Indonesia Move On

Indonesia Move On

Rubrik Diskursus – Koran Solidaritas Edisi III, September 2015

Politik Ingatan dan Dua Keberanian

Oleh: Ramli Hussein (Pimred Koran Solidaritas)

Milan Kundera dan Kitab Melawan Lupa

Sesungguhnya semua manusia punya kecerdasan yang sama, hanya daya ingat yang berbeda. Dalam konteks ini diksi “Si Pintar” dan “Si Bodoh” mejadi tidak tepat, yang tepat adalah “Sang Pengingat” dan “Sang Pelupa.” Milan Kundera, seorang novelis asal Cheko menggambarkan secara jernih mengenai bagaimana “lupa” menghapus kebahagiaan yang mengalir lewat “gelak tawa.” Dalam bukunya The book of laughter and forgetting (1979), Kundera Mengambil latar kekejaman rejim komunis Cheko, dia menceritakan tentang Tamina, seorang perempuan yang terus mempertahankan memorinya tentang cinta bersama sang suami, meski suaminya sudah wafat akibat dibunuh oleh rejim otiriter Cheko. Tamina menolak melupakan: suaminya, cintanya, kebebasannya dengan sebuah gelak tawa.

Meski Tamina seorang diri, terusir keluar dari Cheko, namun dirinya melawan dengan “ingatan” atau memoria. Dari novel ini lahir ungkapan terkenal dari Milan Kundera “perjuangan menegakkan kebenaran adalah perjuangan melawan lupa.” Kundera menegaskan bahwa ingatan bukanlah hal yang sederhana, karena ingatan membentuk pengetahuan tentang diri kita sendiri dan lebih jauh tentang lingkungan. Milan menulis bahwa “Diri adalah keseluruhan dari segala sesuatu yang kita ingat. Jadi, yang membuat kita takut pada kematian bukanlah hilangnya masa depan, melainkan hilangnya masa lalu. Lupa merupakan sebentuk kematian yang hadir dalam kehidupan.”

Kesadaran kita tentang hari ini, merupakan tumpukan ingatan-ingatan tentang masa lalu. Sehingga kehilangan ingatan adalah juga kehilangan identitas diri, ini yang disebut keadaan “tidak sadarkan diri” atau amnesia. Setiap individu yang mengalami keadaan amnesia, akan gamang membaca diri dan lingkungannya. Memorinya harus di install ulang dari nol, dengan menghapal kembali nama dari benda-benda. Ketika itu terjadi, bisa saja seseorang dipaksa untuk menghapalkan sejarah masa lalu, namun tidak akan pernah lagi memiliki emosi dan empati jaman yang lampau, dimana mereka pernah hidup. Ingatan telah berpisah dengan jiwa, maka lumpuhlah segala nalar dan intuisi yang sangat dibutuhkan untuk merencanakan ketidakpastian di masa depan.

Dalam setiap kasus pelanggaran HAM berat, individu pelaku dan korban memiliki memori yang hampir sama tentang satu fakta (tempat, waktu, nama) kejadian. Namun masing-masing, baik pelaku maupun korban, mengingat (mengapa dan bagaimana) sebuah peristiwa bisa terjadi, tentu dengan emosi dan nalar yang berbeda. Maka tidak heran, akan selalu lahir dua versi narasi pelanggaran HAM: narasi versi pelaku dan narasi versi korban. Narasi ini terus diwariskan dari hari, bulan dan tahun. Dalam kasus Indonesia, untuk kasus 1965 misalnya, selama 32 tahun lebih, narasi pelaku menjadi narasi tunggal yang berlaku. Narasi diluar Orde Baru adalah subversif dan haram.

Akibatnya, Indonesia sulit untuk “move on” Mengapa? Mari coba kita periksa secara mendalam. Yang selalu kita dengar dari testimoni korban, sebagaimana selalu dikatakan oleh Mugiyanto, salah satu korban penculikan aktivis 96-97 oleh Tim Mawar Kopassus “Saya menuliskan lagi cerita ini dengan jantung berdebar. Saya berusaha melawan trauma, walau sulit. Amat sulit. Saya tidak bisa melupakannya.” Kalau saja kata “Move On” bisa dicapai semudah menekan “Ctrl+Alt+Del” di keyboard computer anda, tentu dengan senang hati mereka lakukan, dan tentu negara tidak perlu bersusahpayah untuk menggelar pengadilan HAM dan juga Rekonsiliasi untuk menghapus “ingatan” yang suram itu. Mari kita tinggalkan sejenak Indonesia.

Mereka Berhasil Move On

Jerman salah satu contoh baik dalam konteks “merawat ingatan.” Sebagai bangsa yang kalah perang, tentu generasi muda Jerman tidak ingin menanggung malu akibat kejahatan perang dan kemanusiaan yang telah dilakukan NAZI di jamannya. Seiring penyatuan kembali Jerman Barat dan Jerman Timur, pemerintah Federal Jerman mencanangkan gerakan “merawat ingatan” terbesar dalam sejarah dunia. Museum perang dibangun, monumen mengenai kejahatan dibangun, fakta sejarah terus dikumpulkan untuk mengingat tragedi tersebut. Lebih jauh lagi narasi-narasi berisikan detail sejarah, testimoni, film, musik, drama, foto dan surat-surat terus diarsipkan dan dipublikasikan. Jerman baru adalah Jerman yang tidak malu mengakui kekalahannya, Jerman yang menunjukkan kepada dunia dan generasi muda mereka, betapa berbahayanya kekuasaan yang tidak dikontrol oleh kemanusiaan. Jerman yang baru adalah Jerman yang direkonstruksi sebagai anti tesis dari kekalahan perang, anti tesis dari Hitler dan NAZI. Jerman yang bukan Hitler, Jerman yang bukan NAZI, Jerman yang tidak rasis, Jerman yang tidak takut mengakui masa lalunya: Sebuah Jerman Baru.

Demikian pula Nelson Mandela, tokoh perjuangan melawan Apartheid di Afrika Selatan, dalam perjuangannya membebaskan bangsanya dari penjajahan kulit putih atau rejim Apartheid. Dari mimbar Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Truth and Reconciliation Commission – TRC),  Mandela berkata “Kita mengingat masa lalu kita, agar kita bisa berdamaia dengannya, memaafkan tanpa melupakan, agar kelak kita bisa memastikan hal yang sama tidak terulang kembali diantara kita, dan untuk menghapus semua kebijakan yang berbahaya bagi demokrasi kita ke depan.” Mandela mendapatkan Nobel Perdamaian berkat jasa-jasanya mempromosikan perdamaian di seluruh dunia. Satu kata kunci penting dari sukses TRC di Afrika Selatan: Memaafkan Tanpa Melupakan alias “Move On dengan memaafkan namun tidak melupakan.”

Argentina sejak 1976 sampai hari ini, barisan ibu-ibu yang kehilangan anaknya secara rutin mendatangi Plaza De Mayo untuk mencari keadilan bagi anak-anak mereka yang diculik rejim militer Argentina. Militer Argentina berkuasa melalui sebuah kudeta terhadap pemerintahan Isabel Peron pada tahun 1975. Tokoh  militer saat itu adalah Jorge Rafael Videla yang dengan lantang mengatakan dihadapan pasukannya “Sebanyak mungkin orang mungkin harus mati di Argentina sehingga negara bisa aman kembali.” Gagasan pembunuhan massal oleh seorang Jenderal bisa berakibat fatal,  hampir 30.000 orang dibunuh dan 11.000 lainnya dihilangkan. Para keluarga korban “penghilangan paksa” inilah yang kemudian tidak hentinya, merawat ingatan. Perjuangan ibu-ibu Plaza de Mayo itu tidak sia-sia, Desember 1983 CONADEP (Pengadilan Penghilangan Paksa) dibentuk dan menghukum Jenderal-jenderal Argentina yang terlibat dengan hukuman seumur hidup.

Kembali ke Indonesia, bisa disimpulkan bahwa “merawat ingatan” bukanlah persoalan, tidak bisa move on karena disandera oleh masa lalu (satu tuduhan keji yang sering digunakan untuk melemahkan semangat para korban). Tapi adalah memberi pedoman tentang bagaimana gerakan “move on” menyongsong masa depan, menjadi sebuah gerakan “Politik Ingatan,” dimana kebenaran dibuka dan kata maaf diberikan: tanpa melupakan. Pada titik ini negara wajib memastikan, apakah gerakan Move On itu adalah sebuah gerakan politik ingatan, atau hanya sebuah gerakan “Pengabaian” bahkan lebih jauh menjadi gerakan “Melupakan” yang lahir dari kemalasan berpikir dan berimajinasi mencari jalan keluar.

Indonesia Yang Luka dan Lupa

Hari Kamis, sudah 8 tahun lebih sejak 9 Januari 2007, para korban berpayung hitam berdiri menghadap Istana Merdeka. Mereka adalah komunitas yang menamai aksi mereka sebagai Aksi Kamisan. Terdiri dari korban dan keluarga korban dari berbagai kasus pelanggaran HAM di tanah air. Mereka secara rutin mendatangi istana untuk menuntut tanggungjawab negara atas kejahatan Hak Asasi Manusia yang menimpa mereka dan keluarga mereka. Nggak bisa Move ON? Jangan salah dulu! Tentu mudah bagi kita yang tidak menjadi korban langsung dari kejahatan tersebut.

Tidak banyak yang tahu, bahwa kejahatan hak asasi manusia, ataupun kejahatan lainnya seperti pemerkosaan, korupsi, terorisme dll. selalu berulang dan terjadi terus-menerus, karena tidak ada penuntasan dan pemenuhan keadilan bagi korban dan pelaku. Demikian halnya dengan kejahatan HAM, berulang karena terjadi pembiaran oleh negara. Ini yang disebut sebagai kekerasan yang diwariskan turun temurun, terjadi dan terjadi kembali. Keberadaan Aksi Kamisan tersebut adalah dalam rangka merawat ingatan, melawan lupa, menyembuhkan luka, agara tidak terulang lagi di masa yang akan datang.

Sebut saja kasus pembunuhan massal tahun 1965 yang mengantarkan Orde Baru berkuasa, kasus selama 32 tahun kekuasaan orde baru (Petrus, Tanjung Priok, Talangsari dst.), penculikan aktivis pro-demokrasi tahun 1996-1997, penjarahan dan pemerkosaan etnis Tionghoa tahun 1998, lalu penembakan mahasiswa di Trisakti dan Semanggi tahun 1998. Semua bukan hanya  merengkuh nyawa warga negara Indonesia, tapi juga menyisakan luka yang masih lebar. Banyak lagi kasus-kasus kekerasan berbasis SARA dan juga kekekerasan terhadap perempuan, pers dan anak. Ini semua adalah repetisi-repetisi kekerasan yang di reproduksi dari ketidakbecusan kita sebagai bangsa untuk dua hal yang sangat sederhana dan manusiawi (mestinya): Mengakui kebenaran dan memaafkan kesalahan.

Mengapa itu terjadi? Tidak lain karena tidak pernah ada upaya serius dari negara untuk menyelesaikannya. Korban melihat bagaimana para “terduga” pelaku bebas menikmati hidup, bahkan sebagian mereka kini berkuasa melalui partai-partai politik. Ketika kita berpikir tentang masa depan, ingatan-ingatan itu selalu kembali, menarik dan menahan laju kita untuk menyogsong masa depan. Pengingkaran terhadap identitas masa lalu, adalah kekaburan pandang terhadap masa depan.

Gusdur Sang Pemula

Gusdur adalah sebuah nyala lilin, dia rela terbakar hanya untuk memberikan cahaya disekitarnya. Bisa dilihat hanya dalam kurun waktu tidak lebih dari 3 tahun berkuasa, Gusdur melahirkan banyak sekali produk hukum yang mendasar, yang sangat penting menjadi bekal transisi Indonesia menuju demokrasi. Kita tidak bisa membayangkan transisi Indonesia dari Orde Baru ke Demokrasi jika tidak ada seorang Gusdur.

Gusdur mengejutkan banyak orang ketika dirinya membubarkan Bakorstanas (Badan  Koordinasi Bantuan Pemantapan  Stabilitas Nasional) dan prosedur Litsus (Penelitian Khusus), dua lembaga yang menurutnya lebih banyak menimbulkan keruwetan daripada penyelesaian masalah. Pemisahan Polri dari TNI, Undang-undang Hak Asasi Manusia, dan terakhir adalah sebuah tindakan yang kontroversial “meminta maaf”  kepada korban-korban 65 yang dituduh sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Gusdur tidak main-main, dia menyusulnya dengan pernyataan meminta pencabutan TAP MPRS No. XXV/1966 tentang larangan penyebarluasan ajaran marxis-leninis. Tidak hanya itu, Gusdur mengijinkan pengibaran bendera GAM di Aceh dan Bintang Kejora di Papua.

Gusdur bukan tanpa perhitungan, dirinya sedang mendobrak budaya bisu yang diwariskan rejim lama. Gusdur memecahkan keheningan dengan suara bising yang awalnya terasa tabu dan guyon, namun hari ini mulai terasa sebagai sesuatu yang sangat rasional dan perlu untuk kita tempuh sebagai sebuah bangsa.

Satu hal yang tidak sempat dia saksikan adalah buah dari perjuangannya merawat ingatan, yakni hadirnya sebuah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Indonesia. Undang-undang KKR ketika itu kandas di Mahkamah Konstitusi karena perbedaan rujukan juridis dalam soal Amnesti antara konstitusi dengan hukum internasional. Diawal pemerintahan Jokowi, cita-cita Gusdur sayup tapi pasti, mulai kembali didengungkan. Draft UU KKR yang baru sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2015.

Luka Lama diatas Janji Rejim Baru

Ketika Gusdur lengser, Megawati sempat dilihat sebagai harapan. Putri Bung Karno ini juga merasakan bagaimana rejim telah meminggirkan dirinya dan keluarganya. Namun ternyata pelan-pelan suara KKR peninggalan Gusdur tidak terdengar lagi. Bahkan pada masa pemerintahannya, Megawati menjawab persoalan separastisme dengan status Darurat Militer di Aceh, ketika itu Menkopolhukamnya adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Jangankan berharap menyelesaikan kasus HAM masa lalu, justeru catatan pelanggaran HAM menjadi semakin panjang dengan lahirnya kasus-kasus baru di Aceh dan Papua. Narasi berikutnya sangat mudah ditebak, cahaya yang tadinya tampak terang tiba-tiba redup tak bernyawa. Janji baru ditabur diatas luka lama.

Berganti rejim, berganti harapan. SBY memenangkan Pilpres 2004 menggantikan Megawati. Tepat ketika itu pembunuhan terhadap Munir terjadi. SBY sempat menginterupsi pidatonya untuk mengucapkan rasa duka dan doa pada Munir. Sekali lagi, sepertinya rejim baru ini adalah harapan baru untuk menyembuhkan luka bangsa. Dua periode berlalu, penanganan kasus masa lalu tersebut tidak kunjung dilakukan. Suciwati, isteri almarhum Munir, memilih memboyong anaknya kembali ke Batu Malang, sambil mengenang sebuah janji rejim: “kasus Munir adalah test of our history.” Sekali lagi luka lama itu ditaburi bubuk janji diatasnya.

Lalu datanglah Jokowi menjadi Presiden RI yang Ketujuh, setelah menang atas lawannya Prabowo Subianto, Jenderal yang diduga paling bertanggungjawab dalam kasus penghilangan paksa aktivis tahun 1996-1997. Untuk pertamakalinya, kasus penculikan aktivis menjadi bahan perdebatan politik secara fulgar. Korban kembali menaruh harapan, bahwa rejim baru akan membawa setitik harapan tentang keadilan bagi mereka. Memang benar bahwa rejim Jokowi belum berakhir, namun juga belum ada tanda-tanda positif ke arah sana, selain Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional 2015. Tim penyusun (kabarnya) sangat serius dalam menyiapkan naskah UU tersebut, agar peristiwa 2004 tidak terulang kembali. Dimana UU KKR yang sudah disahkan digugurkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Ahok dan Ingatan untuk Move On

Meski proses di tingkat nasional belum juga berbentuk. Insiatif lokal yang positif dan penting di apresiasi justeru sudah dimulai oleh Gubernur DKI Jakarta. Bulan Mei 2015 yang lalu, Basuki Tjahaja Purnama, atau akrab disapa Ahok itu, meresmikan sebuah Prasasti Mei 98 untuk mengenang tragedi kemanusiaan di Jakarta tahun 1996-1998. Ahok menyatakan bahwa memorabilia dalam bentuk prasasti adalah sangat penting, sebagai pengingat akan tragedi kemanusiaan pada Mei 1998.

Langkah Ahok diapresiasi oleh Ketua Komnas Perempuan, Azriana yang mengatakan “pembangunan prasasti ini adalah bentuk tanggung jawab negara untuk merawat ingatan publik dan memulihkan korban. Serta mencegah sejarah kelam tragedi Mei ’98 berulang di masa yang akan datang.”

Langkah Ahok adalah bentuk paling nyata dari “politik ingatan.” Anda hanya perlu dua keberanian untuk melakukannya: Mengakui kebenaran dan memaafkan kesalahan. Langkah Ahok akan menjadi sangat elok, jika diikuti oleh Kepala-kepala Daerah yang lain. Ahok bahkan mendahului Pemerintah Aceh, yang harusnya telah memiliki dasar hukum kuat untuk membentuk Pengadilan HAM dan KKR, karena termaktub jelas kewenangan pemerintah Aceh dalam Perjanjian Damai Helsinki dan juga UU Pemerintahan Aceh.

Ini terlihat sederhana, tapi sulit untuk dilakukan. Seperti kata Mugiyanto “Saya menulis, saya berbicara, saya bercerita, itu proses dari penyembuhan psikologi saya.” Lain lagi yang disuarakan oleh Tamiyem, ibunda Suyat (korban penculikan aktivis) “Nek sih waras, ayo mulih. Nek wis ora ana, kuburane neng endi? (Kalau masih hidup, ayo pulang. Kalau sudah meninggal, dimana kuburannya?).”

Politik ingatan harus terus disuarakan, aktor utamanya adalah kekuasaan. Sebagaimana Ahok, politik ingatana mensyaratkan penggunaan kekuasaan untuk dua keberanian: mengakui kebenaran dan memaafkan kesalahan. Kesaksian-kesaksian harus dituliskan dan dibacakan. Rekaman-rekaman terus dipertontonkan, pelaku ditunggu untuk berani mengakui kesalahan, sementara korban dan keluarganya tentu dimohonkan kelikhlasan atas maaf.

Tidak mungkin maaf terucap, jika pengakuan tetap bungkam dalam keangkuhan. Mengaku bersalah bukanlah sebuah tindakan seorang pengecut, dia membutuhkan seribu nyali. Sebuah testimoni menjadi sangat bernilai, bukan untuk masa lalu, tapi untuk masa depan bangsa ini. Pada titik ini, sekali lagi Negara dituntut untuk menggunakan otoritasnya dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu. Jika tidak ingin hal yang sama terulang kembali di masa depan.

Ketika redaksi menyusun edisi ini, baru saja, coretan Palu-Arit di beberapa titik menghebohkan semua orang. Ini adalah pertanda betapa kita masih memelihara kecemasan dan sisa-sisa indoktrinasi. Ketakuta-ketakutan semu yang diciptakan oleh masa lalu kita, sehingga kita begitu takut pada simbol-simbol, pada warna-warna, pada bayangan-bayangan palsu dikepala kita. Ketakutan yang telah ditanam kuat oleh sistem pendidikan yang enggan dirubah oleh Menteri Pendidikan sekarang. Buku sejarah yang tidak direvisi, narasi-narasi yang tabu didiskusikan. Begitulah ketika “ingatan” kita mulau pudar, maka jangan heran “gelak tawa” akan semakin jarang kita temui. Karena sesungguhnya, politik ingatan adalah Move On ke masa depan dengan tidak melupakan kebenaran masa lalu.

 

---

PSI terus bekerja untuk rakyat, dukung PSI melalui Dana Solidaritas, hanya Rp 88.888 per bulan Klik Disini

Tunjukkan Solidaritasmu!
Diskursus Kolom

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

3 × 3 =