orang dekat atau yang dikenali oleh korban. Selain itu juga dilakukan oleh kelompok tertentu yang memiliki identitas yang homogen. Mereka memiliki referensi dan kebiasaan yang hampir sama, makanya dikenal dengan sebutan Pelaku Berkelompok Sistematis (PBS).  Minuman keras, narkotika dan obat-obatan lainnya biasanya justru digunakan untuk menciptakan keberanian dalam menjalankan rencana perkosaan. Dengan kata lain, gagasan untuk melakukan perkosaan adalah sebuah kontruksi sosial yang hidup sejak lama. Nafas kekerasan seksual dipompakan dari jantung budaya patriarki yang menyebabkan perempuan selalu dijadikan obyek seksual dalam bentuk apapun.

Perkosaan memang betul adalah kejadian pemaksaan biologis, tapi tentu tidak hidup dalam  ruang sosial budaya yang hampa. Kekerasan sosial adalah nalar berpikir yang dilakukan secara sadar dan terencana dalam relasi gender yang timpang. Dalam teori developmentalisme disebutkan bahwa kekerasan seksual terjadi sebagai akibat dari laju mengejar pertumbuhan ekonomi yang meninggalkan jurang kesenjangan ekonomi dan sosial yang besar. Pelaku perkosaan selalu berasal dari kelompok yang lebih kuat baik secara ekonomi, politik maupun gender. Penganut psikoanalis mempercayai bahwa ada kecenderungan kebencian gender yang disebabkan oleh perasaan superior dari gender tertentu, lalu melampiaskannya kepada gender lain secara sadar. Dalam teori sosial ekonomi, kekerasan seksual disebut sebagai tahap dimana perempuan dianggap sebagai komoditas, atau komodifikasi seksual, dimana tubuh perempuan dianggap sebagai produk atau komoditas, termasuk didalamnya keperawanan. Perkosaan dianggap sebagai upaya merebut paksa komoditas tersebut, sehingga korban tidak lagi bisa memiliki kebanggaan terhadap dirinya.

Fakta diatas menegaskan bahwa jika ingin menekan angka perkosaan atau kekerasan seksual lainnya, tidak cukup dengan hanya mengontrol distribusi minuman beralkohol dan sejenisnya. Perlu kebijakan yang mampu melakukan dekonstruksi dan akhirnya membangun tata hukum dan budaya yang berkeadilan gender. Dalam masayarakat dimana kondisi perempuan setara dengan laki-laki, hubungan seksual menjadi sebuah konsesi dan kesepakatan dua pihak. Hubungan seksual atau serangan seksual, termasuk serangan verbal melalui sikap dan perkataan yang merendahkan, akan menjadi sebuah tindak pidana yang serius. Dalam masyarakat seperti itu, kontrol publik terhadap kasus perkosaan menjadi lebih besar.

#SolidaritasYY: Pimpinan DPP PSI bersama sejumlah aktifis perempuan dan masyarakat berunjuk rasa di Bundaran Hotel indonesia menuntut hukuman seberat-beratnya untuk para pelaku tindak pidana pemerkosaan dan pelecehan seksual. (Foto: DPP PSI/Halimah)

Kebiri: Perang Kimia Melawan Perkosaan

Kasus YY akhirnya menjadi pembahasan serius. Salah satu yang dianggap akan membawa efek jera adalah menyuntikkan cairan kimia kedalam tubuh pelaku untuk kemudian menekan atau mengurangi libido yang bersangkutan dalam berhubungan seksual. Sebagai salah satu cara yang sudah pernah dicoba bahkan sebagian besar mulai meninggalkan cara tersebut, injeksi kimia seperti itu selalu bersifat sementara. Gagasan tentang perkosaan tidak pernah benar-benar mati. Selain itu hukuman tersebut hanya berlaku bagi mereka yang telah terbukti melakukan tindak perkosaan, padahal sebagian besar kasus perkosaan terjadi tidak pernah dilaporkan oleh korban. Kebanyakan korban memilih mendiamkan karena konsekuensi sosial dan hukum yang memang masih sangat diskriminatif. 

Keluarga YY sudah membuktikan, mereka yang anaknya jelas terbukti secara sah dan meyakinkan diperkosa oleh 14 (empat belas) orang laki-laki tetangganya. Kini terpaksa harus mengungsi karena terror dan intimidasi sosial yang dilakukan oleh masyarakat sekitarnya. Mengapa ini terjadi? Karena korban perkosaan pasti merupakan target yang dipilih oleh pelaku, salah satu kriteria korban adalah mereka yang dianggap lemah secara sosial dan hukum. Budaya hukum yang diskriminatif juga berkontribusi terhadap tingginya kasus perkosaan. Dalam penanganan kasus perkosaan, dibutuhkan fasilitas dan personil hukum yang memahami unsur traumatik dan penyembuhan psikologis bagi korban. Perlakuan terhadap korban tidak bisa disamakan dengan korban tindak pidana lainnya. Di Indonesia, perhatian terhadap fasilitas yang harusnya didapatkan oleh korban perkosaan menjadi salah satu yang akhirnya membuat korban lebih banyak memilih untuk diam. Dalam kondisi diam dan takluk seperti itu, biasanya kejadian perkosaan akan terus berulang hingga waktu yang cukup panjang.

Suntik Mati Patriarki dengan Kesetaraan dan Keadilan Gender 

Sebagai sebuah model hukuman, suntik kimia terhadap pelaku perkosaan bisa menjadi referensi. Tapi yakinlah bahwa bukan itu jawaban dari persoalan ini. Jikapun harus menggunakan suntikan, makan suntikan yang paling ampuh adalah suntikan yang mampu melumpuhkan fisik dan pikiran sang pelaku. Karena gagasan dan kebiasaan hanya bisa dimatikan ketika insfrastruktur biologisnya sudah tidak berfungsi. Maka yang paling utama adalah segera suntikkan nilai kesadaran gender, masukkan unsur nilai itu melalui pendidikan formal dan informal melalui keluarga dan agama. 

Presiden Jokowi didampingi sejumlah pejabat mengumumkan penerbitan Perppu Kebiri, di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (26/5) sore. (Foto: Setkab/Rahmat)

Kekerasan seksual sebagai model ekpresi kekuasaan hanya bisa langgeng jika kondisi masyarakatnya hidup dalam kungkungan patriarki. Negara harus menciptakan infrastruktur keadilan yang memiliki daya paksa untuk menghapus segala bentuk diskriminasi gender. Ketimpangan gender adalah sumber utama dijadikannya perempuan sebagai obyek seksual. Insrastruktur keadilan itu dibangun diatas hukum, kebijakan dan aparat birkorasi dan aparat hukum yang jernih dalam memandang persoalan gender. Praktek politik harus segera menemukan jalan untuk mempercepat terpenuhinya keterwakilan perempuan yang representative di parlemen, 30% misalnya. Jangan lagi kebijakan afirmasi menjadi kebijakan manipulative dan sugestif yang tidak akan pernah terwujud. Harus ada upaya serius yang memaksa Parpol untuk mengirim perwakilan terbaiknya ke parlemen. Salah satunya adalah dengan menetapkan quota 30% kursi parlemen untuk perempuan. 

Hanya dengan representasi politik, ekonomi dan tata sosial yang setara dan berkeadilan gender, tugas utama pemerintah Republik Indonesia yang diamanatkan oleh Konstitusi UUD 1945 yakni mewujudkan ‘keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’ bisa terpenuhi. Tanpa itu, injeksi kimia bahkan hukuman mati, tidak akan pernah benar-benar mematikan gagasan kekerasan seksual yang jelas tidak hidup di dalam syaraf libido atau cairan alkohol. Ide tentang kekerasan seksual itu hidup dalam masyarakat kita, dipercaya, diyakini, ditularkan dan diwariskan, bahkan beberapa kali telah dijadikan model dalam pertarungan kekuasaan politik. Karenanya langkah yang paling penting adalah segera mengganti ekosistem dimana virus itu tumbuh dan berkembang, pendidikan adalah antivirus ampuh untuk memulai mengubah ekosistem lama menjadi ekosistem baru dimana ide kekerasan tersebut tidak akan bisa hidup dan bertahan lama. Ekosistem yang setara dalam segala hal, termasuk gender.   

Siapakah Pelaku Kekerasan Seksual Sesungguhnya?
Kolom Opini

Siapakah Pelaku Kekerasan Seksual Sesungguhnya?

Opini Koran Solidaritas Edisi X, Mei 2016

Oleh Anzi Matta*

Peneliti PBB dalam Studi Pria dan Kekerasan di Asia dari beragam Negara menerbitkan sebuah studi mengenai akar kekerasan seksual yang mencakup enam negara: Bangladesh, Cina, Kamboja, Indonesia, Papua Guinea Baru, dan Sri Lanka dalam dua tahun yang melibatkan 10.000 orang. Sekitar satu dari empat orang dalam studi ini mengatakan mereka telah diperkosa seseorang dalam hidup mereka. Satu dari sepuluh telah diperkosa seseorang yang merupakan bukan kekasih atau partner romantis mereka. Dalam kuesioner yang dibagikan dalam studi ini tidak menggunakan kata “pemerkosaan” untuk lebih memudahkan dan keakuratan dalam studi. Mereka meminta orang-orang menjawab apakah mereka pernah melakukan dari pilihan berikut: “Memaksa seorang perempuan untuk melakukan hubungan seks yang bukan kekasih atau istri Anda” atau mereka pernah “Berhubungan seks dengan seorang perempuan yang terlalu mabuk atau dibius (tidak sadar) untuk menunjukkan apakah mereka (korban) menginginkan seks”.

Berdasarkan studi tersebut tahulah kita bahwa sebenarnya banyak orang-orang yang tidak menyadari apa itu “persetujuan”, banyak dari mereka yang menjawab bahwa mereka memilih berhubungan seks dengan seorang perempuan yang mabuk atau dalam kondisi tidak sadar. Di luar Indonesia, khususnya negara-negara maju, kita kerap mendengar laporan pemerkosaan dalam keadaan mabuk di kepolisian, tetapi tidak di Indonesia. Ada beberapa moralitas dan hal yang tabu untuk berpikir bahwa seorang perempuan tidak dapat minum, jika ia minum dan kemudian diperkosa, maka itu memang salah si perempuan yang menempatkan dirinya dalam bahaya. Ini tidak terjadi hanya dalam keadaan mabuk, tapi perempuan yang memakai rok pendek hingga perempuan yang keluar malam. Ini disebut victim-blaming. Bahwa banyak orang tidak menyadari bahwa kekerasan seksual terjadi karena dikarenakan “lack of consent” dan Anda perlu mencatat itu.

Kemudian kita atau Anda yang memiliki sedikit nurani itu untuk bertanya kenapa banyak yang mengamini victim blaming meskipun itu bertentangan tak hanya dari hukum, tetapi hati mereka? Ada tiga teori populer yang saya rangkum berkaitan dengan terciptanya victim-blaming. Pertama, Just World Hypothesis, di mana individu-individu yakin bahwa dunia itu aman dan orang-orang akan mendapatkan apa yang “pantas” mereka dapatkan. Individu-individu ini percaya bahwa sistem sosial yang mempengaruhi mereka itu adil. Mereka percaya bahwa hal baik terjadi pada orang baik, dan hal buruk terjadi bagi orang buruk. Kesimpulannya adalah mereka percaya bahwa korban kekerasan seksual terjadi karena kesalahan mereka, dalam cara ini, mereka yang percaya bahwa di dunia ini tidak ada yang polos atau tak bersalah, tetapi karena seseorang “pantas”. Kedua, Attribution Error. Menurut Kelly dan Heider, ada dua kategori atribusi: internal dan eksternal. Individu yang membuat atribusi internal adalah ketika mereka menyadari karakteristik personal seseorang yang mempengaruhi aksi dan situasi. Atribusi eksternal, bagaimanapun, lingkungan yang mempengaruhi perilaku seseorang. Ketiga, Invulnerability Theory, di mana orang-orang yang menyalahkan korban untuk melindungi perasaan “ketidakamanan” mereka sendiri. Bahkan orang-orang terdekat dan bahkan anggota keluarga pelaku kekerasan seksual menyalahkan korban karena untuk melindungi “perasaan” mereka dari kenyataan bahwa pelaku kekerasan seksual adalah orang terdekat mereka, sehingga cara paling aman adalah menyalahkan korban.

Kelas Menengah dan Teori Victim Blaming-nya

Istilah menyalahkan korban atau victim blaming diungkapkan pertama kali oleh psikolog William Ryan pada buku Blaming the Victim sebagai ideologi yang digunakan untuk membenarkan rasisme dan ketidakadilan terhadap orang kulit hitam di Amerika Serikat saat membantah Daniel Patrick Moynihan tahun 1965 untuk Laporan Moynihan-nya. Intinya dari Laporan Moynihan adalah: tiga abad perlakuan buruk terjadi di tangan orang kulit putih yang menciptakan perbudakan Amerika, menciptakan kekisruhan yang berkepanjangan dalam struktur keluarga orang kulit hitam, yang mana disebabkan oleh tingginya angka kelahiran, tidak berperannya fungsi ayah, atau orang tua tunggal. Lalu Moynihan mengaitkan hal tersebut dengan relativitas angka kemiskinan, pengangguran, pendidikan, dan kemapanan finansial dalam populasi orang kulit hitam. Moynihan mengadvokasi implementasi program-program pemerintahan yang didesain untuk menguatkan keluarga nuklir orang-orang kulit hitam.

Seperti halnya para pemerhati sosial-politik yang kerap melihat dari angka-angka statistik kemiskinan. Menyebalkannya adalah media massa menciptakan opini publik yang membenarkan hal tersebut. Seakan-akan kejahatan memang sudah selayaknya terjadi di kelas menengah ke bawah. Lalu, apa standar “kemiskinan” mereka? Pekerjaan dan penghasilan mereka? Bila analisanya sesederhana bahwa angka-angka statsistik kemiskinan menciptakan budaya pemerkosaan di kalangan kelas bawah, apakah lantas orang Dayak pedalaman di hulu sungai Malinau yang tergolong “miskin” dalam angka statistik juga mengembangkan dengan sendirinya budaya pemerkosaan hanya karena mereka, secara statistik ekonomi, miskin? Saat inilah victim blaming tidak terjadi kepada korban pemerkosaan, tetapi “orang-orang miskin”.

Kurang lebih George Kent, profesor ilmu politik dari Universitas Hawaii, mengatakan hal yang sama, “Tidak memberi seseorang ikan dan dia makan untuk hari ini, tapi mengajarkan orang untuk menangkap ikan dan dia makan untuk seumur hidup.” Kent mengatakan bahwa orang kulit putih lebih mampu “menentukan” apa yang lebih layak bagi orang kulit hitam. Seperti halnya kelas menengah atau kelas menengah atas yang rasanya pantas menentukan mengenai bagaimana “kelas menengah bawah” sebaiknya hidup dan menganalisa dengan sederhana mengenai kemampuan yang dimiliki mereka. Inilah yang kita lakukan. Anda dapat terkaget-kaget melihat angka statistik kemiskinan dan angka kriminalitas, tetapi perlu juga diketahui bahwa kejahatan dan tindak kriminil tidak hanya terjadi di kelas menengah ke bawah. Itu hanya yang tercatat statistik, nyatanya ada “kejahatan-kejahatan” kelas menengah dan kelas menengah atas yang tak dilaporkan. Katakanlah bahwa memang kelas menengah ke bawah memiliki permasalahan, terutama dalam pendidikan, sehingga kemudian ini yang menjadi tolak ukur dengan tindakan kriminalitas.

Kelas menengah atau kelas menengah atas yang melakukan tindakan kriminil seperti pemerkosaan mungkin jarang tercatat atau dikasuskan dalam pengadilan karena kemungkinan besar mereka memiliki ketakutan akan hukum dan tentu saja persoalan kasus pemerkosaan ini terjadi. Untuk kemungkinan sebagian besar kasus pemerkosaan kelas menengah ke bawah terjadi dengan pemaksaan yang dilakukan di tempat seperti kebun atau ladang, sementara yang luput dari pandangan kita adalah bahwa juga terjadi pemerkosaan yang terjadi di kamar, hotel, bar, dan lainnya, tempat-tempat yang menurut kita tidak mungkin terjadi pemerkosaan, tempat-tempat yang menurut kita adalah kelas menengah dan kelas menengah atas seharusnya berada dan tak mungkin melakukan “pemerkosaan”. Sesungguhnya “pemerkosaan” tidak terjadi karena pelaku yang melakukan saja, tetapi masyarakat juga yang membantu membentuk logika dan rape culture. Temukan beberapa berita pemerkosaan dan tak jarang kita dapat melihat komentar-komentar atau candaan mengenai pemerkosaan. Ada dua kasus yang dapat kita perhatikan: pertama, kasus pemerkosaan yang menimpa perempuan 19 tahun di Manado, yang diperkosa oleh belasan pemuda dan kedua, kasus pemerkosaan yang menimpa seorang gadis dan kemudian dalam alat vitalnya dimasukan ganggang cangkul.

Tunggu dulu, mungkin normalnya kita karena memiliki rasa empati, berpikir bahwa tindakan-tindakan tersebut di luar nurani dan logika berpikir kita, namun nyatanya banyak juga orang-orang yang menikmati kejadian tersebut dan kemudian membuat beberapa candaan. Untuk kasus yang pertama, orang-orang akan menyalahkan perempuan tersebut yang bekerja di sebuah tempat karaoke. Untuk kasus kedua, beberapa orang moralis menetapkan standar moral mereka dalam lelucon yang kurang lebih seperti “tidak menjaga aurat? Masih ada cangkul.”. Kasus pemerkosaan yang dijadikan bahan lelucon untuk menyebarkan ajaran, kepercayaan mereka, yang tak lebih malah menciptakan logika kekerasan seksual.

Sesungguhnya untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual dapat dimulai dari diri sendiri dan orang-orang terdekat kita, jangan sampai mereka korban, terlebih lagi menjadi andil atau pelaku. Jangan pernah berhenti untuk curiga, bahkan terhadap diri Anda sendiri!

*. Penulis adalah seorang mahasiswi, ilustrator, dan aktif menulis di media berita online Geotimes.co.id

Deparpolisasi: Menagih Janji Partai Politik
Diskursus Kolom

Deparpolisasi: Menagih Janji Partai Politik

Diskursus Koran Solidaritas, Edisi IX – April 2016

Oleh: Ramli Hussein* 

Partai Politik Membawa Kerusakan

Jika memiliki kesempatan dan kekuatan, niscaya partai politik akan membungkam kekuatan politik lainnya untuk berkuasa secara tunggal disalah satu Negara. Demikianlah kekuasaan mampu membuat batas-batas baru yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Siapa yang membayangkan Partai kecil yang pada Pemilu Jerman tahun 1928  hanya mampu memperoleh 2,6% suara itu, kemudian menjadi kekuatan politik sekaligus tempur yang paling menakutkan dalam sejarah peradaban manusia. 

NAZI dibawah kepemimpinan Sang Fuehrer Adolf Hitler, keluar sebagai pemenang Pemilu Maret 1933 dengan perolehan suara 43,91%. Kesempatan itu tidak dilewatkan oleh Hitler, seluruh Partai Politik yang tidak setuju untuk tunduk dibawah kekuasaan Hitler dibubarkan, elitnya menjadi buron hingga ke Rumania dan Yunani. Partai Komunis dan Partai Sosialis menjadi sasaran utama kemarahan Hitler. 

NAZI berkuasa secara absolut hingga menggelar Pemilu November 1933 dengan perolehan suara sebesar 92,11%. Hitler bersama sekutu dekatnya, Mussolini dari Italia, menyulut perang di daratan Eropa, dendam Afrika yang dibawa pulang. Dalam waktu singkat mesin-mesin industri dan produksi Jerman disulap menjadi industri perang yang memproduksi pesawat tempur dan tank-tank dengan kecepatan tinggi. Teknologi yang oleh politik harusnya diatur dan dikelola sebagai alat kesejahteraan, oleh Hitler dijadikan industri mesin-mesin pembunuh berkualifikasi canggih dijamannya. 

Tidak butuh waktu lama, Hitler yang disokong oleh Mussolini Sang Tiran dari Italia, menguasai hampir seluruh daratan Eropa, kecuali Inggris Raya di ujung Barat benua dan Rusia di ujung Timur Eropa.  Jepang merasa siap untuk menjadi penguasa Asia, ekspansi dilakukan, Asia Tenggara, Korea, Taiwan dan akhirnya mendarat di Shanghai. Setelah menguasai China, meski belum sepenuhnya stabil, Jepang mulai maruk dengan melancarkan sebuah serangan Kamikaze ke pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbour. Perang dunia yang sebenarnya dimulai, Amerika Serikat ikut dalam dua perang sekaligus, di Eropa  melawan Italia dan Jerman, juga di Pasifik melawan Jepang.

Partai Politik Yang Membebaskan

Berbeda dengan Partai NAZI di Jerman yang membawa petaka bagi umat manusia, di Nusantara tahun 1912 lahir sebuah partai politik pertama bernama de Indishce Partij yang didirikan tiga serangkai Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, Ki Hajar Dewantara. Peletak pondasi pertama gagasan kebangsaan Indonesia, meski digagas oleh kelas Priyai, Indische Partij merajut perbedaan kelas sosial dan kelas ekonomi bangsa jajahan menuju gagasan persatuan nasional. Dalam perjalanannnya, Indische Partij memang tidak mampu mencapai cita-cita pendiriannya mengupayakan Indonesia merdeka, namun sebagai sebuah Partai Politik, IP telah meletakkan pondasi awal bangunan Indonesia Merdeka yang menjadi lebih bergairah pada tahun-tahun berikutnya, bahkan setelah ketiga pendiri IP dibuang ke tempat yang terpisah. 

Kedatangan para orang yang dibuang di Belanda. Duduk dari kiri: Tjipto Mangoenkoesoemo, Douwes Dekker, Soewardi Soerjaningrat, berdiri dari kiri: F. Berding, G. L. Topee, dan J. Vermaesen.  –  Sumber: indischhistorisch.nl

Pondasi utama yang diletakkan oleh IP adalah kemampuan untuk merasa setara. Meski didirikan oleh Priyai dan Indo-Belanda, namun IP menempatkan persamaan rasial dalam segala urusan politik dan pemerintahan adalah hal utama. Tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih rendah. Palajaran lain dari kelahiran IP adalah pentingnya perjuangan legal, yang terlihat kooperatif dan damai namun jelas tidak lebih mudah dari gerakan bersenjata yang membuat banyak nyawa dan kerugian lainnya berjatuhan. IP adalah inspirasi politik baru, sebagai organisasi moderen ketiga setelah Boedi Utomo dan Sarekat Islam, IP merupakan organisasi pertama di Nusantara yang mendeklarasikan diri sebagai partai politik. Dalam perjalanan menuju pembuangan masing-masing, disadari atau tidak, berkat IP telah lahir benih-benih pembebasan nasional baru, yang pada babak selanjutnya akan dimulai dari Gang Peneleh, di sebuah rumah milik HOS Cokroaminoto tokoh Sarekat Islam, ramuan berbagai ideologi dan gagasan Indonesia merdeka sedang diramu. Sebagian besar mereka akan menjadi pendiri-pendiri partai politik, dan mengantarkan Soekarno membacakan Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.

Afiliasi, Fusi, Koalisi dan Aliansi 

Gagasan deparpolisasi harus dibedakan dengan beberapa istilah politik lainnya seperti: Afiliasi, Fusi, Koalisi dan Aliansi. Meskipun semua istilah tersebut memiliki makna yang hampir sama namun berbeda dalam praktik. 

Afiliasi, istilah ini biasanya digunakan dalam struktur organisasi yang lebih kompleks. Maknanya adalah pertalian sebagai anggota atau cabang. Sering digunakan antara organisasi induk dengan organisasi sayap. Misalnya di Jerman, DGB sebagai konfederasi sarekat buruh terbesar di Jerman memiliki afiliasi politik (meski tidak resmi dan wajib) secara tradisional memiliki afiliasi politik dengan SPD Partai Sosial Demokrat Jerman. Jenis kerjasamanya adalah kesamaan platform dan program kerja, aspirasi buruh melalui DGB dititipkan kepada SPD yang memiliki perwakilan di Parlemen Federal, sebaliknya dalam Pemilihan Umum, DGB mempromosikan SPD ke kalangan anggotanya. Afiliasi merujuk pada hubungan yang imbang, meski kadang secara struktur independen namun cara pandang, ideologi dan program kerja menyatukan sebuah afiliasi politik.

Fusi, Indonesia pernah mengalami masa dimana pemerintah menjalankan politik penyederhanaan partai politik melalui jalan Fusi. Fusi artinya menyatukan secara total seluruh aktifitas, struktur dari dua organisasi atau lebih menjadi satu partai. Demi memantapkan visi Orde Baru yang mengutamakan stabilitas politik untuk percepatan pembangunan, maka diluncurkan paket Fusi Partai pada tahun 1973. Akhirnya dimulailah masa Demokrasi Pancasila versi Orde baru dengan hanya menyertakan tiga partai politik dalam setiap Pemilu, yakni: PPP (Partai Persatuan Pembangunan) merupakan penggabungan partai-partai politik Islam, yang terdiri dari NU, Parmusi, PERTI dan PSII. Kelompok kedua dilebur kedalam PDI (Partai Demokrasi Indonesia), partai yang dilebur menjadi PDI ini terdiri dari: PNI, Murba, IPKI, Parkindo, Partai Khatolik. Sementara Golkar diisi oleh tokoh-tokoh arsitek Orba dan juga petinggi militer. Sementara partai lain yang berhaluan Komunis dan Sosialis secara resmi dibubarkan: seperti PKI dan PSI. Fusi PPP dan PDI bukannya tidak menyisakan persoalan, dimanapun proses politik yang dipaksakan, atau Fusi yang tidak melewati hasil kesadaran akan menemukan keretakan dikemudian hari. Ini terjadi pada saat era Reformasi 1998, ketika Pemilu demokratis pertama digelar tahun 1999, partai-partai politik kembali bermunculan, pecahan dari hasil fusi 1973 mencoba meraih kembali eksistensinya di Pemilu 1999.

Koalisi sebenarnya memiliki makna yang dekat dengan Aliansi, keduanya bermakna kerjasama antara dua atau lebih partai politik, didalam atau diluar parlemen. Hanya saja koalisi biasanya lebih dimaknai sebagai kerjasama insidental untuk memenangkan sebuah kebijakan atau kelebihan suara hasil Pemilu. Contoh misalnya Koalisi Merah Putih dalam memenangkan Capres Prabowo Subianto melawan Koalisi Indonesia Hebat untuk memenangkan Jokowi dalam Pilpres 2014 yang lalu. Koalisi jarang yang bersifat permanen, demikian juga dengan aliansi. Hanya saja aliansi digunakan lebih banyak untuk hal yang bersifat programatik dan aksi nyata, misalnya Aliansi Bhineka Tunggal Ika, adalah gabungan beberapa organisasi untuk melakukan kampanye pro keragaman dan melawan bentuk intoleransi. Beberapa partai politik membaginya menjadi aliansi taktis dan aliansi strategis, ini hanya didasarkan pada durasi dan penting tidaknya sebuah aksi politik dijalankan.
Seluruh istilah tersebut bisa saja diseret masuk ke dalam konteks DEPARPOLISASI, sehingga dengan membenturkan kata deparpolisasi dengan keberadaan mekanisme calon independen merupakan sebuah simplifikasi yang bisa saja destruktif dalam diskursus demokrasi di Indonesia. Apalagi semangat kelahiran mekanisme calon independen karena justru ingin memberikan terapi serius terhadap partai politik yang semakin jauh dari mandat pendiriannya.

Catch All Party dan Deparpolisasi

Masa mengaburnya ideologi, berakhirnya konfrontasi bipolar (blok barat vs blok timur) pasca perang dingin membuat partai politik yang tadinya sangat ideologis, mulai kehilangan basis dukungan suara.  Otto Kirchmer mengambil contoh Partai Sosialis Jerman, pasca unifikasi Jerman, ditambah kehidupan ekonomi yang semakin baik, konfrontasi kelas sosial yang menjadi basis teoritik pengorganisasi buruh dan kader partai menjadi mengabur. Teori kelas sulit digunakan dalam meraih dukungan elektoral. Karenanya kemudian struktur partai yang ketata dan sentralis tidak mungkin bekerja efektif dalam era masyarakat yang terbuka. 

Hal yang sama terjadi di Indonesia, sejak Pemilu 1955 politik aliran masih sangat kental mewarnai pertarungan politik, bahkan perdebatan di media massa tidak kalah sengitnya. Islam, Nasionalis, Sosialis dan Komunis meletakkan Bahasa-bahasa politik aliran, wajar jika masa itu media partai politik oplahnya melebihi media massa umum. Pertarungan ini berhenti pada masa Orde Baru, terutama pasca fusi partai 1973. Orde Baru memegang kendali politik dan keamanan melalui Golkar dan Dwi fungsi ABRI. Namun politik aliran masih terasa pada saat  kebebasan politik kembali dibuka melalui Pemilu tahun 1999, politik aliran kembali  terasa meski tidak lagi banyak memakan korban seperti masa Orde Lama.

Pemilu 2004 membawa cerita baru, pasca jatuhnya Gusdur, gagalnya Amin Rais menanamkan pengaruh dan Megawati yang ketika memimpin juga tidak mampu merawat kecintaan publik pada saat itu. Pemilu 2004 mengantarkan figur Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden, padahal Partai Demokrat adalah partai politik baru dengan perolehan suara hanya 7,45% suara.

Apa ideologi Partai Demokrat? Apa rekam jejak Partai Demokrat? Apakah Partai Demokrat jauh lebih berjasa melahirkan demokrasi baru Indonesia disbanding PAN, PDI-P, PPP, bahkan dengan partai yang programnya melawan rezim militer dan otoritarianisme Soeharto seperti PRD dan PUDI pimpinan Sri Bintang Pamungkas? Jawabannya tidak sama sekali, yang terjadi adalah perubahan cara pandang pemilih dan juga mengaburnya politik ideologi di Indonesia.

Meski mayoritas beragama Islam, pemilih Indonesia secara konsisten tidak menjatuhkan pilihannya kepada partai bernafas Islam. Pun ketika Pemilu 1955 umat Islam Indonesia terbagi ke partai yang memilih partai Islam, lebih banyak mengidentifikasi dirinya sebagai nasionalis bahkan tidak sedikit yang menyatakan diri berhaluan sosialis dan komunis. Pasca depolitosasi dan deideologisasi Orde Baru, politik aliran sudah tidak relevan lagi, tentu saja unsur traumatik pasca tragedi kemanusiaan 1965, membuat pemilih sangat hati-hati menjatuhkan pilihan politiknya. 

Ilustrasi: Politik Pencitraan

Era poilitik pencitraan menjadi trend baru dalam kontestasi parpol pasca 2004. Adopsi teori marketing dan branding masuk kedalam praktek pemenangan politik menjadi hal yang biasa. Panggung yang tadinya diisi oleh guru kader partai sekarang diambil alih oleh para pengampuh kaidah-kaidah pemasaran modern. Bagaimana membaca perilaku pemilih dan menciptakan brand yang kredibel ditengah pertarungan partai-partai adalah diskusi baru yang membuat Pemilu di era Reformasi menjadi sangat berbeda dengan Politik masa-masa sebelumnya. Seluruh partai politik akhirnya bertaruh di spektrum tengah, hal ini dilakukan demi memperoleh cukup ruang gerak didalam menciptakan diferensiasi dengan parpol-parpol lainya. Jargon bertebaran, janji politik diproduksi, relevansi politik realitas terbenam dalam kreasi iklan dan alat peraga kampanye. Bahkan yang paling miris adalah prinsip “kalau tidak bisa jadi yang terbaik, jadilah yang terlucu meski terlihat bodoh” asal materi kampanye anda mendapatkan perhatian dan pembicaraan dipublik.

PKS yang tadinya sangat kuat bernafaskan Islam, akhirnya bergeser ke tengah dengan jargon Bersih dan Peduli, PDIP yang harusnya tampil Nasionalis Kerakyatan menggeser ke tengah dengan slogan partai wong cilik, hampir seluruh parpol bertarung di spektrum tengah. Perbincangan ideologi menjadi topik pinggiran yang tidak lagi relevan dan mempengaruhi dasar kebijakan politik dan program aksi. Ini yang disebut era catch all party, pada saat itu sebagian ruh Partai Politik sebenarnya sudah hilang.

Era Digital, Demokrasi dan Re-Radikalisasi

Belum lagi penyesuaian sedang berlangsung, partai yang sedang sibuk-sibuknya bertarung di spektrum tengah, tiba-tiba pemilih dilanda kebosanan dan depresi akibat krisis ekonomi. Menu politik yang tidak berbeda antara satu parpol dengan parpol lainnya membawa pemilih kedalam keadaan kehilangan gairah. Bagaimana membedakan partai kiri dan kanan ketika keduanya ternyata mendukung Perang Iraq? Atau bagaimana sikap partai terhadap nuklir, krisis ekonomi, imigran, paket jaminan sosial dll tidak lagi bisa dibedakan berdasarkan ideologi dan program 
Parpol gelagapan ketika ternyata di internet, diskusi-diksusi ideologis kembali bisa dibangun dalam konteks yang lebih baru. Di Indonesia, masa catch all party harus mengalami kenyataan bahwa Party ID atau identifikasi kedekatan pemilih terhadap partai politik jauh menurun dibanding tahun 1999 yang mencapai 68,6% menjadi hanya 11, 1% pada Pemilu 2014 (Data SMRC 2016). 

Yang paling meresahkan adalah kekuatan figur jauh lebih kuat dibanding faktor partai politik dalam pertimbangan pemilih menjatuhkan dukungan. Ini adalah fenomena global, tidak hanya terjadi di Indonesia. Kemenangan Partai Kiri Yunani misalnya menunjukkan betapa pemilih Eropa kembali ke jalur ideologis ketika menghadapi krisis. Begitu juga kemunculan partai-partai alternatif seperti Internet Party di Selandia Baru, Piraten Partei di Jerman, Sex Party di Australia dll, menjadi sebuah kritik baru terhadap partai politik. Pilihannya bertahan ditengah sebagai catch all party? Atau segera mengambil jalan baru re-ideologisasi politik. SPD Jerman misalnya, pasca kekalahan telak pada tahun 2009, mengambil langkah percepatan regenerasi partai SPD, karena menganggap bahwa elit SPD sudah sangat tua untuk memahami perkembangan politik dunia baru, dunia digital.

Disisi lain partai-partai berhaluan ultra kanan seperti Neo-NAZI dan di timur tengah diwarnai dengan munculnya ISIS sebagai buah kegiatan kontra terorisme barat, adalah fenomena bahwa Catch All Party telah meninggalkan ceruk kosong dunia politik. Ruang yang tadinya hangat dengan perbincangan ideologi. Akhirnya diisi oleh tidak hanya gerakan alternatif tapi juga gerakan-gerakan anti-demokrasi yang mencoba meraih dukungan politik ditengah kealpaan politik ideologis. Di Indonesia, kehadiran Hizbut Tharir Indonesia (HTI) yang secara terang-terangan menolak Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika ternyata cukup signifikan meraih dukungan. Begitu juga dengan keberadaan Front Pembela Islam (FPI) yang seringkali menempuh jalur kekerasan untuk menyelesaikan perbedaan , hingga hari ini Negara tidak bisa secara tegas melakukan penindakan.

Masa Depan Partai Politik

Jika demikian maka meninggalkan ideologi dan berlomba meraih dukungan suara dengan menampilkan sosok Parpol tengah yang terbuka dan non-ideologis bukannya tanpa risiko. Sayangnya di Indonesia keterbatasan dan persoalan tersebut tidak dijawab dengan upaya serius partai politik untuk melakukan perubahan mendasar di internal maupun eksternal Parpol. Yang terjadi adalah upaya untuk menjaga zona aman dan nyaman dengan menciptakan regulasi yang diperkirakan akan mempersulit lahirnya partai atau kekuatan politik baru yang akan merongrong kekuasaan mereka.

Ada tiga upaya yang terbukti gagal membendung arus perubahan politik di Indonesia: Pertama, dengan mempersulit pendirian partai politik baru. Sejak lahirnya UU Partai Politik No. 2 tahun 2008, maka sangat jelas bahwa tidak ada lagi gerakan sosial yang akan mampu bertransformasi menjadi partai politik. Karena dalam Undang-undang tersebut jelas persyaratan administrasi yang sangat berat dan mahal tidak akan mampu dibiayai oleh Ormas atau kekuatan ideologis manapun untuk menjadi partai politik. Namun tahun 2014 dengan modal finansial cukup dan dukungan media yang kuat, Nasional Demokrat mampu mengatasi rezim administrasi tersebut dan lolos menjadi peserta Pemiliu, bahkan tercatat sebagain Parpol yang mengantar Presiden Jokowi ke kursi Presiden. 

Upaya kedua adalah dengan memperberat persyaratan di Undang-undang Pemilihan Umum. Biasanya dengan mengutak-atik persyaratan verifikasi KPU, dan juga menaikkan ambang batas parlemen. Faktanya tahun 2014 Nasdem mampu meraih suara jauh diatas parliamentary threshold yang ditetapkan 3,5%, bahkan beberapa pertain lama seperti PBB dan PKPI tidak berhasil melampaui PT tersebut, bahkan Hanura hampir saja masuk ke zona degradasi akibat kesulitan dalam meraih dukungan di Pemilu 2014.

Upaya ketiga adalah dengan mempersulit kemungkinan ikut sertanya calon independen didalam kontestasi Pilkada, hal ini pun sudah terbukti gagal untuk membendung arus perubahan politik. Dalam catatan sejak dikabulkannya gugatan mengenai calon perseorangan di Mahkamah Konstitusi, kemenangan demi kemenangan diraih oleh calon perseorangan. Di sisi lain partai politik semakin merosot dalam hal kepercayaan publik, bahkan berada dibawah TNI, Polri dan DPD-RI berdasarkan data CSIS 2015.

Di masa yang berubah, partai politik di Indonesia akan menghadapi Pemilu 2019. Meski masih jauh namun Pemilu 2019 merupakan tahun penting bagi demokrasi baru Indonesia. Untuk pertama kalinya jumlah pemilih berusia 45 tahun, menjadi pemilih mayoritas, tercatat 65% jumlah pemilih berada dalam rentan usia 17-45 tahun. Untuk pertama kalinya pula, sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi bahwa Pemilihan Umum Legislatif akan digelar bersamaan dengan Pemilu Eksekutif. Artinya selain pemilih yang relatif berusia muda, partai politik tidak akan menjadi faktor penentu kekuasaan di Indonesia. Kekuatan elektoral 2019 justru akan ditentukan oleh siapa figur Capres dan Cawapres yang diusung partai politik tersebut. Pada saat yang sama, apakah figur tersebut disukai oleh mayoritas rentan usia pemilih 17-45 tahun, yang notabene mereka adalah pengguna aktif media sosial.

Selamat datang di era demokrasi baru, demokrasi orang muda, demokrasi berbahasa digital. Demokrasi anti-oligarki, demokrasi yang mengembalikan gairah politik kepada hal-hal sederhana namun bisa dinikmati khalayak luas. Sederhana, setara dan beradab. Bagi Parpol yang tidak bisa menyesuaikan diri dengan arus perubahan ini, tentu harus bersiap-siap dimasukkan ke dalam sebuah etalase sejarah. Dikenang sebagai masa lalu, bukan masa depan.  

*. Penulis adalah Pemimpin Redaksi Koran Solidaritas

Parpol di Tengah Zaman Yang Berubah
Kolom Opini

Parpol di Tengah Zaman Yang Berubah

Opini Koran Solidaritas, Edisi IX – April 2016

Oleh: Anom Astika*

Di tengah golak-golak macam ragam isu politik yang marak di dalam beberapa bulan terakhir ada dua fenomena penting yang menarik untuk diperhatikan. Pertama, keberanian Ahok untuk maju sebagai calon gubernur DKI lewat jalur independen. Ini sebuah terobosan politik yang baru dan unik. Sebelumnya, sepanjang sejarah pemilihan Gubernur DKI semua calon selalu diusung oleh partai politik. Pun Ahok ketika maju menjadi calon wakil gubernur mendampingi Jokowi di tahun 2012, diusung oleh Partai Gerindra. Namun untuk Pilgub DKI Jakarta mendatang, Ahok sebagai calon petahana seperti tidak menganggap penting dukungan partai politik, dan memilih untuk mengandalkan relawan non partai pendukungnya. Bahkan untuk calon wakil gubernurnya pun Ahok tidak mengambil dari tokoh partai politik, tetapi dari jajaran birokrasi Pemda DKI Jakarta, Heru Budi Hartono. Ada apa sebenarnya antara Ahok dan partai politik?

Partai politik di masa pemerintahan Jokowi tampaknya tidak mendapat tempat yang baik di hati publik. Bukan karena partai-partai politik menghadapi represi dari pemerintah, tetapi justru karena partai politik tidak berperan sebagaimana mestinya, sebagai institusi penganjur etika politik di tingkat praktis. Kasus ‘pencatutan’ nama Jokowi oleh ketua DPR Setya Novanto, dan keputusan Mahkamah Kehormatan DPR di dalam merespon kasus tersebut sedikit banyak melukai hati publik. Kisruh internal yang berlangsung di Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan menunjukkan kepada publik perihal ketidakmampuan partai-partai tersebut di dalam mengorganisasikan dirinya. Bahkan di masa pemerintahan SBY dengan munculnya sejumlah kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik dan pejabat negara, sudah cukup menjadi bagian dari akumulasi sakit hati rakyat saat ini terhadap partai politik.

Dalam konteks DKI, ketika Ahok mulai menjabat sebagai Gubernur DKI menggantikan Jokowi yang terpilih sebagai Presiden RI, muncul kasus korupsi UPS yang diduga melibatkan beberapa oknum dari anggota DPRD DKI Jakarta. Perseteruan antara Ahok dan DPRD pun mencuat dan melahirkan pro kontra di media massa. Bahkan isu UPS diangkat lagi oleh Ahok dalam konteks sekolah rusak di lingkup DKI Jakarta terkait kecilnya anggaran rehabilitasi sekolah di Jakarta dibandingkan dengan anggaran pengadaan pembelian Uninterubtable Power Supplies (UPS), scanner, dan lain-lain. Terakhir, ricuh seputar Reklamasi Teluk Jakarta, yang didahului dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK terhadap anggota DPRD DKI, Sanusi dari Partai Gerindra, semakin membuat Ahok maupun publik menjadi tidak bersimpati terhadap keberadaan partai politik.

Fenomena kedua, sebenarnya lebih terkait dengan dunia bisnis dan teknologi komunikasi, tetapi memiliki dampak sosial-politik. Kemunculan generasi baru yang percaya dengan kemampuan teknologi di dalam menyelesaikan problem-problem sosial, ekonomi, dan politik mewujud semenjak berkembangnya pemanfaatan media sosial sebagai media politik publik. Mulai dari urusan promosi produk rumahan sampai dengan gosip intrik politik seputar istana semuanya berkembang di media sosial facebook dan twitter. Bahkan sampai pilpres 2014 kedua jenis media sosial tersebut ramai dengan ‘perang suara’ antara masing-masing pendukung calon presiden. 

Tetapi pada periode 2016, semua yang ramai ‘berperang’ di dua jenis media sosial di muka seperti ‘terendam masuk’ ke dalam ruang-ruang publik digital yang lebih privat, yaitu ke dalam grup-grup whatsapp. Kritik dan debat tentang sebuah isu kini lebih marak di dalam berbagai macam grup grup tersebut. Sementara untuk kepentingan ekonomi, promosi produk dan jasa layanan semuanya kini diikat dalam moda-moda aplikasi yang bisa diunduh melalui media komunikasi seluler. Bahkan dalam mekanisme layanan birokrasi masyarakat di DKI Jakarta, gubernur Ahok juga menerapkan sistem aplikasi yang berjaring sampai tingkat kecamatan dan kelurahan. 

Efeknya kemudian, di satu sisi layanan birokrasi Pemda DKI Jakarta terhadap persoalan-persoalan riil masyarakat menjadi cepat tertangani, sebagaimana layanan bisnis online pada umumnya terhadap para konsumen. Negatifnya kemudian, dalam konteks layanan jasa transportasi online sebagaimana yang tampil dalam bentuk aplikasi ponsel pintar, GO-JEK, Grab Bike/Car, Uber Taxi telah memunculkan polemik dan aksi massa. Perbedaan pendapat apakah bisnis transportasi online tersebut melanggar UU Perhubungan Darat atau tidak; apakah bisnis transportasi online itu bisnis aplikasi ataukah jasa rental; berikut persaingan antara bisnis jasa transportasi konvensional versus jasa transportasi online, semuanya mengharubiru dalam aksi massa di bulan November 2015 dan Februari 2016. Tetapi segala macam protes dan polemik yang muncul terkait penyelenggaraan bisnis jasa transportasi online tersebut pada akhirnya juga tidak mampu menahan tekanan publik, yang makin lama makin terbiasa dengan teknologi aplikasi.

Problematiknya sekarang dengan segala perkembangan teknologi yang tersedia, apakah partai politik bisa beradaptasi? Jika dunia ekonomi dan birokrasi sudah mampu menyerap teknologi sebagai bagian dari kinerjanya, bagaimana dengan dunia politik dalam hal ini partai politik? 

Tugas partai politik bagaimana pun bukan sekedar sebagai sarana penyambung lidah rakyat, dan atau sebagai mediator (wakil rakyat) dari setiap penyusunan kebijakan-kebijakan untuk kepentingan rakyat. Partai politik juga memiliki kewajiban untuk mengajarkan etik dari pencarian/pengupayaan kebenaran yang berpihak kepada rakyat. Partai politik dan atau wakil rakyat tidak mungkin mengupayakan kebenaran jika dirinya tidak memiliki etik untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Pun etik juga tidak berarti sesuatu yang abstrak, karena aturan-aturan maupun norma-norma hukum sebagai turunannya, sudah bisa membimbing partai politik dan atau wakil rakyat untuk memperjuangkan kebenaran. Persoalannya hal etik berpolitik tersebut selalu dilanggar, dan dilanggar sebagaimana kasus-kasus di awal tulisan ini. 

Sudah waktunya partai politik memikirkan lebih jauh bagaimana membuat sebuah sistem dan teknologi yang akan membantu kerja kerja mereka di lapangan. Mulai dari teknologi pengambilan data sampai dengan teknologi yang dapat membantu pengambilan keputusan yang berpihak kepada rakyat. Jikalau ini diabaikan, maka fungsi partai politik secara umum tidak akan berbeda jauh dengan grup-grup whatsapp, dan fungsi kerja lapangannya akan bisa dengan cepat digantikan oleh aplikasi-aplikasi android. Ketika itu terjadi, maka de-parpolisasi adalah sesuatu yang tak terhindarkan, dan demokrasi pun pada akhirnya cukup dengan menekan satu tombol di ponsel pintar.   

*. Penulis adalah Redaktur Portal Prisma

Politik sebagai Jalan Generasi
Kolom Opini

Politik sebagai Jalan Generasi

Opini Koran Solidaritas, Edisi IX – April 2016

Oleh: Rocky Gerung 

Partai adalah pembuluh darah demokrasi. Ia mengalirkan nutrisi ke dalam tubuh politik. Karena itu, bila ia tersumbat, maka tubuh politik jatuh sakit. 

Memang, politik tak terbagi habis dalam partai. Karena itu ada “calon independen”, ada “golput”. Tetapi itu hanya memperlihatkan ketakcukupan sistem politik dalam mewadahi aspirasi rakyat melalui partai. Bukan membatalkan perlunya partai sebagai  peralatan demokrasi.

Namun secara hakiki, demokrasi tetap lebih primer ketimbang partai. Artinya, demokrasi tak boleh berakhir seandainya pun seluruh partai tak berfungsi. Demokrasi adalah “inner beauty” politik, sedangkan partai adalah kosmetik.

Kita kini ada dalam suasana “anti partai”. Yaitu ketakpercayaan publik terhadap partai. Orang melihat partai sebagai rampok, calo, bromocorah. Tentu karena ada yang tak bersih dalam praktik partai, yaitu korupsi, arogansi, inkonsistensi, dan seterusnya.

Tetapi sebetulnya, sinisme itu bukan tertuju pada partai sebagai institusi, melainkan pada sifat oligarki di dalam partai, maupun antar partai. Pada sifat itulah partai menelantarkan demokrasi. Tentu feodalisme dan politik dinasti juga tak disukai publik, kendati merupakan praktik kepartaian nyata di sini.

Feodalisme menutup kritisisme dalam partai karena pemimpin partai dipilih untuk dipuja, bukan dipilih karena ia visioner. Dalam partai yang dinastik, ketua partai adalah sekaligus pemilik partai. Sirkulasi politik dan kaderisasi dijalankan untuk mempersiapkan anggota dinasti. Praktek feodalisme dan dinastik itu membuat politik tak tiba di rakyat. Politik menjadi sangat eksklusif, dan rakyat sekedar dihitung sebagai pengikut.

Tetapi praktik kepartaian  yang paling menjengkelkan adalah ketika suara rakyat dijadikan sekedar alat tukar tambah antar elite partai, untuk kepentingan materil jangka pendek. Itulah praktik oligarkis. Demokrasi menjamin partisipasi melalui partai. Tetapi partai hanya peduli pada transaksi oligarkis.

Akibatnya, tak terjadi sirkulasi elite. Kaderisasi tak ada gunanya bila potensi menjadi kader sudah dibatasi oleh “kurikulum oligarki”. Kecuali bagi para oportunis, ideologi partai tak ada artinya karena politik dijalankan sepenuh-penuhnya hanya untuk kepentingan transaksi. Pendalaman dan perspektif ideologi tak diperlukan.

Politik memerlukan kritik untuk menjaga netralitas ruang publik. Yaitu untuk menjamin agar demokrasi tak dimonopoli oleh satu golongan. Tetapi ideal ini tak mungkin terjadi bila ada oligarki. Oposisi tak bekerja pada situasi oligarki. Suara publik tidak diagregasikan sebagai kepentingan, tetapi dimanfaatkan oleh klik oligarki untuk transaksi pragmatik antar partai. Inilah yang Anda saksikan sebagai kedangkalan politik: dua partai yang berselisih secara ideologi dapat bersekutu untuk kepentingan tukar-tambah politik di daerah.

Tentu ada inkonsistensi ideologis dalam praktik tukar-tambah semacam itu. Dengan kata lain, kepentingan pragmatis materil telah membatalkan identitas ideologi partai. Kalau demikian, untuk apa sebuah partai bersikeras menganut ideologi pada saat kompetisi elektoral?  Distingsi ideologi  ia tawarkan di forum kampanye, tetapi oportunisme yang ia sajikan setelah berkuasa.

Oligarki menyebabkan hasil pemilu berjarak dengan kebijakan pasca pemilu. Artinya, suara rakyat pada saat pemilu, diterjemahkan hanya demi kepentingan strategis elite oligarki setelah pemilu. Jadi, keinginan rakyat tak tersambung dengan kebijakan partai. Itulah penghinaan terhadap rakyat.

Maka disitulah politik memburuk: saat pemilu, sang politisi mengemis suara rakyat. Saat berkuasa, ia tukar- tambahkan suara itu tanpa ijin rakyat. Sebelum pemilu ia adalah pengemis, setelah terpilih ia jadi calo.

Apa yang salah dalam kaderisasi politik kita? Pada pengertian yang paling dasar, kita telah salah menerjemahkan “political animal” sebagai “binatang politik”. Kita tak paham bahwa politik adalah ide tentang keadilan. Politisi tugasnya maha agung karena ia harus mendistribusikan keadillan. Jadi “political animal” itu bukan “binatang politik”, melainkan “binatang yang berpolitik”. 

Artinya, manusia berada satu tingkat di atas binatang, karena ia menjalankan hal yang tak dapat dilakukan binatang, yaitu mendistribusikan keadilan. Jadi, berpolitik mengandaikan dua kualitas: diri yang merdeka, dan diri yang adil. Hanya pada nilai-nilai itu sebuah generasi dapat tiba di masa depan. 

Karena itu, politik hari ini  memerlukan kepemimpinan intelektual. Yaitu kapasitas untuk membaca masa depan dan mengkonsepsikannya sebagai jalan generasi.**

Partai Politik dan Kita (Yang Tidak Percaya Diri)
Kolom Opini

Partai Politik dan Kita (Yang Tidak Percaya Diri)

Kolom Kebudayaan Koran Solidaritas, Edisi IX – April 2016

Oleh: E.S. Ito

Partai politik adalah sebuah keniscayaan dalam demokrasi. Pada hakikatnya partai politik adalah sarana untuk menampung aspirasi dalam satu kerangka kepentingan dan visi yang sama. Sebagai salah satu perangkat utama demokrasi maka partai politik memiliki andil penting dalam menjamin keberlangsungan demokrasi.

Akan tetapi peran vital itu tidak serta merta membuat partai politik lantas bebas dari kesalahan apalagi sampai dikultuskan. Sebab partai politik menghimpun manusia yang kemudian mengerucut dari elit partai yang seringkali kepentingan pribadinya mengalahkan aspirasi yang tumbuh di tengah-tengah partai politik itu sendiri. Maka umur partai politik bisa seumur jagung atau berhitung abad tergantung pada individu-individu yang menakhodainya serta dinamika yang tumbuh di antaranya.

Banyaknya permasalahan yang muncul karena perilaku elit partai selama beberapa tahun belakangan mulai membuat banyak pihak jengah dengan partai politik. Suara-suara mulai bermunculan mempertanyakan urgensi partai politik di Indonesia. Apalagi di era digital ini masyarakat memiliki beragam corong untuk menyuarakan sikapnya mulai dari sosial media hingga petisi online.

Aspirasi lewat partai mulai dipertanyakan efektitasnya dalam perumusan kebijakan. Masyarakat cenderung mulai menghimpun sendiri dalam gerakan-gerakan yang berubah jadi gelombang viral di dunia maya. Masyarakat muak dengan perilaku elit yang seringkali menjadikan suara mereka sebagai alat tukar transaksi pribadi. Di beberapa daerah calon independen membuktikan mampu mengalahkan calon-calon yang didukung partai politik dalam pemilihan kepala daerah. Mesin partai politik mulai aus karena sibuk berputar dalam konflik internal. Lantas muncul pertanyaan, akankah lebih baik bila partai politik dibubarkan saja?

Sejenak gagasan itu terlihat menarik dan seketika partai politik terlihat seperti makhluk asing di tengah demokrasi pancasila ini. Padahal apabila ditengok ke belakang, keberadaan partai politik dalam bentuk gerakan kemerdekaan telah muncul jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Mulai dari Indische Partij hingga Partai Nasional Indonesia dengan tokohnya Sukarno. Itu artinya kesadaran untuk menghimpunkan gagasan dan aspirasi dalam satu wadah gerakan telah muncul lebih dari seratus tahun yang lalu di bumi pertiwi ini.

Partai politik bukanlah entitas asing dalam sejarah kebangsaan Indonesia. Dalam berbagai bentuk dan ideologi partai politik memiliki saham dalam pasang surut demokrasi di Indonesia. Bila sekarang banyak pihak ingin merayakan deparpolasasi mungkin pada prinsipnya mereka tidak percaya diri untuk melakukan perubahan baik di dalam partai politik maupun melakukan perubahan lewat partai politik.

Kita tentu saja butuh partai politik untuk menjamin berlangsungnya demokrasi. Tetapi lebih dari itu, partai politik juga butuh pikiran-pikiran segar yang tidak hanya bisa menggugat tetapi berani melakukan perubahan. Dengan demikian, kita masih berani berharap akan muncul politisi-politisi baru yang tidak sekedar memenangkan kursi dalam kontestasi politik tetapi juga berhasil memenangkan hati rakyat lewat program dan kerja nyatanya.

DEPARPOLISASI (Diselingkuhi Parpol Sakitnya Tuh di Sini)
Kolom Opini

DEPARPOLISASI (Diselingkuhi Parpol Sakitnya Tuh di Sini)

Satir Koran Solidaritas, Edisi IX – April 2016

Oleh: Geger Riyanto

Sewaktu Ibu Megawati, sang mantan, menyampaikan deparpolisasi membahayakan dan harus dilawan, apakah rakyat tergugah dan mengangkat panji-panji perlawanan bersamanya? Atau apakah rakyat, seturut kata para pengamat dan pakar, kecewa berat karena pernyataan tersebut menengarai parpol terpojok dan tak punya strategi mempertahankan dukungan selain dengan manuver kekuasaan?

Sayangnya, pertama, rakyat bukanlah sebatas kader partai Ibu Megawati. Kedua, rakyat pun bukan sebatas 0,01 persen penduduk Indonesia—kawula terdidik yang bukan hanya cukup beruntung dapat mengenyam pendidikan namun juga cukup berselera mengunyah perkembangan politik terkini yang selalu runyam dan tak selalu bermanfaat.

Saya menerka yang terjadi di kebanyakan warung kopi Pantura, misalnya, kurang-lebih adalah keseharian semacam ini.

“Ibu Mega bilang sekarang lagi jamannya deparpolisasi,” ujar Udin. “Kamu tahu deparpolisasi itu apa?”

“Depar… Apaan tuh? Lagu dangdut baru ya?” Mamad bertanya balik.

“Iya kali ya.”

Keduanya lalu pasrah. Lantas, lanjut menyeruput kopi. Obrolan tentang Liga Champions terasa jauh lebih menarik dibandingkan satu istilah yang tak jelas juntrungannya.

Dan, memang, pada kenyataannya, media sendiri tak yakin kalau yang memahami istilah ini lebih dari beberapa gelintir pembacanya. Baru-baru ini saya mencoba menelisik deparpolisasi di mesin pencari Google dan, alih-alih mendapati pemberitaan, yang muncul pertama-tama adalah artikel media mentereng yang menerangkan “apa itu deparpolisasi.”

Ketika saya mengetik “deparpolisasi,” Google pun mau mengarahkan saya ke pencarian “deparpolisasi artinya” dan “makna deparpolisasi.” Yang, artinya, profil kebanyakan pencari di Google dalam bahasa Indonesia nampaknya seperti Udin dan Mamad. Mereka ingin mengetahui apakah deparpolisasi merupakan tembang dangdut yang sedang naik daun, dan memastikan diri mereka tak ketinggalan tren.

Nah, seandainya saya diminta membantu memahamkan Udin dan Mamad makhluk apakah sebenarnya deparpolisasi, saya agaknya tidak akan memulai dengan menampik dugaan awam mereka.
“Ya, benar!” jawab saya dengan percaya diri selayaknya motivator handal. “Deparpolisasi itu lagu dangdut terbaru!”

Kita tahu, lagu dangdut gemar menggunakan singkatan-singkatan menawan sebagai judulnya. Jagung Bakar, misalnya, yang merupakan singkatan janda tanggung baru mekar atau meriang—merindukan kasih sayang. Saya akan menjelaskan, deparpolisasi itu semacam lagu-lagu tersebut. Singkatannya yakni “diselingkuhi partai politik sakitnya tuh di sini.”
Mari kita ulang. “Deparpolisasi. Diselingkuhi partai politik sakitnya tuh di sini.”

Dalam ilmu persingkatan yang baik dan benar, tentu saja saya keliru. Tetapi untuk kepentingan mengajar Udin dan Mamad, saya cukup yakin, keputusan saya tak sepenuhnya keliru. Deparpolisasi terjadi ketika para bakal pemilih berduyun-duyun menyingkir dari partai politik ke calon perseorangan karena situasi yang sama dengan yang dialami oleh para gadis Pantura yang kemasygulan hatinya terwakili lirik menyayat Cita Citata. Mereka diselingkuhi.

Tugas saya menggambarkan fenomena ini ke Udin dan Mamad pun selanjutnya tak terlalu sulit lagi. Bedanya, saya akan bilang, yang ini buayanya bukan lelaki tetapi partai politik. Lelaki juga sih—segerombolan lelaki tepatnya.

Bagaimana bentuk diselingkuhinya? Mudah saja menunjuknya. Sewaktu pemilu atau, sebut saja PDKT, pemilih adalah segalanya. Rayuan-rayuan paling gombal terlantun. Janji-janji paling manis terucap. Tetapi sesudah terpilih, bulan madu pun bahkan tak sempat dirayakan. Mereka tak henti-hentinya diberitakan menikmati kekayaan, kemewahan, privilese dari kebijakan atau kesepakatan yang mengecer murah aspirasi konstituennya.

Para pengrajin kata yang pandai menyebutnya di koran-koran sebagai pengkhianatan demokrasi. Namun, Udin dan Mamad pastinya lebih mudah memahaminya dari ref lagu favorit yang penetrasinya sepuluh kali lebih hebat dari koran paling besar sekalipun. “Sakitnya tuh di sini, di dalam hatiku. Sakitnya tuh di sini, melihat kau selingkuh.”

Pada saat yang demikian, dari antah berantah datanglah calon kekasih baru yang pemarah, bermulut serampangan, berpotensi suka menyakiti pasangan, namun memegang satu kualitas yang selama ini gagal dimiliki semua kekasih sebelumnya: setia. Dan kian menambah nilai lebihnya, ia datang tanpa gorengan-gorengan gombal parpol. Parpol ditinggal kendati menunjuk lelaki baru ini tidak santun? Tentu. Parpol menjadi posesif dan menggunakan ancaman-ancaman agar kekasih tak meninggalkannya? Inilah yang nampaknya terjadi.

Pada titik ini, Udin dan Mamad seharusnya sudah mafhum dengan deparpolisasi, mengutuk kekurangajaran parpol dan, semoga, menjauhkan diri seandainya niat berselingkuh terbersit.
Kuliah kecil ini berakhir? Belum.

Sejujurnya, saya tak yakin dinamika dan intrik yang sebenarnya bergulir sesederhana itu. Calon kekasih yang datang seorang diri tak pernah ada yang menjamin bebas dari syahwat menyelingkuhi konstituen. Malah, bisa jadi citra buruk sang mantan yakni mereka yang diusung parpol membutakan pemilih dari kritisisme yang diperlukannya. Sayangnya, drama parpol vs perseorangan, rezim vs rakyat, kotor vs bersih, selingkuh vs setia inilah yang jauh lebih mudah dan lebih sering menghinggapi benak kebanyakan insan.

Namun, untuk poin terakhir saya ini, tak ada cara untuk menyampaikannya dengan sederhana. Udin dan Mamad, mungkin, yang paling penting harus ingat. Tak ada jalan pintas untuk keluar dari kisah masa silam yang kelam.

Deparpolisasi tak menjawab semua kegalauan.

 

*.Penulisa adalah Esais dan peneliti. Bergiat di Koperasi Riset Purusha

DEPARPOLISASI; Nyali  Ahok  dan  Kutukan   Bandung  Bondowoso
Kolom Opini

DEPARPOLISASI; Nyali Ahok dan Kutukan Bandung Bondowoso

Editorial Koran Solidaritas, Edisi IX – April 2016

Tidak menunggu lama, sejak Ahok mendeklarasikan dirinya akan maju melalui mekanisme independen, hantaman datang terus menerus. Tampaknya partai politik merasa ditampar keras, kini Ahok benar-benar tanpa pembelaan. Belum tuntas urusan mengumpulkan ulang formulir dukungan sebagai syarat utama majunya Ahok sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta, badai teluk Jakarta datang menghantam, begitu juga pembelian tanah Rumah Sakit Sumber Waras yang dipersoalkan BPK menjadi epicentrum goncangan terhadap Ahok. 

Seakan tidak cukup melihat ratusan anak muda hilir mudik masuk ke lorong-lorong RT Kota Jakarta demi mengumpulkan ulang KTP, Komisi Pemilihan Umum (KPU) melontarkan persyaratan baru bagi Ahok, seluruh formulir harus ditandatangani diatas materai. Pada titik ini kita teringat sepotong cerita rakyat tentang Roro Jongrang dan Bandung Bondowoso. Dalam cerita itu Roro Jonggrang mengajukan syarat kepada Bandung Bondowoso yang berniat menikahinya. Syarat yang mustahil diwujudkan dalam waktu semalam, mendirikan 1.000 candi. Benar saja, keesokan harinya (berkat cara curang yang juga dilakukan Jonggrang) hanya 999 candi yang bisa dirampungkan Bondowoso. Merasa dicurangi, Bondowoso mengutuk Roro Jonggrang menjadi candi yang keseribu, lalu Roro Jonggrang menjadi arca yang kini dikenal sebagai candi Prambanan.

Inti cerita ini, terjadi pada Ahok, tidak satupun yang bisa menghalangi kehendek dan kedaulatan rakyat. Jika rakyat menginginkan Ahok maka tidak ada jalan untuk menghalanginya. Cara curang bisa dilakukan, tapi itu hanya semakin membuat rakyat murka, lalu langit menjatuhkan hukuman kepadanya. Baik Jokowi maupun Ahok adalah daulat rakyat. Telah diperlihatkan tanda-tanda bagi orang yang berpikir, setidaknya itulah ayat yang sering diulang-ulang dalam kitab suci Umat Islam. 

Partai-partai politik sepertinya sulit menerima kenyataan bahwa jaman sedang berubah. Sama dengan ketidakpahaman pengusaha taksi yang mengerahkan sopir dan armada mereka untuk melakukan pemogokan massal menentang operasi taksi (yang menurut mereka gelap) berbasis aplikasi digital. Tidak ada kesadaran reflektif sedikitpun dari para pengusaha taksi lama yang sudah puluhan tahun diuntungkan dari hasil memerah keringat sopir dan ketidaknyamanan konsumen. Tiba-tiba hadir Grab, Uber, dll yang sangat memanjakan konsumen dengan berbagai fasilitas, juga memberikan keuntungan yang lebih besar kepada sang sopir. Apa yang terjadi? Intinya sederhana, setiap orang punya akses langsung kepada sopir dan armada taksi yang akan menjemput anda, disisi lain pemilik aplikasi tidak mengambil marjin keuntungan sebesar yang ditumpuk oleh pengusaha taksi konvensional. Era kedaulatan konsumen/rakyat bersamaan dengan era kesejahteraan dan kemandirian kaum buruh.

Selama berpuluh tahun partai politik menikmati banyak sekali fasilitas sebagai pilar penting demokrasi. Mereka bahkan telah membentengi diri mereka dengan berbagai regulasi dengan celah yang sangat sempit jika seseorang coba-coba meminggirkan peran penting parpol, calon independen misalnya. Bukannya belajar mengapa Parpol dan DPR setiap tahun menjadi lembaga dengan kinerja terburuk sejak tapak pertama demokrasi ditemukan pada Mei 1998 silam, parpol malah menuduh balik Ahok telah melakukan deparpolisasi.  

Ahok memang tidak takut, baginya perlawanannya kepada korupsi dan keberpihakannya kepada warga yang dipimpinnya jauh lebih penting daripada memaksakan diri mencari uang untuk menebus tiket menjadi Cagub lalu disetor ke Parpol. Ahok rupanya telah siap, pun jika dirinya tidak lagi bisa menjadi Calon Gubernur, dia akan dikenang sebagai martir demokrasi tahap lanjut. Martir yang sangat ditakuti oleh partai politik, karena jika Ahok berhasil melaju sebagai Cagub independen, bisa dipastikan (dari berbagai survey dan polling) Ahok akan memenangkan Pilkada DKI hanya dengan satu putaran.

Tidak ada pilihan lain, Ahok harus dihentikan, dengan cara apapun dan berapapun harga yang harus dibayar demi langgengnya kehidupan surgawi partai politik yang dibentengi perangkat peraturan yang membuat mereka semakin tidak tersentuh. Partai politik semakin menjauh dari mandatnya sebagai penyambung lidah rakyat, Parpol bagaikan raksasa besar yang limbung karena menghirup racun dari tubuhnya sendiri. Ahok adalah pilihan rakyat Jakarta, sudah seharusnya partai politik mendukung pilihan rakyat DKI, bukan malah membunuh harapan jutaan warga DKI yang masih menginginkan Ahok memimpin DKI. 

Parpol harus belajar dari direksi perusahaan taksi konvensional, yang keki dan malu bukan main, ketika ternyata aksi mereka malah disambut hashtag #BoikotBlueBird di media sosial. Tidak ada yang bisa membendung arus dan kehendak sejarah. Atau mungkin partai politik ingin berakhir sama dengan nasib Roro Jonggrang, menjadi arca candi yang kelak akan dikenang karena kecurangannya terhadap Bandung Bondowoso, curang pada Ahok.

Nyali Gede Feminis Laki-laki
Inspirasi Kolom

Nyali Gede Feminis Laki-laki

Rubrik Solidaritas Kita, Koran Solidaritas Edisi VIII, Februari 2016

Bukan hanya soal pemantau Pemilu, soal Feminisme kita juga banyak terinspirasi oleh Manila. Sedikit berbeda, meski tetap di Filipina, Cebu telah menjadi pemantik awal api Feminisme dari dalam tubuh laki-laki bernama Ivan A. Hadar (Alm.).Tahun 2001 Ivan Hadar bersama, Nur Iman Subono, Gadis Arivia dkk menulis buku berjudul “Feminis Laki-laki: Solusi atau Persoalan?” Buku itu cukup banyak mengusik pembaca. Banyak nama Feminis laki-laki disana: Rocky Gerung, Donny Gahral Adian, Veven SP Wardhana, Kris Budiman dan Romo Haryatmoko. Ivan Hadar (Alm) tampil membacakan DEKLARASI CANTIK (Deklarasi Cowok-cowok Anti Kekerasan). Beberapa kali kesempatan semasa hidupnya Ivan Hadar menyatakan “Cowo yang bernyali itu bukan yang jago brantem sesama cowo apalagi cuma cowo yang suka nge-gampar cewe. Cowo yang paling bernyali adalah mereka yang berani mengatakan “Aku Feminis Laki-laki”.

Nur Imam Subono (Jurnal Perempuan)

Siapa aktivis perempuan atau kalangan peduli hak-hak perempuan yang tidak pernah membaca Jurnal Perempuan (JP)? Bersama para srikandi feminisme, Nur Iman Subono atau akrab dipanggil Boni menggawangi dewan redaksi jurnal yang terbit pertama kali tahun 1995 itu. Dalam JP edisi 2001, Boni mengangkat tema feminis laki-laki, bahwa perlu dialog dan diskusi antara laki-laki dan perempuan dalam perjuangan bersama melawan budaya patriarki. Pada 2009, dosen di Program Kajian Gender Pascasarjana UI itu bersama sejumlah pegiat lainnya mendirikan wadah Aliansi Laki-laki Baru, untuk mengajak laki-laki respek terhadap perempuan. Menurut Boni, kekerasan terhadap perempuan memang lebih sering dilakukan laki-laki, didukung oleh anggapan bahwa posisi laki-laki lebih tinggi, perempuan adalah gender kedua. Setelah mengalami penindasan di tempat kerja, laki-laki kemudian melampiaskan kepada isteri dan anak-anaknya, untuk menutupi kelemahan dirinya. Patriarki tidak hanya menindas perempuan, tetapi juga menekan laki-laki, menciptakan stereotype. Data dari Pusat Pengendalian Penyakit Amerika (US CDC), rasio bunuh diri laki-laki dengan perempuan pada 2010 adalah empat berbanding satu. Saat krisis moneter 1998, angka bunuh diri laki-laki di Indonesia lebih tinggi daripada perempuan. Tekanan sosial dan pandangan umum bahwa laki-laki tidak memerlukan dukungan mental mendorong tindakan bunuh diri sebagai upaya lari dari tanggung jawab. Karena itu Boni mengajak laki-laki menjadi mitra untuk melawan kekerasan terhadap perempuan, dengan mengedepankan nilai-nilai alternatif terhadap maskulinitas (Flood 1988), yaitu male-positive (respek), pro-feminis, dan marginalized-affirmative (tanpa prasangka). Boni menulis sejumlah buku, seperti Catatan Perjalanan Suara Ibu Peduli (1999), Negara dan Kekerasan terhadap Perempuan (2000) dan Perempuan dan Partisipasi Politik, Panduan untuk Jurnalis (2003). 

Wahyu Susilo (Migran Care)

Adik penyair Wiji Tukul ini berada di garis depan dalam membela hak-hak buruh migran Indonesia (BMI) bersama lembaga yang dibidaninya, Migrant Care. Penulis buku Hidup dengan Kekerasan, Catatan Buruh Migran Perempuan NTB (2009) ini gencar melobi pemerintah untuk menyelamatkan BMI yang terancam hukuman mati di negeri orang. Wahyu Susilo juga menyoroti rekrutmen oleh agen-agen PJTKI yang sering melibatkan praktik-praktik trafficking. Saat ini kita telah memiliki UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang tahun 2007 yang turut berkontribusi menaikkan posisi Indonesia dari kategori tier-3 atau paling buruk menuju tier-2. Terkait gelombang pengungsi Rohingya, pemerintah bersikap tepat untuk menerima, begitu pula Malaysia yang naik peringkatnya menjadi tier-2 watch list, sementara Thailand yang menolak posisinya tidak beranjak dari tier-3. Selain trafficking, risiko nyawa juga mengancam BMI, seperti kejadian kapal tenggelam pada Januari 2016 di perairan Malaysia, sepuluh korban adalah perempuan. Menurut Wahyu kejadian itu bukan kali pertama, terkait buruknya birokrasi yang mendorong banyak buruh migran tanpa dokumen. Besarnya jumlah perempuan yang menjadi buruh migran tidak saja mencerminkan proses feminisasi kemiskinan, tetapi juga memposisikan mereka rentan masuk dalam jaringan sindikat narkoba. Kasus Mary Jane Veloso dari Filipina, dan terakhir Rita Krisdianti BMI asal Ponorogo yang terancam hukuman mati di Malaysia karena membawa empat kilogram sabu dalam tasnya. Terkait mobilitas buruh migran dalam kerangka Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), Wahyu mendorong perlunya perlindungan mengingat Indonesia bersama Filipina dan Vietnam penyumbang remitansi terbesar. Tetapi Wahyu berkali-kali mengingatkan, pemerintah supaya menanggalkan paradigma komodifikasi tenaga kerja, bahwa BMI adalah sumber penghasil devisa dan upahnya rendah.

Surya Chandra Surapaty (Kepala BKKBN)

Politisi PDI Perjuangan ini aktif dalam berbagai forum terkait isu kependudukan dan pembangunan, di antaranya Badan Kependudukan PBB (UNFPA), Ikatan Peminat dan Ahli Demografi Indonesia (IPADI), dan Ikatan Ahli Kemasyarakatan Indonesia (IAKMI). Saat menjadi anggota DPR, Surya memimpin Pansus sejumlah perundangan seperti RUU Anti-KDRT dan RUU Perlindungan Anak. Menurut Surya, perjuangan untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan tidak selesai dengan lahirnya UU Anti-KDRT. Kekerasan di lingkungan keluarga tidak saja memunculkan biaya pengobatan dan turunnya produktivitas perempuan, tetapi juga membuat anak-anak tidak berkembang menjadi manusia dewasa yang utuh. Terkait kenakalan remaja, Surya menekankan perlunya revolusi mental bagi keluarga Indonesia, mengingat keluarga adalah wahana pertama dan utama bagi penyemaian karakter bangsa. Keluarga dituntut melindungi anak dari budaya kekerasan, sehingga dapat memutus spiral kekerasan di tengah masyarakat. Saat desakan untuk menaikkan batas minimal usia perkawinan dari saat ini 16 tahun, Surya melihat dari sisi kesehatan terkait risiko kematian dan kanker leher rahim bagi remaja perempuan yang menikah terlalu dini. Dalam upaya menekan penyebaran HIV/AIDS, Surya membela program Pekan Kondom Nasional yang digelar Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN), bahwa sasarannya adalah pria yang berisiko agar tidak menularkan virus kepada isterinya. Pada pelantikannya sebagai Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Menteri Kesehatan berpesan bahwa BKKBN harus bisa memberikan edukasi yang komprehensif tentang kesehatan reproduksi kepada generasi muda atau remaja. Pernyataan tersebut diamini Surya, di mana kurangnya edukasi membuat banyak terjadi kehamilan yang tidak diharapkan. Membangun kampung-kampung KB di pelosok daerah, Surya mendorong Kampanye Orangtua Hebat pada seribu hari pertama kehidupan. 

KH. Hussein Muhammad (Fahmina Institute)

Pengasuh Pondok Pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun Cirebon ini bisa disebut sebagai satu-satunya kyai feminis di Indonesia saat ini. Alumni Al-Azhar Kairo tahun 1983 ini mulai bersentuhan dengan gagasan tentang kesetaraan gender saat mendiang Gus Dur melancarkan inisiatif untuk menjadikan pesantren sebagai agen perubahan sosial. KH Husein Muhammad pun mulai menulis buku-buku kajian agama bertema perempuan, antara lain Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender (2001), Islam Agama Ramah Perempuan (2005), Ijtihad Kyai Husein, Upaya Membangun Keadilan Gender (2011), Fiqh Seksualitas (2011), Fiqh HIV/AIDS (2010) dan Fiqh Anti-Trafficiking (2009). Husein juga mendirikan LSM-LSM perempuan, yaitu Rahima, Puan Amal Hayati, Fahmina Institute dan Alimat, bahkan pernah menjadi komisioner Komnas Perempuan. Sejumlah penghargaan diterima Husein, di antaranya “Hero Acting to End Modern-Day Slavery” dari pemerintah Amerika Serikat, dan namanya masuk dalam 500 tokoh muslim berpengaruh dunia versi Royal Islamic Strategic Studies Center (RISSC), Amman Yordania. Tidak semua orang terbuka terhadap gagasan Husein, kalangan garis keras dan tradisional menentang, bahkan kantor Fahmina pernah digeruduk massa saat hangat pro-kontra RUU Pornografi. Husein menanggapi dengan mengajak membuka kembali kitab-kitab klasik, di mana perdebatan seputar aurat perempuan sudah ada sejak abad ke-9. Husein mengkritik perda-perda syariah yang menyasar cara berpakaian perempuan, dengan dalih melindungi perempuan. Husein mencemaskan menguatnya konservatisme dan radikalisme, serta tidak berdayanya pemerintah menjaga toleransi dan konstitusi. Di sisi lain, Husein juga melihat munculnya para intelektual muda muslim dan upaya dialog antar-agama dan keyakinan. Husein kemudian mendirikan kampus sendiri, Institute Studi Islam Fahmina (ISIF).  

A Tribute to Ivan A. Hadar
1950-2015

Feminis laki-laki, begitulah dia sering menyebut dirinya. Lahir di Ternate, 27 Agustus 1950 Ivan Hadar tidak asing dalam peta gerakan sosial di Indonesia. Tahun 1990an, setelah mengikuti pelatihan Gender and Gentleman di Cebu, Filipina. Ivan Hadar bersama Wahyu Susilo, Rocky Gerung, Veven SP Wardhana, Kris Budiman, Donny Gahral, Romo Haryatmoko, menulis sebuah buku—dengan kata pengantar Gadis Arivia—dengan judul provokatif, Feminis Laki-laki: Solusi atau Masalah? Dalam lokakarya “Keterlibatan Laki-laki dalam Menghentikan Kekerasan terhadap Perempuan”, bersama Kevin Evans, Ivan menjadi pembicara. Puncaknya, dalam seminar besar dengan tema yang sama, dengan dua pembicara utama (keynote speaker), Prof Fuad Hasan dan Prof Emil Salim, Ivan membacakan Deklarasi Cantik (Cowok-cowok Anti Kekerasan). Acara tersebut terbilang sukses dan diliput oleh pelbagai media sebagai salah satu bentuk kampanye. Sumbangannya dalam gerakan sosial di Indonesia tidak kecil. Musik adalah hal yang dipelajarinya secara otodidak.

Sabtu malam, 13 Juni 2015, sekitar pukul 00.00 waktu Berlin, Jerman, akibat serangan jantung. Berlin adalah kota yang sangat dia kenal dalam hampir separuh perjalanan hidupnya. Ivan meraih gelar doktor bidang antropologi dari Technische Universitaet Berlin pada 1992 dengan predikat summa cum laude dan dengan disertasi “Reception of Occidental Values through Traditional Education in Indonesia” mengenai dunia dan kehidupan pesantren di Indonesia.  

Perempuan dalam Kotak Afirmasi
Diskursus Kolom

Perempuan dalam Kotak Afirmasi

Mendobrak Tabu Politik Gender

Diskursus Koran Solidaritas, Edisi VIII Februari 2016

Persoalan Serius Perempuan Indonesia

Alih-alih memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan di parlemen, angka perolehan kursi kaum perempuan malah menurun. Peningkatan keikutsertaan perempuan dalam Pemilu dari angka 33,6 % pada tahun 2009 menjadi 37% pada tahun 2014, berbanding terbalik dengan perolehan kursi yang pada tahun 2009 sebanyak 18,2% menjadi 17,3% pada Pemilu 2014. Tuduhan serius jelas berbalik pada kaum perempuan, sudah diberi kesempatan tapi tidak digunakan sebaik-baiknya. Celakanya tidak sedikit kegagalan itu membuat perempuan berselisih paham diantara mereka. Sebagian menerima ini adalah kegagalan dalam mengisi ruang yang sudah disediakan oleh Konstitusi, ada yang menyalahkan soal kapasitas, ada juga yang tetap berkeras ini hanya soal waktu saja. Hanya sedikit yang menyediakan diri untuk secara mendalam  melacak mengapa itu sampai terjadi.

Mari mulai dengan syarat minimal 30% jumlah perempuan dalam kepengurusan Partai Politik. Dalam berbagai survey, jarang sekali tulisan apalagi gerakan yang benar-benar melacak apakah proses verifikasi Kementerian Hukum dan HAM untuk Parpol baru dan verifikasi yang dilakukan oleh KPU terhadap semua calon Parpol peserta Pemilu benar-benar memastikan bahwa 30% perempuan di semua jenjang kepengurusan sesuai dengan fakta lapangan. Tentu secara administrasi terpenuhi, mungkin saja. Namun Politisi yang kita maksud disini bukanlah mereka yang dicomot KTP dan tandatangannya menjelang verifikasi KPU, tapi perempuan yang tau betul alasan mengapa dirinya berada dalam kepengurusan Parpol bersangkutan. Harus ada pertanyaan kualitatif tambahan selain “apakah benar ibu memiliki Kartu Tanda Anggota Partai?” atau “apakah sudah sesuai nama yang ada di KTP dan KTA anda dengan nama yang tercantum dalam Surat Keputusan Kepengurusan Parpol?” Lalu semua urusan 30% keterwakilan perempuan di Partai Politik berhenti sampai disitu.

Rezim Laki-laki dalam Administrasi Partai Politik dan PEMILU

Lalu masa tenggat dari KPU tiba, Partai Politik yang sudah diumumkan bisa bertarung di Pemilu diberikan batas waktu untuk memasukkan nama-nama Calon Legislator di semua tingkatan, mulai Pusat hingga Kabupaten/Kota. Ada dua hal yang harus kita pahami bersama, pertama meloloskan sebuah Parpol menjadi peserta Pemilu adalah soal administrasi, sementara memenangkan pertarungan Pemilu adalah persoalan tingkat keterpilihan Caleg disetiap daerah pemilihan. Jadi tidak ada korelasi langsung antara keterlibatan perempuan di kepengurusan Parpol dengan nama-nama Caleg yang akan maju sebagai kontestan dalam Pemilu. Nama yang tercantum dalam kepengurusan tidak otomatis akan dicalonkan oleh Parpol pada saat Pemilu. Banyak perempuan yang selama ini diakomodir sebagai pengurus tapi tidak memiliki kesempatan untuk maju menjadi Caleg. Tidak lain karena tidak ada satu aturan yang mewajibkan Parpol untuk hanya mengambil perempuan dari kepengurusan Parpol. Akibatnya Parpol bisa saja mengambil ‘perempuan non-kader’ sebagai Caleg. Termasuk mengambil perempuan yang tidak punya pengalaman di bidang politik. Biasanya yang dipilih adalah mereka yang tidak berkeberatan ditempatkan di nomer urut caleg paling akhir.

Kedua, soal domestifikasi peran perempuan di partai politik. Disini letak sumbatan akses politik yang jarang dipersoalkan oleh kita semua.  Dominasi laki-laki sebagai rezim administrasi Partai Politik masih berlangsung hingga saat ini. Banyak keputusan-keputusan penting partai tidak menyertakan kaum perempuan. Bisa kita lihat tontonan ketika MPR RI atau DPR RI akan mengambil sebuah keputusan penting. Rapat biasanya akan berlangsung sampai larut malam, bahkan pemungutan suara biasanya berlangsung menjelang Subuh. Perempuan dihadapkan pada persoalan menghadapi tuntutan ‘tidak pulang larut’ dari rumah, pada saat yang sama harus mengorbankan hak suaranya untuk memilih atau dipilih. Jika lebih dalam kita periksa, itu sebabnya jika ada organisasi yang sekretarisnya dijabat oleh laki-laki, maka parpol yang jadi juaranya.
Seluruh proses administrasi yang diakui sah dan resmi oleh KPU dan KPUD adalah surat yang dibubuhi tandatangan Ketua bersama dengan Sekertaris. Sehingga jabatan Sekertaris disini bukan peran administrasi semata, tapi ada peran yang sangat strategis dalam mengesahkan seluruh keputusan Parpol. Termasuk didalamnya pengesahan nama-nama Caleg berikut nomer urutnya. Dalam keseharian menjalankan organisasi kepartaian pun, perempuan jarang sekali menduduki posisi Bidang I yang biasanya adalah bidang yang mengurusi soal administrasi dan keanggotaaan yang merupakan mesin utama keabsahan organisasi. Disana SK Kepengurusan dibuat, dari sana sanksi hingga pemecatan dilakukan sebelum masuk ke Mahkamah Partai yang juga bisa dipastikan seluruh ketuanya adalah laki-laki.

Domestifikasi di Rumah Rakyat

Tidak cukup perempuan mendapatkan peran “dapur, sumur, Kasur” di rumah dan dalam lingkungan sosial. Benerapa orang perempuan yang dengan susah payah akhirnya bisa terpilih dan dilantik menjadi Wakil Rakyat pun masih menerima perlakuan diskriminatif melalui domestifikasi peran perempuan  di Parlemen, yang notabene adalah rumah rakyat. Ketika aroma perseteruan antara kubu KIH dan KMP di sidang pertama MPR-RI, tidak satupun bicara tentang keterwakilan perempuan dalam susunan pimpinan DPR-RI. Suara 17% lebih perempuan Indonesia, suara Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 tenggelam dalam riuhnya perseteruan dua kubu politik, yang hari ini juga sudah saling berjabat tangan satu sama lain.

Implikasinya mudah ditebak, meskipun ada keputusan MK yang mempertegas tentang keterwakilan perempuan di unsur pimpinan dan alat kelengkapan DPR, namun langkah Rieke Diah Pitaloka, Khofifah Indar Parawansyah, PERLUDEM dkk. yang mengajukan Judicial Review itu hanya dikabulkan sebagian. Domestifikasi dan Stereotyping kembali berulang, urusan ‘dapur-sumur-kasur’ dirumah asal, diterjemahkan menjadi pembatasan peran perempuan dalam pembagian Komisi DPR RI. Kebanyak aggota DPR Perempuan komisi yang membidangi urusan Perempuan dan Anak, Agama, Sosial, Tenaga Kerja, Pendidikan dan Pariwisata. Namun meskipun mengurusi bidang-bidang tersebut, tidak otomatis membuat mereka mampu menggerakkan kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan yang Pro Perempuan, rezim administratif itu sudah dipasangi gembok dari berbagai penjuru hingga sulit untuk diubah.

Fenomena ini makin diperparah dengan peran media massa (koran, televisi, majalah) yang juga tidak memberikan ruang yang banyak untuk perempuan. Perdebatan hangat dan strategis,  kebanyak mengundang nara sumber laki-laki dan mempertegas diskriminasi gender di semua lini dan dari segala penjuru.

Mendobrak Tabu: Politik Generasi Milenial dan Perempuan PSI

Kita tinggalkan sejenak urusan afirmasi setengah hati itu. Sebuah fenomena baru sedang tumbuh, bonus demografi membawa sebuah kenyataan baru, fakta statistik yang menunjukkan bahwa pada tahun 2019, jumlah pemilih yang berada dalamm rentang usia 17-40 tahun berjumlah 62%. Dari jumlah itu, sekitar 58% diantaranya, hari ini berusia sekitar 15-29 tahun. Ini yang disebut generasi Y yang lahir tahun 80an dan yang terbaru adalah generasi yang lahir pada tahun 90an. Ada apa dengan generasi ini?

Karakterisitik generasi ini adalah “digital native” Bahasa, perilaku, gaya hidup adalah apa yang mereka temukan, diskusikan, baca dan praktikkan dalam berinterakis sesama generasi mereka. Mereka bahkan tidak perduli dengan tuduhan bahwa mereka adalah generasi “apatis dalam hal politik.” Bagi mereka Parpol sudah sangat tua, bahasa yang digunakan elit tidak dipahami oleh generasi mereka, Parpol bahkan lebih asing dari Bahasa asing yang mereka adopsi. Mereka adalah generasi digital yang ketika terbentur pertanyaan, secara cepat bisa menemukan jawabannya dari benda dalam genggaman tangan yang bernama Gadget.

Apakah mereka Asosial atau apolitis? Jangan salah, kesadaran mereka adalah kesadaran yang sangat humanis. Bisa terjadi hakim menjatuhkan hukuman kepada seseorang dari dalam ruang sidang pengadilan. Namun pada saat yang sama diakui sebagai pahlawan di media sosial. Yah mereka adalah generasi digital, multi talented, kreatif, mandiri, tidak suka dengan formalism, tapi juga punya solidaritas sosial meskipun dengan spektrum lebih luas dan mendunia. Jadi jangan bicara soal kesetaraan gender pada mereka, bisa jadi secara teoritik mereka baca dari sumber yang lebih valid dengan konteks yang lebih kontemporer.

Berbicara dengan generasi ini tidak mudah, sudah banyak guru-guru sekolah akhirnya mengambil jalan kekerasan karena tidak bisa beradu argumentasi dengan mereka. Siapkah kita jika tiba-tiba pertanyaannya adalah “jika UU Parpolnya, UU Pemilunya dan Praktik kekuasaannya sangat diskriminatif, kenapa tidak boikot Pemilu?” Ini tentu provokatif tapi tidak menutup kemungkinan keluar dari nalar rasional generasi milenial.

PSI Memutus Belenggu Politik Perempuan

Sebagai generasi yang rasional dan dibimbing oleh referensi luas dari dunia digital. Mereka bisa paham (contoh) bahwa banyak persoalan yang muncul akibat persoalan diskriminasi yang berlangsung sistemik dan terstruktur ini. Contoh paling nyata adalah persoalan prostitusi bukan? Prostitusi muncul karena akses ekonomi kebanyakan dikuasai oleh laki-laki, sehingga akumulasi kekayaan menjadi timpang, perempuan yang secara sosial sudah mengalami diskriminasi, secara politik dikerdilkan perannya melalui domestifikasi, juga mendapatkan nasib tidak adil di dunia kerja. Akibatnya ekonomi juga dikuasai laki-laki, uang terakumulasi menjadi ketimpangan gender dalam kesejahteraan. Perilaku konsumtif mungkin jika dipicu oleh kelonggaran finansial. Demikian juga dengan prostitusi, terjadilah transaksi dimana laki-laki menjadi konsumen, dan perempuan menjadi penyedia jasa. Karena di sektor barang dan produksi, peran perempuan selalu disubordinasikan dibawah laki-laki. Tentu hasilnya akan berbalik jika uang lebih banyak dikuasai kaum perempuan. Posisi konsumen akan berpindah ke tangan perempuan, dan laki-laki akan menjadi penyedia jasa.

Lalu perempuan dituding pembawa murka Tuhan dimuka bumi, sementara statistik terus mencatatkan laki-laki dalam daftar panjang pelaku korupsi dan kriminalitas di Indonesia. Dalam hal ini Gen Y dan Z akan bereaksi berbeda, bahkan bisa saja berseberangan dengan nalar elit bahkan  Negara. Itu untuk menggambarkan bahwa berbicara dan memahami Bahasa dan nalar Gen Y dan Z membutuhkan kedekatan yang bukam hanya dalam arti ‘mengerti’ tapi juga secara usia merupakan bagian dari mereka. Jangan lupa, jumlah mereka pada PEMILU 2019 yang akan datang adalah 58% dari jumlah pemilih.

Waktu tinggal 3 tahun menuju PEMILU 2019. Perjuangan kaum perempuan dihadapkan pada dua pilihan: Meneruskan ambisi keterwakilan Perempuan melalui langkah seperangkat fasilitas bernama Afirmasi tersebut? Tentu dengan perbaikan-perbaikan yang masih mungkin dilakukan. Atau memusatkan tenaga dan pikirannya untuk ikut melahirkan kekuatan baru yang menetukan, kekuatan generasi Millenial Indonesia. Caranya adalah dengan berbicara dengan Bahasa yang mereka mengerti.

Ini yang kemudian paling penting di apresiasi dengan keberanian Grace Natalie, Isyana Bagoes Oka, Novarini, Suci Mayang dan Danik Eka dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Muncul dengan brand ‘muda’ PSI sudah menarik garis pemisah generasi yang tegas dengan membatasi usia kepengurusan partainya hanya boleh bagi mereka yang berusia tidak lebih dari 45 tahun. Tidak hanya itu, kuota minimal mereka untuk perempuan adalah 40% minimal. Yang paling penting adalah dalam pembentukan kepengurusan provinsi, salah satu diantara jabatan Ketua dan Sekretaris wajib diisi oleh perempuan. PSI berpendapat tidak mungkin memenuhi keterwakilan 30% perempuan tanpa memberi posisi dan peran yang penting kepada perempuan di parpol.

PSI kini memusatkan kampanyenya pada digital media, Bahasa yang sama dengan yang digunakan 58% generasi millennial yang akan menjadi penentu siapapun yang mereka kehendaki untuk menang pada Pemiliu 2019 mendatang. Sebagai parpol baru PSI tentu tidak sesumbar, namun dari konsistensi mendisiplinkan diri, rasanya PSI bisa dilihat sebagai sebuah gerakan serius untuk mengakhiri diskriminasi kaum perempuan Indonesia.

Tuntut 30% Kursi Parlemen untuk Perempuan

Tidak banyak waktu tersisa untuk perempuan mempersiapkan arah gerakan politiknya. Menebak arah partai politik yang semakin kering dari isu-isu kesetaraan gender, dengan melihat hasil perolehanm kursi perempuan dari Pemilu ke Pemilu, tampaknya kaum perempuan memang harus khawatir. Konteks lokal tidak kalah parahnya, Peraturan Daerah yang makin menegaskan diskriminasi yang tadinya bersifat sosial dan budaya, kini dilegalkan melalui hukum dan juga ekomi. Ini jika tidak dianggap bahaya, maka tentu harapan masih kita titipkan pada Gen Y dan Z, generasi baru Indonesia, generasi mayoritas dalam Pemilu 2019, kepadamulah nasib perempuan Indonesia kita titipkan.

Dari kantor DPP – PSI sebuah suara yang lebih keras terdengar, tentu tidak lama lagi Undang-undang Partai Politik dan Pemilu sebentar lagi akan dibahas di DPR. Sebagai partai baru harusnya cukup aman jika bersikap biasa-biasa saja. Karena banyak diam, artinya tidak merecoki partai-partai senior yang ada di Senayan. Namun bukannya memilih diam, PSI tidak kalah garangnya dalam menolak Revisi UU KPK, juga dalam beberapa insiden intoleransi mereka tampil ke depan. Kutipan pidato politik pertama Grace Natalie, Sang Ketua Umum jelas sekali

“Saya gunakan kesempatan baik ini, untuk mengajak seluruh anak muda Indonesia, generasi Y, generasi Z, generasi yang selama ini diabaikan, kepada kalian PSI berbicara malam ini. Bersama seluruh kekuatan perempuan Indonesia,  PSI menunggu solidaritas kalian, kaum muda dan perempuan, solidaritas untuk mempersiapkan sebuah kelahiran baru. Kelahiran Indonesia yang lebih baik” (Grace Natalie, 14 November 2015)
Dalam persoalan perempuan ini, PSI mengambil pilihan cukup berani dengan menyatakan dengan tegas, bahwa “Afirmasi akan terasa adil jika bukan hanya bicara soal keterwakilan perempuan, tapi perempuan harus diberi waktu dan peran yang sentral, jangan pertarungkan perempuan dan laki-laki di gelanggan yang sama, UU Pemilu dan kemudian MD3 yang akan datang wajib menyebutkan bahwa 30% kursin parlemen di semua tingkatan diperuntukkan untuk Perempuan” demikian kata Isyana Bagoes Oka salah seorang Ketua DPP PSI.

Novarini menambahkan bahwa “PSI mengajak seluruh kaum perempuan, tidak perlu masuk PSI jika belum percaya pada kami, tapi setidaknya untuk menuntut kuota 30% kursi itu adalah tuntutan bersama kaum perempuan.” Rasanya PSI memang tidak main-main, dalam menutup pidationya, Grace dengan lantang menyatakan “Download terus DNA kebajikan dan keragaman, Upload terus virus Solidaritas Indonesia ke seluruh penjuru negeri. Mari bersama kita tebarkan benih kebajikan, semai terus bunga-bunga keragaman. Karena sesungguhnya, kami bukan siapa-siapa, tanpa kamu semua.”

PSI telah mengarahkan tuntutan politiknya untuk menjawab lemahnya Afirmasi 30% dari sisi kebijakan dan praktiknya. PSI bicara dengan Bahasa Gen Y dan Z, rasional dan praktis, jika tidak bisa pakai yang lama – kita buat saja yang baru, jika ruang politiknya tidak ada – kita bangun ruang politik kita sendiri.

Selamat Hari Perempuan Internasional
Merdekalah Perempuan Indonesia!