Setiap kali kasus pedofilia muncul, ide hukuman kebiri pun mencuat. Pernah pula ada usul hukuman kebiri kimia bagi pedofil-gagasan yang segera mengundang kontroversi. Terlepas dari pro-kontra semacam ini, yang pasti adalah perlu hukuman lebih berat bagi pelaku dan perlindungan maksimal bagi anak-anak.
Pada awal tahun ini sudah muncul tiga kasus pedofilia. Yang terbaru adalah sodomi 41 anak oleh seorang guru di Tangerang. Dengan memberikan iming-iming ajian “semar mesem” untuk memelet lawan jenis, pelaku memperdaya bocah-bocah berusia 10-15 tahun itu. Di Bandung, empat anak mendapat iming-iming hadiah PlayStation untuk beradegan seks dengan perempuan dewasa dalam tayangan video. Di Blok M, Jakarta, anak jalanan dicabuli oleh warga negara asing.
Selama ini Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memuat ancaman hukuman yang ringan bagi pedofil. Ancaman hukuman itu sebetulnya sudah diubah lewat UU No. 35 Tahun 2014. Sayangnya, yang diperberat hanyalah ancaman hukuman minimal, dari 3 tahun penjara menjadi 5 tahun. Adapun ancaman hukuman maksimal tetap 15 tahun.
Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat perlu mempertimbangkan untuk memperberat pula ancaman hukuman maksimal bagi pedofil, kendati tidak harus sampai pidana mati. Bagaimanapun, kejahatan pedofilia amat keji. Kejahatan ini sama bejatnya dengan melibatkan anak-anak dalam jual-beli narkotik, yang diancam dengan hukuman lebih berat, yakni penjara seumur hidup atau bahkan pidana mati.
Yang jelas, usul hukuman kebiri sudah ditentang banyak pihak. Pertanyaan yang sulit dijawab adalah, seberapa efektif kebiri mampu memutus mata rantai pedofilia? Belum lagi persoalan hak asasi manusia yang turut dibawa dalam perdebatan. Hukuman ini semakin mustahil diterapkan, mengingat Ikatan Dokter Indonesia pun menolak menjadi eksekutor pengebirian.
Di luar soal ancaman hukuman, upaya pencegahan juga harus ditingkatkan. Pemerintah perlu mendorong masyarakat agar melindungi anak anaknya. Tak ada salahnya kita mencontoh negara-negara maju yang sudah menerapkan aturan, di antaranya, tak memperbolehkan melepas anak-anak bepergian tanpa pendamping. Orang tua juga dilarang meninggalkan anak sendirian di rumah, mobil, ataupun tempat umum.
Pemerintah juga perlu memastikan korban kekerasan seksual dirawat secara maksimal. Sebanyak 20 korban sodomi oleh guru di Tangerang itu, misalnya, mengalami trauma hebat. Pemerintah daerah, juga institusi sekolah, perlu bergerak cepat membantu menvembuhkan trauma korban dan menjaga mereka dari kemungkinan perisakan oleh teman-teman mereka.
Undang-Undang Perlindungan Anak secara jelas menyatakan anak berhak mendapat perlindungan dari eksploitasi dan kekerasan, termasuk kejahatan seksual. Persoalannya, sudah seberapa serius kita melindungi anak-anak kita?
Sumber: Koran Tempo, 10 Januari 2018