Revolusi Mental Fajar
Blog Solidaritas Koran Solidaritas

Revolusi Mental Fajar

Solidaritas Kita, Koran Solidaritas Edisi Ke-12

Fajar Riza Ul Haq sosok yang tak asing bagi kalangan intelektual muda dan agamawan di Indonesia. Saat menjabat sebagai Direktur Eksekutif MAARIF Institute for Culture and Humanity (Desember 2009-Pebruari 2017), Fajar seringkali mengisi ruang media di tanah air. Dan ia sering terlihat bersama tokoh bangsa, Buya Syafii Maarif.

Fajar meraih pendidikan master pada Centre for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS), Universitas Gajah Mada (2006), dan pendidikan S1 di Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Surakarta (2002).

Fajar juga memiliki latar belakang pengalaman yang cukup kuat di kancah gerakan kemahasiswaan dan kemasyarakatan; Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Cabang Sukoharjo, Ketua Dewan Pimpinan Daerah IMM Jawa Tengah, Ketua Dewan Pimpinan Pusat IMM, Sekretaris Bidang Hikmah PP Pemuda Muhammadiyah, dan sekarang sebagai Sekretaris Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah (2015-2020).

Fajar yang acapkali menyuarakan toleransi di Indonesia sudah terpilih dan berpartisipasi aktif dalam pelbagai forum Internasional diantaranya pembicara Global Counter Terrorism Forum’s Practisioners Workshop di Washington (2013), United Nations Alliance of Civilizations di Wina (2013), International Visitor Leadership Program of US State Department (2012), ASEAN-Australia Emerging Leaders Program (2012), Global Counter Terrorism Forum-Working Group di Manila (2012), Chevening Fellowship di Centre for Studies in Security and Diplomacy, University Birmingham (2009), The 17 New Generation Seminar, the East West Centre, Hawai (2007), Facilitation of Dialogue Process and Mediation Efforts, Folke Bernadotte Academy, swedia (2007), dan Program Australia-Indonesia Young Muslim Leaders Exchange (2005).

Alumni Pondok Muhammadiyah Hajjah Nuriyah Shobron, Solo, ini telah melahirkan beberapa karya publikasi, diantaranya : Membangun Keragaman, Meneguhkan Pemihakan: Visi Baru Politik Muhammadiyah (2004) dan Purifikasi dan Reproduksi Budaya di Pantai Utara Jawa: Muhammadiyah dan Seni Lokal (dkk, 2003).

Ia juga menyunting dan mengedit beberapa buku diantaranya Pendidikan Al Islam dan Kemuhammadiyahan Berwawasan HAM: Buku Pegangan Guru (2008), Pendidikan Al Islam Berwawasan HAM (2008), Pendidikan Kemuhammadiyahan Berwawasan HAM (2008) serta Islam, HAM, dan Keindonesiaan (2007). Juga, tulisan-tulisan artikelnya dapat dijumpai di pelbagai media cetak dan on line seperti Kompas, Republika, Sindo, dan Detikcom.

Revolusi mental menurut Fajar, ada dua hal yang harus dilakukan. Satu, reformasi birokrasi adalah hal yang sangat fundamental dalam pemerintahan di Indonesia. Kedua, adalah pendidikan. Pendidikan sebagai strategi revolusi kebudayaan. Karena satu-satunya hal yang dapat mengubah yakni pendidikan, atau lebih spesifik adalah pendidikan karakter. Itu harus dimulai sejak dini, sejak masih kanak-kanak.

“Karena mengubah satu pola pikir itu sulit, ibaratnya bambu kalau sudah tua itu sulit untuk dibengkokkan. Jika bisa pun akan patah. Namun, kalau yang masih muda bisa dibentuk,” kata Fajar dalam sebuah jurnal.

Sekarang, selain menjadi Sekretaris Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Fajar diangkat sebagai Staf Khusus Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy. Semuanya untuk mewujudkan revolusi mental, begitu kan Fajar?

Jokowi dan Masa Depan Demokrasi Indonesia
Diskursus Koran Solidaritas

Jokowi dan Masa Depan Demokrasi Indonesia

Diskursus Koran Solidaritas Edisi Ke-12

Undang-undang pemilu baru untuk siapa?

Setelah melewati perdebatan panjang, akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengesahkan Undang-undang  Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang akan menjadi aturan main pesta demokrasi Indonesia pada tahun 2019 yang akan datang.

Ada dua hal yang secara logika tidak masuk akal: pertama adalah mengenai upaya partai lama agar terhindar dari verifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai calon peserta Pemilu. Perihal kedua, terkait dengan ditetapkannya President Threshold sebesar 20% suara partai atau gabungan partai-partai, atau 25% kursi parlemen.

Sebenarnya tidak butuh menunggu lama untuk mengetahui keputusan tersebut. Partai politik lama sejak dulu memang lebih memilih cara instan untuk melanggengkan kekuasaannya. Hasil beberapa riset di penghujung tahun 2016 yang menunjukkan DPR RI dan partai politik adalah lembaga yang paling tidak dipercaya publik, seakan tidak sedikitpun membuat elit politik merasa terusik. Juga angka kedekatan atau identifikasi pemilih terhadap partai yang merosot jauh. Di mana pada tahun 1999 (data SMRC) jumlah pemilih yang menyatakan sudah memiliki afiliasi partai sebesar lebih dari 70%. Kini pada tahun 2016 hanya sekitar 17% pemilih menyatakan sudah memiliki afiliasi partai politik.

Namun mungkin benar kata Nikita Krushcev, “politisi sama di mana pun, mereka selalu berjanji membangun jembatan, meski ditempat itu tidak ditemukan sungai.” Undang-undang Pemilu jelas adalah sebuah lelucon paling anyar dari gedung DPR RI yang konon bangunannya sudah agak miring itu.

Betapa tidak, jelas, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa verifikasi partai poilitik sebagai peserta Pemilu itu berlaku sama, antara parpol baru maupun lama. Logikanya sederhana, apakah Partai Golkar tidak pernah mengganti kepengurusan sejak lima tahun yang lalu, jika ada pergantian siapakah yang bisa memastikan bahwa kepengurusan Partai Golkar memenuhi syarat keterwakilan 30% perempuan, misalnya.

Pertanyaan lain, adakah yang bisa memastikan jumlah kantor Partai Hanura sudah mnemenuhi persyaratan 100% Provinsi, 75% Kab/Kota dan 50% Kecamatan di seluruh Indonesia? Pasca pertikaian antara WIranto dan Hary Tanoe misalnya. Atau kisruh yang melanda PPP, apakah kepengurusan yang kini ada, adalah kepengurusan yang sah secara ketentuan undang-undang? Atas dasar itulah maka MK memutuskan verifikasi ulang seluruh parpol, baik yang baru maupun yang lama.

Berikutnya lebih lucu lagi, syarat mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2019 adalah yang bersangkutan harus diusung minimal 20% suara partai atau gabungan partai-partai, atau 25% jumlah kursi di parlemen. Bukankah MK memutuskan Pilpres dan Pileg diadakan bersamaan? Lalu darimana penetapan dukungan suara partai dan kursi parlemen?

DPR RI menyatakan bahwa itu diambil dari hasil perolehan suara Pemilu 2014 yang lalu. dengan demikianm partai baru tidak akan mungkin bisa mencalonkan calon presiden dan wakil presiden pada tahun 2019 yang akan datang. Harus diketahui bahwa jumlah pemilih pemula pada tahun 2019 yang akan datang kurang lebih berjumlah 15%, yang artinya mereka adalah bukan pemilih pada tahun 2014. Lalu apakah hak mereka dalam mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2019 bisa dihilangkan? Saya rasa ini adalah hak warga negara yang esensial dan substantif.

Skenario dua dan tiga pasang

Jokowi masih berada dipuncak tertinggi survei Mei 2017 yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC). Sebanyak 32% pemilih masih akan memilih Jokowi jika Jokowi maju kembali sebagai kandidat presiden. Namun jika berhadapan head to head antara Jokowi dan Prabowo Subianto, maka posisi suara tidak jauh berbeda dengan hasil Pilpres 2014 yang lalu. Jokowi unggul 55% dan Prabowo Subianto 45%, hanya terpaut 10% dengan masih tersisa dua tahun untuk masing-masing bekerja.

Sebagai oposisi, Prabowo sangat leluasa untuk terus memupuk kritik dan kekuatan oposisi yang kecewa terhadap pemerintahan Jokowi-JK, sementara Jokowi harus berbagi dengan tugas kenegaraan dan keribetan ‘mengeloni’ anggota koalisi yang masing-masing punya kepentingan yang berbeda.

Pasca pertemuan SBY dengan Prabowo Subianto, muncul spekulasi bahwa akan terjadi koalisi besar dipihak opsosisi yang akan menghadang kemenangan Jokowi pada pilpres mendatang. Juga ada yang mengatakan, bahwa pertemuan itu membahas tentang bagaimana untuk memecah basis suara Jokowi dengan mengajukan pasangan calon ketiga.

Pendukung nasionalis tentu sangat sulit untuk dialihkan dari Jokowi, satu-satunya jalan untuk menjegal Jokowi adalah dengan memecah kekuatan Islam Moderat yang selama ini masih setia berpihak pada pemerintahan Jokowi. Kelompok Islam tradisional seperti Nahdhatul Ulama mungkin sudah tidak masuk dalam hitungan mereka. Namun diluar itu masih mungkin dilakukan.

Keluarnya Perppu Pembubaran Ormas membawa suasana yang cukup hangat di akar rumput. Kelompok Islam Moderat, yang masih berdiam diri, dalam hal ini Muhammadiyah adalah satu kekuatan yang tidak mudah untuk diikat. Ini dikarenakan organisasi yang besar dan kultur yang tidak hirarkis dan feodal.

Wacana kedekatan Muhammadiyah dengan paham Wahabi secara sistematis dihembuskan untuk mendesak Muhammadiyah mengeluarkan sikap yang jelas. Seakan rejim Jokowi yang melakukan desakan itu, padahal ini bisa jadi adalah salah satu isu yang dihembuskan untuk mengelabui opini publik. Dengan harapan, Muhammadiyah kesal dengan pemerintahann Jokowi dan akhirnya pada tahun 2019, mengalihkan dukungan kepada siapapun “selain Jokowi.” Keadaan itu sudah cukup membantu agar penggerusan terjadi pada suara kubu Jokowi, sementara pihak oposisi bisa utuh tanpa tergerus.

Nama Anies Baswedan yang belakangan mulai sering berkunjung ke wilayah di luar Jakarta, seakan sinyal bahwa Anies bukan lagi sekedar Gubernur DKI Jakarta (yang belum dilantik), namun ini adalah sebuah persiapan untuk menuju ken jenjang yang lebih tinggi yakni tahta presiden. Ini bukan tidak mungkin, karena  jika ingin menggerus suara pro-Jokowi maka Anies adalah pilihan yang tepat. Suara Anies, tidak mungkin menggerus suara Gerindra dan lainnya. Jika ini terjadi, ada baiknya Jokowi mulai merapatkan barisannya. Baik  Poros Gerindra, Poros Demokrart dan Poros PDIP, tidak akan ada yang bisa memastikan hasil akhir Pemilu 2019.

Satu capres, seribu wapres

Dibawah komando Prabowo Subianto, memutuskan cawapres bukanlah hal yang sulit, namun tidak demikian jika hendak memutuskan siapa cawapres yang akan mendampingi Jokowi kelak. Ini dilema tersendiri yang muncul dari syarat dukungan 20% suara untuk pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.

Meskipun suara bulat mendukung pencalonan kembali Jokowi menjadi Capres 2019 sudah jauh hariu diumumkan oleh beberapa Parpol: Golkar termasuk yang pertama, lalu partai baru PSI, disusul Hanura dan PKPI. Sementara beberapa partai lainnya, termasuk PDIP mungkin hanya menunggu waktu untuk mengumumkan dukungannnya.

Tapi bukankah capres dan cawapres adalah satu paket yang akan dicantumkan di kertas suara? Bagaimana jika salah satu partai pendukung tidak setuju dengan nama Calon Wapres yang akan mendampingi Jokowi? Nasdem dan Partai Amanat Nasional sudah lebih dulu menyebut nama Gatot Nurmantyo, Panglima TNI sebagai nama yang pantas mendampingi Jokowi.

Tentu menarik untuk menunggu bagaimana dinamika pengajuan nama cawapres, besar kemungkinan keputusan akhir akan kembali ke tangan Megawati Soekarnoputri. Namun karena adanya syarat dukungan parpol, maka PDI-P tidak serta merta memegang kendali koalisi, Jokowi kembali akan disandera oleh kepentingan parpol. Celakanya, kadang partai yang memperoleh suara kecil kadang lebih galak dari pemilik suara terbanyak.

Pemilu 2019: perebutan suara diluar dan di dalam Koalisi Jokowi

Pasca aksi demonstrasi 411, 212 dan sejenisnya, juga kalahnya Ahok-Djarot dalam Pilkada Jakarta tentu bisa memberikan gambaran bahwa peta pertarungan suara akan memperebutkan suara Islam Moderat. Bisa dipastikan barisan Islam yang selama ini berjaringan dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) akan berafiliasi dengan kubu oposisi, begitu juga dengan yang memang sudah sejak awal tidak memilih Jokowi, kembali akan merapat ke kubu oposisi.

Barisan Nahdhatul Ulama, meskipun tidak seluruhnya mendukung Jokowi, namun mereka merasa memiliki kewajiban untuk berada pada kubu berseberangan dengan kubu yang didukung oleh Islam yang beraliran takfiri atau anti keragaman. Bagi mereka, negara dan keislaman adalah hal yang tidak bisa dipertentangkan satu dengan yang lain.

Masih banyak lagi suara Islam moderat di seluruh Indonesia yang belum tentu mengalir ke Jokowi. Di sinilah pertarungan sesungguhnya akan terjadi. Tercatat sebaran mereka mulai dari Sumatera, Jakarta, Jawa Tengah, Jogjakarta, Solo dan beberapa kota besar lainnya. Ini adalah kantong-kantong perebutan kursi dan suara.

Dilema tersendiri akan terjadi di kubu Koalisi Indonsia Hebat (KIH), partai yang bernafaskan Islam mayoritas dikuasai PKB, sementara kubu nasionalis akan terbagi ke PDIP, Nasdem, Hanura, PKPI dan pendatang baru PSI besutan Grace Natalie. Jika pemilih religus dan menyukai Jokowi, maka mereka akan memilih PKB, sementara jika dia seorang nasionalis maka belum tentu pilihannya jatuh ke PDIP, bisa jadi ke PSI sebagai alternatif baru.

Artinya sebenarnya, bisa terjadi kejutan dalam Pemilu 2019 yang akan datang, terutama dalam konfigurasi perolehan suara Partai Politik untuk legislatif. Semakin Partai yang kini memiliki kursi di DPR RI menunjukkan wataknya yang arogan, maka peluang partai baru untuk mendapat simpati publik akan sangat besar.

Jokowi, PDIP dan PSI

Jokowi pasti akan sedikit direpotkan oleh syarat dukungan 20% suara Parpol dan 25% kursi DPR RI. Bukan karena sulit mendapatkan dukungan 20% suara, namun karena harus kembali melakukan kompromi politik dengan partai-partai pendukungnya. Jokowi dengan kerja yang luar biasa cepat, diikuti dengan pemerintahan yang bersih dan komitmen kuat menjaga keutuhan NKRI dan Pancasila, tampak sangat selaras dengan apa yang memjadi pegangan teguh Megawati Soekarnoputri.

Namun, PDIP sebagai partai politik tampaknya tidak begitu mampu melakukamn kapitalisasi kekuatan itu, dalam beberapa kesempatan PDIP tampak seperti berseberangan dengan keputusan pemerintah. Dalam hal komitmen pemberantasan korupsi dan perlawanan terhadap Intoleransi, tampak PSI lebih mampu melakukan inovasi gerakan, apalagi kekuatan media social mereka sudah jauh melampaui partai lain. Menurut data INTRANS per Maret 2017, jumlah audiens dan keterlibatan orang di media social, menempatkan PSI sedikit lebih unggul dari PDIP dan kini berada di posisi kedua di bawah Partai Gerindra. Sementara PDIP dibayang-bayangi oleh PKS dan Demokrat.

Kelebihan PSI adalah karena mampu menunjukkan dirinya sebagai satu-satunya partai Baru dan muda. Konsistensi pesan, inovasi teknologi, komunikasi politik, dan keberanian melakukan gesekan politik menjadi catatan penting bagi partai lainnya. Namun tentu PSI tidak mudah untuk merebut brand “berpengalaman di pemerintahan” yang dimiliki oleh PDIP misalnya. Namun “berpengalaman” bisa menjadi konotasi negatif jika tidak dikomunikasikan dengan baik oleh PDIP.

Jokowi membutuhkan suara kelompok nasionalis, dan itu mayoritas akan diambil oleh PDIP, begitu juga Jokowi membutuhkan PKB, jika bisa PAN dengan tentu mengharapkan gerbong pemilih Muhammadiyah ikut serta didalamnya (meski PAN tidak pernah merupakan saluran suara tunggal Muhammadiyah).

Dan. mengingat angka bonus demografi Indonesia yang menempatkan pemilih muda sebagai pemilik suara mayoritas di 2019, maka suka tidak suka Jokowi membutuhkan PSI untuk berada dibarisan pendukungnya.

Menghadang populisme kanan

Pilkada DKI Jakarta ternyata tidak begitu berpengaruh terhadap konfigurasi pilihan politik di tingkat nasional. Namun meski demikian, setidaknya Jokowi harus lebih waspada dan taktis, sebab kekuatan yang sama akan dihadapinya di Pemilu 2019 yang akan datang. Membubarkan HTI tentu tidak cukup, namun bagaimana melakukan konsolidasi politik terhadap relawan-relawannya yang kini tersebar dimana-mana. Begitu juga merapikan kembali struktur koalisinya dengan menghitung kekuatan dan potensi suara lain yang belum pernah serius terpikirkan karena sibuknya kerja kenegaraan.

Jokowi pasti sudah paham, bagaimana fakta pemilih Jakarta yang begitu rasional bisa kalah oleh sebuah gerakan pemenangan yang nyaris tidak terduga akan digunakan pihak lawan Ahok dan Djarot saat itu. Dalam politik cara lama selalu digunakan, namun dengan nama dan inovasi yang lebih baru. Persoalannya ini bukan hanya fenomena di Indonesia, tapi juga di Amerika Serikat dengan kemenangan Trump, dan juga ketika jajak pendapat di Inggris mengakhiri keanggotaan Inggris dari Uni Eropa.

Yang bisa kita lihat dari tiga kasus: Brexit di Inggris, Trump di Amerika, dan Anies-Sandi dalam Pilkada DKI Jakarta adalah bahwa kemenangan itu selalu menunggangi ketakutan yang paling mendasar dari identitas satu bangsa atau keyakinan. Ketika ketakutan itu mampu menarik ketakutan, trauma dan phobia yang langsung beririsan dengan identitas primordial, maka rasionalitas dalam menjatuhkan pilihan politik tidak akan bisa diprediksi dengan cara biasa.

Hal itu diperparah dengan kegagapan kaum pro-demokrasi untuk menjawab tuduhan-tuduhan teoritik mengenai kedekatan demokrasi dengan kapitalisme yang kemudian juga melahirkan ketimpangan sosial dan ekspolitasi dimana-mana. Demokrasi juga mendapatkan kritikan tajam, bagaima mungkin sistem demokrasi mampu melahirkan perang dan arogansi politik diberbagai belahan dunia. Apalagi jika kemudian demokrasi juga dituding sebagai penyebab terjadinya perpecahan politik di Jazirah Arab yang meningkatkan ketegangan Timur dan Barat, serta juga dunia Islam dengan dunia lainnya.

Namun disela ketegangan dunia baru itu, muncul fenomena Jokowi di Indonesia, Trudeau di Canada  dan Macron di Perancis. Secara singkat ketiganya mencoba mengambil alih kendali demokrasi dengan menorehkan kemenangan yang mengesankan di negara masing, masing. Mereka hendak mengakhiri sinisme banyak orang terhadap demokrasi. Mereka menunjukkan bahwa selain hal yang buruk, demokrasi masih melahirkan juga hal-hal yang baik.

Demokrasi tidak pernah menutup pintu harapan, sekecil apapun itu, setiap kemungkinan bisa menjadi kenyataan baru.

Oleh Ramli Husein

Pemimpin Redaksi Koran Solidaritas

Koran Solidaritas

Jokowi di Mata Generasi Muda Peduli Lingkungan
Blog Solidaritas Koran Solidaritas

Jokowi di Mata Generasi Muda Peduli Lingkungan

Opini Koran Solidaritas, Edisi ke-12

Presiden Joko Widodo atau biasa disapa Pak Jokowi adalah harapan para pemerhati lingkungan. Bagaimana tidak, Pak Jokowi adalah lulusan Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, paham mengenai ekologi, sehingga para pemerhati lingkungan menantikan kebijakan-kebijakan pro lingkungan dari Pak Jokowi.

Pak Jokowi punya kharisma tersendiri di mata generasi muda, karena beliau dinilai berjiwa muda dengan figurnya yang menyukai musik rock. Di sisi lain generasi muda adalah yang paling melek lingkungan. Generasi muda melek lingkungan itu harus, karena generasi muda adalah pewaris bumi, kita tentunya tidak ingin diwarisi bumi yang kotor penuh sampah dengan sumber daya alam yang habis terkuras, karena itu generasi muda adalah yang paling keras jika berbicara masalah lingkungan.

Segera setelah dilantik pada 20 Oktober 2014 Pak Jokowi lalu mengumumkan kabinet kerja pada 26 Oktober 2014, pada awalnya para pemerhati lingkungan tidak tahu harus sedih ataupun senang dengan disatukannya 2 kementerian besar Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Agraria dan Tata Ruang. Kementerian Lingkungan Hidup yang menyatu tersebut dianggap akan melemah, meski begitu dapat diharapkan bahwa permasalahan lingkungan kebakaran hutan yang mencoreng nama Indonesia di mata dunia dapat teratasi.

Namun, para pemerhati lingkungan tentunya menyambut gembira Kementerian Agraria dan Tata Ruang yang diharapkan akan menyelesaikan permasalahan pelanggaran rencana tata ruang yang dianggap sebagai permasalahan lingkungan paling serius, dengan menghilangnya sempadan sungai, danau dan pantai ataupun masalah konversi hutan menjadi wilayah terbangun.

Jadi pada masa awal pemerintahan Pak Jokowi para pemerhati lingkungan masih harap-harap cemas terhadap kondisi lingkungan berbagai kritik dan saran pun berseliweran menghiasi sosial media. Namun puncak dari hal ini adalah kebakaran hutan yang terjadi pada Juni – Oktober yang menghanguskan 2,6 juta hektar lahan (setara dengan 450% luas pulau Bali) dan menimbulkan kerugian 221 Triliun Rupiah. Hal ini menimbulkan kekecewaan luar biasa para pemerhati lingkungan, kementerian yang dirombak digabung dan dipecah memang membuat perkerjaan banyak terhambat hal teknis dan hasilnya lingkungan kita harus tercederai sebesar itu.

Meski begitu Pak Jokowi membayar ini semua dengan hadir pada Conference of Parties to the United Nation Convention on Climate Change 21th (COP 21) di Paris pada tanggal 30 November 2015 dan menyampaikan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi sampai 29% pada tahun 2030 yang menjadikan Indonesia salah satu negara berkembang dengan komitmen yang tinggi.

Komitmen itu lalu disahkan dalam kerangka legal dengan Undang-undang nomor 16 tahun 2016. Sampai di sini para pemerhati lingkungan boleh bersenang hati bahwa perbaikan lingkungan akan segera terjadi di Indonesia. Perlahan tapi pasti Pak Jokowi berkerja, tanpa memikirkan kritik dan saran dari berbagai pihak, Pak Jokowi hanya berkerja dan pekerjaannya mulai menunjukkan hasil nyata.

Masalah kebakaran hutan juga dibereskan Pak Jokowi pada tahun 2016 dengan prestasinya menurunkan luas areal yang terbakar sebesar 82,83%. Sampai di sini saya pikir saya tidak bisa tidak memberi pujian untuk kinerja Pak Jokowi, Pak Jokowi rupanya berkerja dengan sangat rapih berbekal kejadian di tahun sebelumnya.

Untuk tahun 2017 sendiri pada 23 januari 2017 Pak Jokowi memberikan pengarahan pada rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Saya mulai paham di sini bagaimana cara berkerja Pak Jokowi yang tekun dan teliti sampai ke detailnya tanpa memperdulikan kabar berita yang berseliweran tentang dia.

Gebrakan lain yang dilakukan Pak Jokowi adalah melakukan pembangunan yang menyeluruh bukan hanya infrastruktur yang beliau bangun tapi juga superstructure dalam artian jiwa dan karakter manusia Indonesia. Hal ini pertama tercermin dalam Indonesia yang memiliki Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, tapi hal ini dikukuhkan dengan ditandatanganinya Instruksi Presiden nomor 12 tahun 2016 tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental pada 6 Desember 2016.

Para pemerhati lingkungan boleh bersuka cita karena salah satu dari 5 gerakan amanat Inpres ini adalah Gerakan Indonesia Bersih yang di leading oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman (Kemenko Maritim).

Penunjukan Kemenko Maritim sebagai panglima Gerakan Indonesia Bersih sangat tepat karena sampah yang paling mengkhawatirkan adalah sampah di laut dunia. Laut dunia sudah dicemari oleh microplastic yang merupakan hasil dari plastik yang terurai, pada tingkat mikro plastik ini masuk pada rantai makanan. Plastik mikro ini termakan oleh ikan kecil, lalu ikan kecil dimakan ikan besar, terus saja masuk ke rantai makanan sampai akhirnya termakan manusia yang suka menyantap hidangan laut.

Lebih menakutkan lagi saat ini plastik mikro ini terurai lagi menjadi nanoplastic. Pada tingkat nano, plastik dapat masuk ke dalam (menembus membran) sel dan meniru hormon, hasilnya sel tersebut bisa berubah menjadi sel kangker. Semua masalah ini berawal hanya karena kita suka mengkonsumsi plastik sekali pakai (air minum dalam kemasan, snack, dll) dan membuang sampahnya secara sembarangan di sungai sungai yang membawanya ke laut.

Jadi bagi saya Pak Jokowi lewat pekerjaannya menyelamatkan lingkungan dengan caranya sendiri, dan pencapaian Pak Jokowi di bidang lingkungan hidup lebih dari sekedar aksi pungut sampah. Beliau mengurusi hulu sampai hilirnya, dari komitmen pemerintah, infrastruktur, sampai pada perilaku masyarakat pun dipikirkannya.

Saat saya sebagai aktifis lingkungan rapat di Kemenko Maritim bersama komunitas lainnya, kami tidak melihat adanya air minum dalam kemasan (baik yang botol ataupun gelas) semuanya menggunakan gelas beling, ini saja menurut saya adalah kemajuan besar dalam upaya penyelamatan lingkungan hidup di Indonesia. Salam Solidaritas Lingkungan Hidup!

Penulis Mikhail Gorbachev Dom

Dewan Kota Cerdas Bekasi Komisi Energi & Lingkungan Hidup,

Koordinator Adaptasi Perubahan Iklim APIKI Network Jawa Bagian Barat

GALERI PSI

Menuju Politik Yang Jokowi
Koran Solidaritas

Menuju Politik Yang Jokowi

Editorial Koran Solidaritas, Edisi ke-12

Dalam tata Bahasa Indonesia dikenal istilah akhiran atau sufiks, yakni imbuhan yang ditambahkan di akhir kata. Sebut saja yang berkaitan dengan kata benda misalnya: pikiran, hadirin, rohaniawan, makanan, minuman, dan seterusnya. Atau ada juga yang berkenaan dengan kata sifat: nasionalisasi, intoleransi, parlementer, elementer dan lain-lain.

Selain itu, salah satu yang banyak digunakan adalah akhiran yang berbunyi ‘wi’ seperti manusiawi, duniawi, dan kimiawi. Tidak terdapat perubahan makna bagi kata yang diberi akhiran. Penambahan akhiran ‘wi’ untuk mempertegas pengaruh sebuah benda terhadap sifat. Kimiawi adalah mempertegas bahwa sifat atau proses yang terjadi merupakan bagian dari benda-benda kimia. Manusiawi berarti sifat yang dimaksud secara umum memiliki kesamaan atau seperti yang terdapat pada manusia.

Joko adalah salah nama yang popular digunakan di Indonesia, selain nama Muhammad, Agus, Surya, Udin dll. Sebut saja tokoh-tokoh nasional seperti Djoko Santoso, Djoko Susilo, Joko Anwar dan terakhir Presiden RI ke-7 Joko Widodo atau akrab disapa Jokowi. Bisa diartikan bahwa Joko dengan akhiran ‘wi’ menunjukkan sifat seperti atau serupa dengan Joko.

Joko dalam bahasa Jawa adalah nama anak laki-laki muda, pemuda, anak muda, atau anak muda sukses. Joko juga lebih populer sebagai nama depan, hampir tidak pernah sebagai nama belakang, meski kadang ditemukan berada di tengah. Merujuk arti dan karakter yang melekat pada nama Joko, jika ditambah akhiran ‘wi’ maka bisa diterjemahkan sebagai tindakan yang mencerminkan kemudaan, kegagahan, ulet, pantang menyerah dan selalu terdepan. Karenanya Jokowi seharusnya juga adalah harapan, jika harapan kita maknai sebagai akibat yang muncul setelah tindakan dan kerja, bukan dari proses termenung.

Karakter jokowi tampaknya bisa kita lihat terpancar dari tindakan dan kerja dari Presiden RI yang ke-7 Joko Widodo. Kemudaannya tidak bisa disembunyikan, tertawa dan mencari hal lucu yang terselip dalam rutinitasnya setiap hari menunjukkan bahwa Joko Widodo bahagia menjalankan tugas-tugasnya. Dia bekerja nyaris tak berhenti, menteri-menteri dipaksa mengikuti ritme Sang Presiden, wajar beberapa `tokoh senior agak kewalahan mendampingi presiden.

Joko Widodo punya mimpi membawa Indonesia sebagai poros maritim dunia, namun pekerjaan rumah tentu tidak sedikit: konektivitas barat-tengah-timur Indonesia harus segera dibereskan. Satu karakter yang membedakan anak muda dan politisi senior adalah tentang bermimpi. Politisi senior terlalu ribet dengan tata krama politik, sehingga melambatkan gerak bahkan terkadang mematut-matutkan diri menjadikan kemasan lebih utama dibandingkan substansi.

Pertanyaannya sekarang, jika politik tertinggal dibelakang Joko Widodo, atau dalam kata lain jika partai politik tidak mampu melakukan reorganisasi dan modernisasi dalam gerak langkah politiknya atau menjadi partai politik yang lebih Jokowi daripada Joko Widodo, maka itu bisa dikatakan partai politik sebagai titik pijak harapan kewargaan akan tertinggal jauh. Karena tertinggal, parpol lalu bisa menjelma menjadi veto actors dalam pergaulan demokrasi Indonesia modern.

Saya tidak mengatakan bahwa semua parpol di Indonesia saat ini berupaya menjadi veto actors, namun kecenderungan mengutak-atik aturan hukum pemilu, pelemahan KPK oleh DPR-RI adalah sedikit dari sekian banyak contoh Lembaga legislatif tersebut mencoba mempertahankan gaya politik lamanya, ketimbang melakukan perbaikan dari dalam. Wajar kemudian publik menempatkan DPR sebagai lembaga paling tidak dipercaya publik pada tahun 2016. PDIP sebagai partai asal Joko Widodo harusnya mampu lebih Jokowi ketimbang parpol lainnya, dalam beberapa kesempatan PDIP justru terkesan malah mengawasi Pak Jokowi, sehingga wajar jika kemudian Golkar, Nasdem, Hanura merasa lebih Jokowi ketimbang PDIP.

PDIP tentu punya perhitungan sendiri, namun waku terus bergulir dan parpol lain sudah lebih dulu mengambil ceruk “paling Jokowi” itu. Terlepas dari itu semua, Presiden Joko Widodo sebaiknya menyiapkan diri lebih baik pada tahun 2019. Pilkada DKI Jakarta 2017, membuktikan bahwa kerja keras dan prestasi masih belum mampu membendung isu-isu politik yang menggunakan sentimen SARA sebagai bahan kampanye.

Joko Widodo harus menghitung Parpol diluar PDIP (dengan asumsi PDIP sudah pasti mencalonkan kembali Joko Widodo sebagai Presiden 2019) yang paling memiliki karakter muda, terdepan, pekerja keras, tangguh dan ulet. Yang terpenting adalah partai yang memiliki mimpi yang sama dengan Joko Widodo dan tidak berpotensi menjadi veto actors dalam postur demokrasi Indonesia yang Jokowi.

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sebagai partai baru yang sudah menyatakan akan mencalonkan Joko Widodo adalah pilihan yang bijak. Sama merah, sama mimpi, satu senior, satunya muda. PDIP membutuhkan citra muda dan baru, dua hal yang tidak mungkin dibangun dalam waktu dekat. Sementara PSI membutuhkan citra berpengalaman menjalankan kekuasaan, juga tidak mudah membentuknya dalam waktu dekat.

Joko Widodo tentu tidak melihat parpol di Indonesia sebagaimana Emmanuel Macron melihatnya di Perancis sana, ketimbang ikut karam bersama kapal, Macron memilih membangun En Marhce, meski baru namun lebih dekat kepada makna “politik yang Jokowi.” Politik yang muda, berani, cepat, kerja keras, ulet dan tangguh. Lalu karenanya maka politik bisa menjadi harapan yang selalu berada paling depan dalam sebuah mimpi mewujudkan: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Galeri PSI

Mau Bagaimana Gerakan Generasi Milenial Indonesia?
Blog Solidaritas Koran Solidaritas Opini

Mau Bagaimana Gerakan Generasi Milenial Indonesia?

Opini Koran Solidaritas Edisi 11, 2017

Belakangan ini kita sering menyaksikan bagaimana kebiasaan sosial anak-anak muda lewat sosial media begitu nyata. Kita pun melihat terjadinya perubahan. Banyak gerakan sosial berupa aksi-aksi lokal menonjol di kalangan anak muda. Kebiasaan kolektif mereka tersusun dari kebiasaan-kebiasaan individu mengelompok meski seperti tak beraturan. Generasi terkini menggunakan internet dan media sosial untuk gerakan–gerakan itu.

Beberapa contoh terlihat dari aksi-aksi penggalangan bantuan ala anak muda yang digerakkan lewat gadget, seperti donasi untuk orang-orang yang membutuhkan karena faktor ekonomi atau keterbatasan mental dan fisik. Bukan hanya bantuan semacam sedekah rombongan, gerakan membangun kesadaran publik juga muncul beriringan, seperti ada komunitas “Daripada Ngemis”, gerakan ini mengajak netizen yang banyak bergerak di sosial media Instagram untuk membeli produk/jasa dari siapa pun yang tertangkap kamera dan di upload. Banyak sekali aksi sosial semacam itu, ada pula komunitas mengajar dan traveling yang aktif lewat akun @1000_guru. Inilah gejala sosial baru di Indonesia, gerakan kolektif kaum muda yang bersifat lokal tapi ada di mana-mana.

Gerakan sosial kekinian, layak disematkan pada aktivitas generasi milenial ini. Gerakan sosial itu bisa saja menjelma jadi beragam bentuk, termasuk dalam kehidupan politik. Sudah nampak terlihat oleh kita saat seorang anak muda di Hongkong mampu memimpin sebuah aksi dengan simpati yang besar. Tak mustahil, gerakan sosial anak muda milienal Indonesia akan muncul menyeruak, cepat, lebih masif dan mengagetkan banyak pihak. Dapat dikatakan demikian karena faktor pendukungnya sudah tersedia seperti jaringan internet dan sosial media sangat cepat menjangkau kemana saja, gerakan yang menyulut  emosi dan simpati kemanusiaan akan cepat menyebar menjadi viral.

Jika anak muda Indonesia pada masa sebelum kemerdekaan mempunyai isu soal kemerdekaan sebuah bangsa, lalu pada masa sebelum tumbangnya orde baru mempunyai isu besar perubahan atas tirani Soeharto. Maka saat ini kesadaran generasi milenial sesungguhnya sadar jika ada kondisi yang tidak nyaman.  Ketidaknyaman generasi pada fakta adanya korupsi, ketimpangan, intoleransi, hingga masalah ekonomi, menjadi nyata dalam beragam ekspresi.

Kalau ada yang bilang anak muda sekarang tidak sama daya kritisnya dengan anak muda zaman dulu, bisa dipastikan yang bilang begitu adalah orang yang kurang gaul dalam dunia kekinian, dunia para generasi milenial.

Anak muda saat ini lebih baik gizinya, bro! Lebih kritis, lebih canggih, bahkan bisa bertindak di luar kebiasaan. Lihat saja ketika ada kasus merusak kamera pewarta TV, berbondong-bondong kritik muncul, bahkan lebih dari sekedar kritik. Namun, pada kasus intoleransi, apakah semua teriak? Pada kasus korupsi besar semacam E-KTP kok diam?

Kini semua mudah diakses, kejadian-kejadian penting di negeri ini cepat didapat, generasi muda sekarang nyaris tanpa sekat soal informasi. Orang-orang di Jakarta belum tentu lebih duluan mengakses berita soal operasi tangkap tangan oleh KPK. Sekarang, persoalan informasi hanya soal siapa yang duluan mencari tahu. Nah, generasi milenial bukan diam tanpa makna, mereka sesungguhnya tahu atas yang sedang terjadi, mereka diam bisa jadi jengah dengan situasi seperti itu.

Kita dapat melihat denyut protes-protes kecil  kalangan muda Indonesia, hal itu sesungguhnya protes besar mereka pada sistem dan kondisi yang sedang berjalan. Kesadaran kolektif sesungguhnya akan berproses dan menemukan bentuknya dikalangan anak muda Indonesia.  Namun, jika tidak ada yang mempersatukan mustahil menjelma menjadi perjuangan kebajikan yang manis buahnya.

Menjadi  pertanyaan sekarang, gerakan apa yang akan muncul dari kaum muda Indonesia? Apakah PSI mampu menjadi penghubung atau bahkan katalisator sehingga gerakan generasi milenial Indonesia menjadi lebih progresif. Ayo, mau bagaimana gerakan generasi milenial Indonesia?

Oleh Rano Rahman

Sekretaris Umum Dewan Pimpinan Wilayah PSI Kalimantan Tengah

Galeri PSI

Republikanisme Milenial
Blog Solidaritas Koran Solidaritas Opini

Republikanisme Milenial

Opini Koran Solidaritas Edisi 11, 2017

Padi tumbuh tidak berisik”

(Tan Malaka, Naar de Republiek -1925)

Kanton 1925, ketika situasi dunia paska perang dunia pertama. Tan Malaka berupaya berfikir soal negeri dan bangsanya yang sedang dijajah Kolonial Belanda. Situasi dunia yang sedang tidak menentu, banyak negara miskin akibat kerugian perang, begitu juga populasi manusia yang berkurang akibat kematian.

Dalam situasi itu, Tan Malaka melahirkan beberapa tulisan progresif dan salah satunya adalah Naar de Republiek (Menuju Republik Indonesia). Posisi Republikanisme Tan Malaka yang akan menjadi pintu masuk kita menjelaskan soal Republikanisme Milenial.

Sebagai seorang warga dunia, Tan Malaka selalu berangkat dari analisis pergolakan dunia yang sedang terjadi. Dan Jelaslah bahwa memang situasi dunia sedang dirundung kegamangan paska perang usai. Problem Indonesia (pada saat itu masih disebut Hindia Belanda), adalah sebuah situasi kolonial yang telah terjajah selama 300 tahun lamanya. Dalam situasi ini, Tan Malaka melakukan dua hal besar pada waktu yang bersamaan. Provokasi kemerdekaan dan konsep sebuah negara. Naar de Republik, berfungsi atas dua hal tersebut.

Republik dalam bayangan Tan Malaka, adalah sebuah tatanan bernegara yang berporos langsung pada rakyat. Rakyat diletakkan sebagai subjek otoritas utama menentukan arah tujuan negara. Oleh karenanya, tentu rakyat membutuhkan sebuah wadah organisasi politik. Dan itu adalah sebuah partai politik yang terorganisir dengan baik, beserta platform perjuangan. Dalam penjelasannya partai yang dimaksud tidak harus masuk dalam sebuah politik elektoral, tetapi partai yang selalu melakukan pengorganisirian rakyat akar rumput.

Organisasi rakyat dalam Naar de Republiek, bukan sekedar berdasar analisis kelas Marxisme klasik. Di mana teori antagonisme antara proletariat (buruh/tani) dan borjuasi (pedagang/industrialis). Melainkan republik yang dibangun dengan kesadaran solidaritas nasional. Republik berdasar solidaritas nasional, adalah perhimpunan gerakan massa antara buruh, petani, kelas menengah pedagang (partikelir), dan kelas menengah terdidik (teknokrat).

Republik yang disuguhkan oleh Tan Malaka, adalah sebuah tatanan bangsa yang merdeka atas kehendak kolektif. Maka sematan kata solidaritas nasional menjadi penting dalam Naar de Republiek. Rakyat diartikan sebagai kelompok kolektif perjuangan kemerdekaan. Dalam hal ini Tan, membatasi kehendak bebas (individu) yang tersemat dalam tradisi pemikiran kaum liberal Eropa saat itu. Maka republik bukan saja sekedar wadah tawar-menawar kepentingan politik individu atau kelompok. Kendati, republik yang dibayangkan adalah mesin politik mutakhir yang mampu merobohkan benteng-benteng kolonialisme Eropa.

Tentu, pikiranya tidak datang tiba-tiba begitu saja. Sebagai generasi yang lebih dulu belajar ke Eropa sebelum Hatta dan Sjahrir, Tan Malaka lebih dulu belajar politik dan taktik perjuaangan. Sebenarnya, gagasan republik Tan cukup berarsir dengan Leon Trotsky dalam memaknai tugas dan fungsi negara.

Jika ditilik kembali dalam kacamata kini, pandangan Republik Tan Malaka tergolong pada posisi ideologis Libertarian-Socialist. Libertarian-Socialist cukup menjadi tren ideologi perlawanan sejak perang dunia pertama sampai pasca perang dunia kedua. Ideologi ini memperjuangkan kebebasan atau kemerdekaan, namun bukan berdasarkan basis individu tetapi azas kolektif atas tujuan berdirinya sebuah negara baru yang merdeka. Jika begitu Libertarian-Socialist menjadi sangat relevan dengan konsep ‘Solidaritas Nasional’ Tan Malaka.

Tawaran Baru

Mengurai Republikanisme Milenial setelah hampir satu abad terbitnya cetakan pertama Naar de Republiek, butuh bantuan kacamata post-modern untuk memahaminya. Ilmu pengetahuan dikejutkan dengan adanya digital deviden, di mana kemajuan teknologi telah merubah segala relasi sosial yang selama ini berlangsung dalam kehidupan dunia.

Dunia telah berubah sedemikian rupa, sehingga apa yang terjadi di pedalaman Amazon bisa kita nikmati dari pojok sofa rumah kita. Atau cerita dibalik biji kopi yang setiap pagi kita minum. Begitu juga relasi kuasa dan keabsahan informasi. Sebuah perdebatan politik dalam akun twitter, bisa berlangsung panjang hingga menjadi satu pristiwa politik yang insidental.

Riuh dan hiruk pikuk kosmopolitan, membuat orang menjadi semakin sibuk. Segala sesuatunya diukur atas ketepatan dan kecepatan. Maka informasi bohong pun tidak bisa dilawan, seperti jamur di musim hujan. Dan kita mengerti, mereka yang menjalani rutinitas seperti diatas ada dalam rentang usia 18-35 tahun. Atau, apa yang lebih mudah kita disebut Gen-Millennial (Generasi Milenial).

Dalam kondisi itulah Republikanisme Milenial hadir sebagai satu tawaran baru atas konsep republik yang paling mutakhir. Republikanisme Milenial secara ideologi bertumpu pada dua hal, politik kewarganegaraan dan negara kesejahteraan positif. Sedangkan secara sosiologi kekuasaaan, disokong oleh Gen-Millennial (populasi) dan kemajuan teknologi dan ilmu penghetauan (informasi).

Konstruksi warga negara bukan saja dilihat sebatas administratif, seperti halnya KTP atau Passpor. Politik Kewarganegaraan dipandang terbentuk dalam proses komunitarian. Organisasi atau komunitas kewarganegaraan, tidak bisa lagi dipandang secara parsial atas hak-hak individu anggota atau kepentingan kolektif organisasinya saja. Organisasi komunitarian juga harus bisa membayangkan isu-isu krusial yang melampaui ruang gerak pengorganisiran.

Dalam contoh kongkrit adalah apa yang telah dilakukan oleh change.org. Satu sisi gerakan itu terlihat sebatas dunia digital, tapi disisi lain gerakan petisi change.org bisa membatalkan sebuah perencanaan kebijakan publik. Politik konvensional kerap menilai itu sebatas tim hore anak-anak muda, yang berekspresi lewat media sosial. Tapi sesungguhnya itu adalah kekuatan politik alternatif masa depan. Dan Gen-Millennial dalam kerangka membangun pondasi itu.

Republikanisme Milenial memandang horizon kewarganegaraan dalam sebuah spektrum isu yang bisa beririsan satu sama lain. Jika meminjam istilah John Rawls dalam terma ‘origin position’, bahwa sebuah perjuangan politik kewarganegaraan harus berangkat dari posisi asali. Di mana posisi asali akan menjadi orientasi perjuangan, dan bagaimana publik secara luas bisa terlibat aktif maupun pasif.

Dengan bantuan facebook dan twitter misalnya, setiap individu warga negara memiliki ruang yang sama dalam membangun kritik dan dukungannya terhadap seorang figur publik. Contoh di Indonesia, gerakan 121 yang mengerahkan ribuan orang turun kejalan atau gerakan bunga ke Balai Kota tidak lepas dari pengaruh sosial media, juga generasi milenial yang terlibat aktif.

Dalam Republikanisme Milenial negara bukan saja didefinisikan sebagaimana teori-teori klasik tata negara. Negara dimaknai dalam sebuah imajinasi politik yang bisa melakukan distribusi kesejahteraan, penciptaan keadilan serta media aktualisasi intelektual. Negara adalah sebuah ruang yang perlu diisi oleh Gen-Millennial, dengan membawa agenda perjuangan kewarganegaraan. Terlepas atas siapa pun yang sedang berkuasa, proses pembobotan politik kewarganegaraan harus tetap berlangsung. Negara adalah ruang dialog, bukan absolutisme.

Meski begitu, pengorganisiran struktural masyarakat juga tetap memiliki peran penting dalam konteks Indonesia. Gen-Millennial memiliki kecenderungan rasional dan keingintahuan yang tinggi atas hal-hal baru. Pengorganisiran itu akan menemukan formatnya masing-masing; bisa dalam bentuk diskusi ringan bulanan, melakukan hobi bersama atau mengerjakan projek-projek menarik secara berkelompok. Metode pendidikan alternatif bisa menjadi jembatan antara hasrat Gen-Millennial dalam politik dan mewujudkan keadilan sosial progresif.

Boleh jadi banyak politisi senior akan memperolok-olok terma Republikanisme Milenial sebagai sebuah gagasan politik alternatif. Kendati satu hal yang harus mereka yakini, bahwa Gen-Millennial sedang meranjak vertikal dalam segala lini; ekonomi, politik, pendidikan dan kebudayaan. Dan pada waktunya, institusi negara yang aristokrat berubah menjadi lebih merakyat. Di mana matinya kesombongan kekuasaan berjubah kemunafikan agama beserta kegelimangan harta dan tahta. Di situlah Republik kita dibangun, saat kesederhanaan dan afirmasi intelektual menjadi sumber inspirasi.

Abi Rekso Panggalih

Sekretaris Jenderal Pergerakan Indonesia

Galeri PSI

Merebut Kembali Politik
Inspirasi Koran Solidaritas

Merebut Kembali Politik

Curhat Tsamara, Koran Solidaritas Edisi 11, 2017

“Jika kita frustasi melihat begitu banyak masalah di negeri ini, maka solusinya bukan berdiam diri sambil berharap seseorang akan menyelesaikannya”

Tsamara Amany

Tiga tahun lalu, saya memutuskan diri untuk sangat peduli tentang politik. Banyak tulisan saya yang tersebar di berbagai portal online. Selalu ada pro dan kontra terhadap setiap tulisan-tulisan saya. Hal itu wajar dalam demokrasi. Namun sering sekali kekesalan muncul ketika seseorang memberi saran kepada saya: “Jangan masuk politik! Politik itu kotor!”.

Saya percaya orang-orang yang menyatakan demikian adalah bagian dari orang-orang yang frustasi melihat kondisi perpolitikan Indonesia saat ini. Oligarki, korupsi, money politics, isu rasial, agama, fitnah dan hoax digaungkan ketika kampanye. Siapa yang tidak frustasi?

Tapi saya lebih frustasi melihat itu semua tanpa mampu berbuat apapun. Yang bisa saya lakukan adalah menulisnya dengan harapan banyak orang sadar dan tergerak. Tidak ada keputusan apapun yang bisa saya ambil karena saya bukan bagian dari sistem politik. Saya hanyalah warga negara biasa yang ingin membantu menyelesaikan masalah, namun tak memiliki kekuasaan untuk melakukannya.

Lalu ketika oligarki masih begitu langgeng, korupsi makin merajalela, dan kampanye menjadi ajang tebar kebencian, apakah kita justru menjauh dari politik dengan dalih bahwa ini adalah tempat yang kotor? Lagipula, benarkah politik adalah tempat yang kotor?

Jika kita frustasi melihat begitu banyak masalah di negeri ini, maka solusinya bukan berdiam diri sambil berharap seseorang akan menyelesaikannya. Ini sama saja seperti kita melihat sampah di depan mata kita kemudian ngomel-ngomel, tapi tidak mau membersihkannya karena kita merasa itu bukan tanggung jawab kita. Tidak bisa begitu! Masalah negeri ini tidak akan selesai jika semua warga negara tidak merasa bahwa ini tanggung jawab kita bersama sebagai bangsa.

Politik bukanlah tempat yang harus dijauhi. Sebaliknya, kita harus mendekatkan diri pada politik. Karena, untuk menyelesaikan berbagai persoalan bangsa yang kompleks, terjun dalam politik adalah cara yang paling masuk akal. Setiap keputusan yang ada di negara ini adalah keputusan politik. Mulai dari harga sembako hingga setiap barang yang kita pakai berasal dari keputusan politik. Politik adalah faktor penentu. Dan saya sendiri menolak untuk menjauh dari faktor yang menentukan bangsa ini ke depan.

Politik hakikatnya adalah tempat yang mulia. Bagi saya, definisi politik adalah kekuasaan untuk melayani rakyat. Bahkan saya berani mengatakan bahwa profesi paling mulia adalah politisi. Hanya dengan menjadi politisi, kita bisa membantu rakyat miskin, memberikan mereka akses pendidikan, kesehatan, dan pemakaman gratis, menentukan upah yang layak bagi buruh, memberi subsidi bagi petani,  membangun kultur birokrat yang melayani, membenahi ketertinggalan infrastruktur daerah-daerah pinggiran, serta menjamin bahwa hak-hak warga negara tidak terabaikan. Kita bisa melakukan semua ini tanpa mengeluarkan sepeser pun dari kantong pribadi. Yang kita lakukan adalah mengembalikan uang rakyat untuk kepentingan rakyat.

Menjadi politisi memberi akses kepada kita untuk mewujudkan sila kelima Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Memang semua ini tidak mudah karena harus melalui pertarungan keras dalam politik. Akan ada oknum-oknum yang mencoba menghambat niat luhur tersebut. Tapi ini bukan berarti politiknya yang kotor. Yang kotor hanyalah unsur-unsur tertentu. Bersih atau kotornya politik tergantung siapa yang berada di dalamnya.

Kalau kita memiliki niat baik untuk menolong hajat hidup orang banyak, maka politik akan menjadi tempat yang mulia. Sebaliknya, jika kita justru memiliki niat buruk untuk mengambil keuntungan pribadi, maka politik akan menjadi tempat yang kotor.

Tentu caranya haruslah terjun ke politik praktis. Agar dapat berkuasa untuk menolong banyak orang, kita harus menjadi bagian dari partai politik. Suka atau tidak suka, partai politik adalah instrumen penting yang ada dalam demokrasi. Kita tidak dapat menafikan peran partai politik dalam proses pengambilan keputusan di era demokrasi.

Memang sepertinya partai politik menjadi salah satu alasan mengapa politik saat ini dipandang kotor. Banyak kader-kader partai politik yang dijebloskan ke penjara karena korupsi. Rakyat pun mulai tidak percaya lagi terhadap partai politik. Survei SMRC Januari 2016 menunjukkan bahwa partai politik menduduki posisi terendah (52,9%) dalam survei tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga negara (https://www.google.com/amp/nasional.kompas.com/amp/read/2016/01/12/22100771/Survei.Tingkat.Kepercayaan.Pada.TNI.Paling.Tinggi.Parpol.Terendah)

Itulah mengapa partai politik yang terkesan kotor dan terlalu maskulin perlu disuntik nilai-nilai yang mengandung kebaruan. Perlu ada partai politik yang tidak menyandarkan badannya kepada tokoh-tokoh lama. Perlu ada regenerasi dalam partai politik Indonesia di mana anak-anak muda menduduki posisi penting.

Kita membutuhkan partai politik yang banyak memiliki kader-kader anak muda bersemangat, berkualitas, dan memiliki tujuan mulia yang jelas sebagai politisi. Anak-anak muda yang tau apa yang akan mereka lakukan jika terpilih menjadi anggota DPR, walikota, gubernur, dan mungkin di masa depan menjadi presiden.

Kita membutuhkan partai politik yang memiliki banyak kader-kader perempuan cerdas yang siap menduduki posisi penting di pemerintahan dan memenuhi parlemen agar hak-hak perempuan yang masih kurang diperhatikan dapat dicarikan solusinya dengan sungguh-sungguh.

Saya melihat nilai-nilai itu ada di PSI. Jika tiga tahun lalu saya memutuskan untuk peduli tentang politik, kali ini saya memutuskan untuk terlibat langsung dalam politik.

Meski suara-suara sumbang sudah mulai terdengar di seberang sana yang menyanyangkan saya harus terjun ke politik praktis dan berpartai, saya tidak akan mengubah keputusan ini. Saya tidak ingin sejarah mencatat nama saya sebagai seorang anak muda yang memilih berdiam diri. Saya ingin sejarah mencatat nama saya sebagai seorang anak muda yang berani berpolitik praktis untuk membawa perubahan bagi negerinya.

Ayo jadi bagian dari sejarah. Rebut kembali politik dan jadikanlah tempat yang bersih!

Tsamara Amany
Ketua Bidang Eksternal Dewan Pimpinan Pusat Partai Solidaritas Indonesia

 

Republikanisme Milenial: Kelahiran Kembali Solidaritas Kebangsaan
Diskursus Koran Solidaritas

Republikanisme Milenial: Kelahiran Kembali Solidaritas Kebangsaan

Diskursus Koran Solidaritas Edisi 11, 2017

Oleh Ramli Hussein
Pemimpin Redaksi Koran Solidaritas

Indonesia sebuah Solidaritas berwujud Republik

Indonesia hanyalah gambaran abstrak dalam benak para pejuang di bawah penjajahan dan eksploitasi Kerajaan Belanda. Harus diakui, nama HOS Tjokroaminoto merupakan orang yang paling serius menyiapkan kelahiran negara bangsa ini.

Di rumahnya, Gang Peneleh, Surabaya, Tjokro menanam benih-benih mimpinya. Tjokro seakan sudah merancang identitas kebangsaan itu sejak dini. Dari rumahnya lahir Muso, Agus Salim, Soekarno, Semaun, Darsono, Kartosoewiryo, Sampoerno, Abikoesno dll. Belakangan, anak-anak kos itu mencatatkan namanya sebagai tokoh-tokoh kunci dalam menyambung upaya Tjokro “membayangkan Indonesia.”

Di saat yang sama geliat dari kaum priyayi terpelajar mulai bangkit dengan berdirinya Boedi Oetomo pada tahun 1908. Dimotori Ki Hajar Dewantara, Douwes Dekker atau Setiabudi dan Dr. Soetomo, Boedi Oetomo berdiri dan bergerak pelan membangun kesadaran persatuan suku bangsa di nusantara.

Mimpi Boedi Oetomo dan mimpi dari Gang Peneleh (termasuk Sarekat Islam, Komunis, Sosialis dan Nasionalis) akhirnya saling bergayung sambut. Pada tanggal 28 Oktober 1028, Sumpah Pemuda dibacakan diiringi gesekan biola Wage Rudolf Supratman. Teks lagu Indonesia Raya pertama kali dipublikasikan oleh koran Sin Po dan rekamannya diperoleh pertamakali dari seorang pengusaha Tionghoa bernama Yo Kim Tjan.

Republik Indonesia adalah wujud solidaritas yang menjadi ciri khas republikanisme ala Indonesia. Makna republikanisme Indonesia tidaklah serupa ketika Cicero pertamakali menyebutnya, menurut Bung Karno republikanisme Indonesia adalah Res Publica yang bergerak tidak hanya di lapangan politik, tapi diseluruh lapangan politik, ekonomi, pemerintahan juga sosial.

Jadi, bicara tentang NKRI maka pada saat yang sama makna republik di sini adalah negasi dari segala bentuk yang berupaya menempatkan satu golongan, satu etnis, satu agama menjadi poros bagi identitas yang lain. Dalam bayangan tentang Indonesia, niat itu tidak relevan dan tidak memiliki tempat. Bahkan ketika kontestasi demokrasi dimenangkan oleh satu kelompok mayoritas dalam perolehan suara, UUD 1945 telah menutup kemungkinan perubahan itu dengan penjelasan pasal bentuk negara adalah satu-satunya pasal yang tidak boleh diubah.

Sekali lagi Res Publica!

Res Publica, sekali lagi Res Publica! Adalah judul pidato Bung Karno di hadapan Konstituante pada tanggal 22 April 1959 yang menjadi sejarah kembalinya Indonesia ke UUD 1945. Yudi Latif memberikan definisi tentang republikanisme sebagai berikut “Ide sentral dari republikanisme adalah penemuan kerangka solidaritas politik yang mampu melayani kepentingan umum sekaligus menjamin terjadinya integrasi sosial dari masyarakat yang mengalami ragam perbedaan.

Proyek republikanisme berusaha mewujudkan pengakuan politik (political recognition) dan politik pengakuan (politics of recognition) yang menjamin hak individu maupun kesetaraan hak dari aneka kelompok budaya sehingga bisa hidup berdampingan secara damai dan produktif dalam gelanggang republik.”

Republikanisme yang didasari pada solidaritas politik saling mengakui dan diakui sebagai entitas yang sama telah lahir lebih dulu sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) lahir. Republikanisme yang menginspirasi kemerdekaan Indonesia, republikanisme yang bukan keseragaman tapi pengakuan keragaman melalui sebuah pengakuan hak dan kewajiban yang sama. Republikanisme ini disemai oleh Boedi Oetomo, oleh penghuni Gang Peneleh, oleh Kongres Pemuda. Republikanisme yang didasari oleh musyawarah mufakat dalam Sidang BPUPKI, semangat Res Publica yang pada tanggal 17 Agustus 1945 “menyatakan dengan ini kemerdekaan Indonesia”.

NKRI termasuk struktur pemerintahan di dalamnya adalah sebuah sebab atau konsekuensi dari Republikanisme Indonesia. Karenanya dalam Pembukaan UUD 1945 disebutkan “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia,” di sini kata Republik belum digunakan sebagai penegasan bahwa NKRI adalah alat dari bangsa Indonesia untuk meraih cita-cita kemerdekaannya. Baru pada kalimat berikutnya ditemukan “maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat.”

Sekali lagi Republik Indonesia adalah pemerintahan yang dibentuk sebagai alat operasi kemerdekaan Indonesia, dengan kadaulatan rakyat sebagai sumbu utama.

Pribumi Hoax dan Kaum Khilaf Ah!

Berhembus dari rontoknya rejim totaliter di jazirah Arab, sebuah gagasan yang mencoba menyatukan manusia dari berbagai negara bangsa ke dalam sebuah sistem politik dengan poros agama Islam sebagai dasar negara, muncul di Indonesia. Ide Khilafah Islamiyah murni merupakan dinamika kontemporer yang baru masuk ke Indonesia akibat terdesak. Ide negara khilafah bahkan tidak menemukan jejak sejarahnya dalam kegiatan membayangkan Indonesia. Konsep Khilafah benar-benar adalah kekhilafan para tamu yang ingin menguasai rumah yang telah menerima dan menjamu mereka dengan baik.

Tamu bernama Khilafah Islamiyah ini lalu mencoba mencocok-cocokkan identitas mereka dengan penduduk kampung dengan maksud agar mudah diterima. Pencariaan mereka buntu setelah membaca risalah Sidang BPUPKI, di mana perdebatan tentang Negara Islam tidak pernah ada, yang ada hanya perdebatan teks semantik yang akan dicantumkan dalam UUD 1945. Itupun kemudian berujung pada musyawarah mufakat para tokoh Islam, keputusan diambil tanpa voting. Di tengah keputusasaan itu, mereka menemukan kosa kata “pribumi” untuk mulai menebar permusuhan dan mengambil alih kepemilikan dari tangan tuan rumah.

Sayangnya, kosa kata pribumi yang dekat dengan makna asli itu sudah lama dibahas oleh kaum republikan. Jejak perdebatannya bisa ditemui dalam Risalah Sidang BPUPKI/PPKI ketika membahas tentang tafsir warga negara Indonesia asli. Dalam Pasal 6 ayat 1 UUD 1945 disepakati kata warga negara Indonesia asli memiliki pengertian “Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.” Pasal ini kemudian di amandemen pada tahun 2002, seiring semangat reformasi kata “asli” dihapuskan dan disertai penjelasan “orang Indonesia yang menjadi warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri.”

Bahkan ketika kita menafikan konsitusi UUD 1945 sebagai kesepahaman hukum untuk hidup bersama, dalam konteks antropologis juga tidak ditemukan jejak penghuni asli nusantara kecuali ditemukan jejak homo erectus dan homo sapiens sebagai manusia pertama yang menduduki bumi nusantara yang kini bernama Indonesia, bahkan migrasi dari dataran Tiongkok masuk lebih dulu dari migrasi manusia dari jazirah Arab ke Nusantara.

Dari jejak antropologis yang secara ilmiah menyatakan tidak ada penghuni asli di bumi Indonesia, maka pijakan satu-satunya adalah sejak NKRI dideklarasikan sebagai negara merdeka 17 Agustus 1945. Maka jelas bahwa Pribumi atau Warga Negara Asli NKRI wajib merujuk ke Pasal 6 ayat 1 UUD 1945 amandemen ketiga beserta penjelasannya.

Minoritas Kreatif vs Kaum Republikan

Kelompok minoritas kreatif secara konsisten sering digunakan oleh Eep Saefullah Fatah, seorang intelektual muda, pengajar di Universitas Indonesia, namun gagal meraih gelar doktoralnya lalu kembali ke Indonesia mendirikan sebuah konsultan politik. Sejak tahun 2000 dalam bukunya “Mencintai Indonesia dengan amal” Eep sudah menggunakan istilah minoritas kreatif untuk memulai wacana penggalangan kekuatan oposisi setelah Megawati dan GusDur membentuk Kabinet Pelangi yang mengkomodir seluruh partai sehingga tidak ada kekuatan oposisi di parlemen.

Istilah minoritas kreatif secara konsisten digunakan Eep, bahkan mungkin diyakininya. Eep mungkin pertamakali mendengarnya dari Prof. Ahmad Suhelmi, Guru Besar UI yang mendalami tentang perseteruan kelompok nasionalis dan Islam di Indonesia. Kata minoritas kreatif lalu disambut luas oleh PKS, inspirasinya dari kultwit Eep yang diberi judul “Perdaban besar dan Minoritas kreatif.” Kata minoritas kreatif lalu diyakini Eep sebagai resep mengalahkan Ahok di Pilkada DKI Jakarta.

Kata minoritas kreatif ini sudah dikupas oleh Arnold J. Toynbe, sejarahwan dari Inggris pada sekitar 1934-1961. Toynbee menyebutkan bahwa keberadaan kelompok minoritas kreatif adalah sekelompok manusia yang berpikiran maju dan berbeda sehingga memungkinkan manusia keluar dari gaya hidup primitif. Eep juga mengutip Toynbee namun memuja keberhasilan Partai FIS di Aljazair merebut kekuasaan. Eep mengabaikan Toynbee, bahwa minoritas kreatif adalah kelompok yang memberikan kontribusi kepada publik, untuk membawa transformasi dari keadaan yang satu ke keadaan lain yang lebih maju.

Dalam kasus Pilkada DKI Jakarta, justru sebaliknya, cara-cara pemenangan politik yang primitif digunakan di era demokrasi modern, wajar jika akibat yang ditimbulkan malah destruktif. Masyarakat dipaksa untuk berhadap-hadapan dengan menggunakan fasilitas masjid untuk pemenangan politik.

Menerjemahkan kreatifitas sebagai penggunaan cara-cara primitif adalah penyimpangan dari makna minoritas kreatif itu sendiri. Minoritas kreatif seperti itu justru adalah kebuntuan kreatifitas dalam konteks negara Indonesia. Namun hal ini tidak sepenuhnya bisa dipersalahkan kepada mereka, kekuasaan orde baru selama 32 tahun telah meninggalkan lubang ideologi yang menganga.

Depolitisasi dan deideologisasi yang dilakukan orde baru membuat makna NKRI justru mengalahkan kepentingan publik. Rakyat dalam konsepsi Orba adalah subrodinat dari NKRI, jauh berbeda dari makna rakyat dalam republikanisme yang tertuang dalam UUD 1945.

Demokrasi Tanpa Republikanisme

Kemunculan tamu tak diundang dalam kehidupan bangsa Indonesia, bukan saja karena konteks Indonesia yang terintegrasi dengan dinamika internasional dan regional, bukan hanya berbentuk datangnya kaum dan ideologi Khilaf Ah, tapi juga bisa berbentuk individualisme dan sektarianisme.

Persoalan keadilan sosial dan ekonomi yang belum mampu diselenggarakan oleh pemerintah juga menjadikan isu pribumi dan non pribumi muncul sebagai ekspresi ketidakadilan ekonomi akibat sistem pasar yang buas dan kapitalistik. Ekonomi dunia yang berubah kemudian membawa perubahan besar dalam konteks ekonomi politik kawasan. Bandul ekonomi yang membawa China, India, Korea Selatan dan Rusia kembali ke papan atas membuat pilihan pemerintahan Jokowi lebih bervariasi, meski masing-masing memiliki konsekuensi dan berimbas pada dinamika politik dalam negeri.

Visi menempatkan Indonesia menjadi poros maritim dunia, membuat Presiden Jokowi mengebut infrastruktur dan konektivitas antar wilayah sebagai prasyarat utama jika ingin membalik visi pembangunan nasional dari darat ke laut. Nawacita sebagai poros nilai pemerintahan Jokowi tampaknya tertinggal dari visi pembangunan. Hal ini menyisakan ruang kosong yang memungkinkan serangan ideologis terhadap pemerintahannya untuk masuk. Namun Jokowi masih punya konstitusi dan Pancasila sebagai benteng terakhir untuk menyelesaikan sisa masa pemerintahannya.

Presiden Jokowi sudah lebih dulu memberikan peringatan dengan menyatakan “Demokrasi kebablasan,” tentu pernyataan ini mengingat fakta sejarah bahwa rejim Hitler bersama NAZI juga lahir dari proses Pemilu yang demokratis. Begitu juga dengan fenomena di Mesir, Aljazair dan Suriah. Pilkada DKI Jakarta adalah sinyal tanda bahaya bahwa kemungkinan prosedur demokrasi digunakan oleh kelompok anti demokrasi untuk membelokkan dasar negara bisa saja terjadi.

Itu adalah fenomena Demokrasi tanpa republikanisme, atau lebih tepatnya Pancasila tanpa Kaum Republikan, di mana prosedur demokrasi dibajak oleh kelompok intoleran dan anti demokrasi. Demokrasi tanpa republikanisme juga memungkinkan nilai Res Publica atau kebajikan bersama dibajak oleh kelompok politik tertentu yang menunggangi pemilu untuk kepentingan yang lebih sektarian.

Republikanisme Milenial: Kelahiran Solidaritas Kebangsaan Baru

Solidaritas adalah saudara kandung Republikanisme Indonesia, dia lahir bersama kemerdekaan rakyat Indonesia. Solidaritas itu tumbuh dalam tradisi musyawarah mufakat, yang memungkinkan founding fathers negeri ini mencapai kata sepakat dengan menyingkirkan ego dan identitas kelompok demi kepentingan bersama. Solidaritas demi hidup bersama dalam damai dengan mengedepankan cita-cita mencapai keadilan sosial membuat Indonesia tidak kehabisan kaum Republikan yang beragama Islam.

Gus Dur merumuskan hakikat politik Islam dalam hubungan trilogis antara syura (demokrasi), ‘adalah (keadilan) dan musawah (persamaan). Artinya, tujuan politik  Islam ialah keadilan sosial dan persamaan hukum yang ditegakkan melalui demokrasi. Juga Buya Syafii Maarif yang menempatkan Islam Indonesia yang ditopang oleh tiga nalar: keislaman, kemanusiaan dan ke-Indonesiaan.

Tantangan Indonesia ke depan sebagai bangsa adalah bagaimana merawat Kemerdekaan Bangsa Indonesia beserta seluruh cita-citanya dalam pembukaan UUD 1945 melakukan revitalisasi nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika menjadi satu nafas dengan republikanisme. Dalam konteks pemerintahan Jokowi, ambisi menjadi poros maritim dunia haruslah berjalan bersamaan dengan Revolusi Mental dan Nawacita Jokowi. Persoalannya, baik Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan Nawacita membutuhkan agensi sebagai prasyarat operasi nilai di masyarakat. Dalam konteks memperkuat agensi pendukung nilai kebangsaan inilah republikanisme menjadi relevan.

Yudi Latif memberikan petunjuk sejarah dengan menyatakan “landas pacu (launchpad) cita-cita republikanisme ini adalah Sumpah Pemuda. Setelah aneka pergerakan etno-religius gagal menyatukan berbagai keragaman posisi, determinasi dan aliran ke front perjuangan bersama (historical bloc), terbitlah kesadaran baru di kalangan pemuda-pelajar dari berbagai daerah untuk mengakui komunitas impian bersama: bangsa Indonesia.” Dengan kata lain, anak muda adalah sumbu utama dari kelahiran kembali republikanisme Indonesia yang baru.

Generasi milenial yang tidak seperti definisi minoritas kreatif yang digunakan Eep, sedang tumbuh menjadi mayoritas akibat bonus demografi. Mereka terkoneksi dengan sitem komunikasi dan gaya hidup yang sama sekali berbeda. Ekspresi pembongkaran kreatif (creative destruction) mereka bertranformasi dengan cepat, ekspresi kreatif ini menerobos (dalam Bahasa Yudi Latif) kecenderungan serba ragu, konformis, parokialis, dan status quois generasi tua. Keberanian kreatif ini merupakan energi yang sangat besar, ini bukan merupakan gumpalan generasi yang tidak suka pada hal-hal yang sektarian, namun pada saat yang sama juga tidak menyukai stagnasi dan kelambanan.

Kelahiran PSI misalnya adalah gelombang baru yang sama sekali menolak memiliki hubungan historis dengan partai politik lainnya. Begitu juga tumbuhnya generasi baru di Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, generasi industri kreatif, dalam dunia profesional. Semakin hari mereka menjadi barisan generasi yang bukan hanya sekedar marah, namun mampu menarik garis demarkasi dengan tradisi lama. Tentu pemerintah Indonesia perlu untuk menunjukkan keberpihakan kepada generasi milenial ini, itu jika Jokowi ingin mendapatkan dukungan luas dan kembali menjadi presiden pada Pemilu 2019.

Ahok tampaknya telah lebih dulu menjadi salah satu figur yang menyediakan diri untuk membidani lahirnya Kaum Republikan Indonesia baru. Jutaan lilin dari segala penjuru negeri adalah bentuk solidaritas kaum milenial yang menolak tunduk pada logika-logika sektarian, nalar pribumi vs non pribumi, nalar minoritas kreatif dan cara-cara curang yang dipraktekkan segelintir orang.

Indonesia kini sangat bergantung pada Kaum Republikan Millenial yang membawa lilin solidaritas baru yang menolak pengkhianatan terhadap Res Publica.

https://galeri.psi.id/koran-solidaritas/item/download/22_7e84eef99f40efc8fca2e8d0266e97c4

“Sekali Lagi, Res Publica!”
Koran Solidaritas

“Sekali Lagi, Res Publica!”

Editorial Koran Solidaritas – Edisi ke-11, 2017

Res Publica , sekali lagi Res Publica! Merupakan judul pidato Bung Karno dihadapan Konstituante pada 22 April 1959. Pidato ini mengingatkan bahwa Res Publica bangsa Indonesia tidak sama dengan Res Publica di Eropa yang hanya menganut kebajikan dan perlakuan setara dalam bidang politik, namun tidak di bidang ekonomi, sosial dan kebudayaan.

Bung Karno menegaskan, Res Publica Indonesia adalah menempatkan kepentingan publik sebagai tujuan utama diselenggarakannya pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karenanya, Bung Karno mengajak untuk kembali ke UUD 1945.

Munculnya kelompok yang mengklaim diri sebagai minoritas kreatif, yang maknanya adalah sekelompok masyarakat yang berpikiran maju yang akan membawa perubahan bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik. Eep Saefullah Fatah adalah orang yang secara konsisten menggunakan kata ini, teutama ketika menjadi arsitek pemenangan Anies-Sandi dalam Pilkada DKI Jakarta.

Meskipun pemaknaan Eep terasa lucu, karena Arnold J. Toynbee yang telah menggunakan istilah minoritas kreatif mendefinisikan bahwa yang  disebut kelompok minoritas kreatif adalag sekelompok kecil warga berpikiran maju dan menggunakan cara-cara kreatif dan memungkinkan manusia kebanyakan keluar dari cara-cara yang primitif. Sementara dalam kasus resep pemenangan Anies-Sandi di Jakarta, yang terjadi adalah kebuntuan kreatifitas sekelompok kecil warga yang akhirnya menggunakan cara-cara primitif untuk meraih kemenangan dalam era demokrasi modern.

Pilkada DKI Jakarta tidak hanya memenangkan Anies-Sandi lalu memenjarakan Ahok, Gubernur DKI Jakarta yang terkenal bersih dan membawa Jakarta menjadi Ibukota Negara yang lebih baik. Namun dengan memunculkan sentimen agama, serta belakangan menghadapkan publik pada tabrakan identitas dengan menguatnya wacana pribumi dan non pribumi, merupakan ancaman serius terhadap cita-cita kemerdekaan Indonesia yang menegaskan Res Publica atau publik/rakyat sebagai poros utama kedaulatan, kesejahteraan, dan keadilan.

Faktanya, itu adalah pembajakan prosedur demokrasi oleh kelompok intoleran untuk kepentingan golongan sendiri. Cita-cita kebajikan bersama yang bebas dari sekat etnis, agama, ideologi dan golongan, telah direnggut dan digunakan untuk kepentingan pemenangan politik. Bahka cita-cita keadilan sosial dikorbankan dengan dalih agama dan ketuhanan.

Semudah itukah merobohkan Indonesia? Tentu tidak. Konsitusi UUD 1945 tidak memungkinkan NKRI dan Pancasila untuk digantikan. Sekarang Indonesia berharap pada generasi milenial yang sedang menyalakan lilin keadilan dari berbagai penjuru negeri. Jutaan anak muda yang menolak diidentifikasi sama dengan generasi tua menuntut perubahan yang progresif. Di sanalah semangat kelahiran republikanisme baru diletakkan. Republikanisme yang dengan keberanian baru akan mendobrak cara lama, menolak nalar sektarian, apalagi logika hoax pribumi vs pribumi.

Kini, generasi milenial sedang bergerak membangun ekosistem baru, mereka adalah kekuatan tersembunyi yang kini bangkit untuk mengembalikan makna “kebajikan bersama” dan menuntut pemerintahan NKRI untuk segera menyelenggarakan keadilan sosial tanpa diskriminasi.

Lilin di tangan mereka adalah cahaya yang menegaskan penolakan mereka terhadap perilaku curang dan tidak adil. Pada titik ini, Ahok sudah menyediakan diri sebagai bidan kelahiran Republikanisme Indonesia di Abad Milenial. Pun penjara harus diterimanya, namun nilai kebajikan bersama yang telah menginspirasi kemerdekaan Indonesia harus kembali digaungkan.

Ini bukan soal Ahok, ini tentang Res Publica. Sekali lagi Res Publica!.

https://galeri.psi.id/koran-solidaritas/item/download/22_7e84eef99f40efc8fca2e8d0266e97c4