Solidaritas Adalah Kunci Kemajuan Peradaban Bangsa Indonesia

Oleh Jeffrie Geovanie **

*Pidato pada acara Kopi Darat Pemenangan PSI Sumatra Barat, Padang, 3 Februari 2019.

 

Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh..

Sanak-saudara, tuan dan puan, serta bro dan sis pejuang solidaritas Indonesia yang saya hormati.

Tanah Minang adalah tanah para petarung. Kita mengenal banyak nama terkemuka yang ikut mewarnai kanvas sejarah Indonesia, lahir di tanah ini, tanah Minang. Sebut saja Tan Malaka, bapak Republik Indonesia, Mohammad Hatta penganjur pemberdayaan masyarakat dalam bidang ekonomi melalui koperasi, Sutan Sjahrir pemeluk teguh demokrasi bersendi kemanusiaan, Buya Hamka ulama serba bisa dengan karya-karya yang merentang mulai agama hingga sastra dan Rohana Kudus perintis pers nasional Indonesia.

Sebelum saya memulai lebih jauh, terlebih dahulu saya ingin melontarkan sebuah pertanyaan: mengapa tanah Minang ini di masa lalu melahirkan aktivis-aktivis politik yang progresif; terbuka terhadap beragam ide; memiliki cakrawala pemikiran seluas bentangan alam semesta, sementara kini kita agaknya terseok-seok mencari siapa dan kemanakah gerangan para ahli waris perjuangan mereka itu? Sehingga sumbangsih terbesar warga Minang kepada Indonesia di masa lalu tak lagi terulang di masa sekarang?

Indonesia pada mulanya sebuah ide. Ia datang dari renungan atas keadaan yang terjadi pada anak negeri di bawah kolonialisme yang penuh penindasan dan penghisapan. Gagasan menjelma menjadi sikap dan laku politik anti penjajahan yang  menggalang solidaritas sesama kaum terjajah untuk membebaskan diri dari cengkeraman penjajahan.

Saya mencatat ada empat tahap solidaritas yang menjadi embrio solidaritas kebangsaan Indonesia. Pertama, solidaritas kesukuan atau kedaerahan. Ini adalah kesadaran paling awal di Nusantara. Setiap daerah berada di bawah otonomi kerajaan dan kesultanan. Setiap kerajaan dan kesultanan memiliki kedaulatan dan kemerdekaanya sendiri sampai masa perniagaan dunia tiba, di mana kongsi-kongsi dagang Eropa berdatangan ke kepulauan Nusantara.

Pada awalnya hubungan yang terjalin antara penguasa kerajaan dengan kongsi dagang Eropa adalah hubungan dagang. Kerajaan mana pun bebas mengadakan hubungan dagang dengan bangsa-bangsa Eropa, mulai Portugis, Inggris sampai dengan Belanda. Namun persaingan dagang yang bermuara pada pertikaian bersenjata membuat mereka salih menyisihkan dan menyisakan kongsi dagang Belanda sebagai pemenangnya.

Realita historis menunjukkan bahwa kongsi dagang Belanda (VOC) tak semata ingin berdagang. Mereka ingin memonopoli perdagangan sekaligus menguasai wilayah Nusantara. Maka perlawanan terhadap dominasi tersebut tak bisa dielakkan. Solidaritas kedaerahan di bawah pimpinan para raja dan sultan bahu membahu melawan dominasi asing yang hendak merebut kedaulatan kerajaan di Nusantara.

Solidaritas yang dibangun oleh kesadaran etnis dan kedaerahan ternyata tidak mampu menumbangkan kekuatan kongsi dagang Belanda yang dilengkapi tentara bersenjata dan otoritas penggunaan mata uang sendiri. Tidak hanya konflik bersenjata secara frontal, kongsi dagang Belanda juga turut masuk ke dalam konflik internal kerajaan dan pertikaian antar kerajaan di Nusantara. Seperti halnya yang terjadi dengan Goa dan Makassar atau Yogyakarta dan Surakarta dalam perjanjian Giyanti 1755.

Solidaritas kedaerahan juga ternyata memiliki kelemahannya sendiri. Ia dibangun di atas kesadaran yang sempit, terbatas pada lingkaran kecil primordialisme serta semangat kedaerahan yang rentah dipecah belah. Solidaritas rapuh itu berakhir dengan penaklukan demi penaklukan yang dilakukan serdadu kongsi dagang Belanda.

Kedua, solidaritas keagamaan. Semangat keagamaan, khususnya Islam telah menjadi ruh semangat perlawanan terhadap dominasi penjajah yang semakin kukuh mencengkeram kepulauan Nusantara. Kita semua mengenal Imam Bondjol, pemimpin kaum paderi yang menentang dominasi penjajahan di tanah Minangkabau. Tidak bisa diingkari anjuran jihad fisabilillah membangkitkan semangat untuk melawan penjajah Belanda.

Atas dasar solidaritas keislaman jugalah Haji Samanhudi dari Solo mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) pada 16 Oktober 1905 sebagai response atas persaingan dagang terhadap perkumpulan niaga warga Tionghoa. Sarekat Dagang Islam kemudian bermetamorfosa menjadi Sarekat Islam pada 1912 dan tumbuh semakin besar di bawah kepemimpinan HOS Tjokroaminoto. Organisasi ini memperlihatkan betapa solidaritas Islam mampu mengikat hasrat setiap muslim untuk meneruskan perlawanan terhadap kolonialisme.

Tentu solidaritas berdasarkan keagamaan mengandung dinamikanya sendiri.  Sarekat Islam menunjukan kemampuannya untuk mengikat solidaritas kaum muslimin dalam kontestasi melawan kolonialisme, namun pula kerap diwarnai oleh konflik internal. Ada versi mengatakan perpecahan itu disebabkan masuknya ide-ide kiri ke dalam tubuh Sarekat Islam. Dan itu berhasil diselesaikan melalui keputusan disiplin partai pada 1921oleh Haji Agus Salim.

Kohesivitas gerakan berdasarkan keagamaan ternyata juga menemukan banyak persoalan, sementara itu kebutuhan untuk mengimbangi kekuatan kolonial semestinya melampaui sekat-sekat sempit yang justru berpotensi menyempitkan perlawanan terhadap kolonialisme itu sendiri. Mengapa demikian? Karena sejatinya kolonialisme Belanda atas Indonesia tidak hanya melakukan represi terhadap satu penganut agama atau menindas satu etnis saja.

Karena pada dasarnya kolonialisme dan imperialisme belanda adalah suatu sistem yang berlaku selama ratusan tahun untuk menguasai sumber-sumber produksi dan kekayaan di Indonesia. Akibat penghisapan atau penjajahan mendatangkan penderitaan bagi seluruh rakyat jajahan tiada mengenal batas-batas keagamaan, ras enisitas atau kedaerahan.

Seiring masuknya pemikiran modern tentang pembentukan negara-bangsa, kesadaran bersolidaritas pun mengalami perubahan. Selain itu cara kaum kolonial mengeksploitasi tanah Hindia Belanda dengan bertumpu pada jaringan negara kolonial semakin memperkukuh penjajahan di semua bidang kehidupan.

Dalam momentum historis itulah mulai tumbuh solidaritas ketiga yakni solidaritas etno-nasionalisme sebagaimana yang kita bisa temukan pada Boedi Oetomo. Etno-nasionalisme Jawa sebagaimana diusung oleh Goenawan Mangunkusumo dan Soetatmo berangkat dari kesadaran bahwa Jawa sudah cukup memadai sebagai bangsa yang mandiri dengan adanya kesatuan bahasa (Jawa) dan kebudayaan Jawa yang telah eksis selama berabad-abad lamanya.

Namun solidaritas etno-nasionalisme itu mendapat tantangan dari seorang pemikir Jawa lainnya yang bernama Tjipto Mangunkusumo. Dia mengatakan nasionalisme Jawa terlalu sempit dan membatasi partisipasi elemen bangsa jajahan lainnya yang tidak berasal atau berlatarbelakang Jawa. Tjipto datang dengan konsep solidaritas Hindia yang menaungi seluruh anak negeri Hindia Belanda tanpa dibatasi sentimen suku, etnis atau agamanya.

Apa yang diutarakan Tjipto adalah embrio gerakan  politik kebangsaan yang lebih luas lagi sifatnya. Maka sejak awal paruh pertama abad ke-20, solidaritas kedaerahan yang sebelumnya terlihat sebagi ciri khas organisasi kepemudaan seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumatranen Bond dan Jong Islamieten Bond tidak bisa menjawab kebutuhan untuk menghadapi kolonialisme.

Sejak saat itulah mulai berkembang solidaritas keempat sekaligus solidaritas pamungkas, yakni solidaritas Indonesia. Secara formal gagasan solidaritas Indonesia itu mewujud di dalam sebuah partai yang bernama Partai Nasional Indonesia yang didirikan oleh Bung Karno pada Januari 1927.

Langkah itu kemudian diikuti oleh penyelenggaraan kongres pemuda kedua 28 Oktober 1928 yang menghasilkan konsensus bersama sebagai satu bangsa yang bernama Indonesia. Inilah kontrak sosial pertama sebagai satu bangsa yang diikrarkan oleh mereka yang sebelumnya mengikat diri dalam solidaritas kedaerahan dan keagamaan.

 

Intermezo :

Dalam kongres Sumpah Pemuda itu itu mengenal nama Mohammad Yamin, seorang minang yang terinspirasi tokoh minang lainnya yang saat itu sedang berada di luar negeri sebagai seorang pelarian politik. Dialah Ibrahim Datuk Tan Malaka, urang awak kelahiran Pandam Gadang. Kabarnya, Datuk Tan Malaka memilih untuk hidup menjomblo karena tak bisa move on dari cinta pertamanya. Tragisnya, perempuan cinta pertamanya itu dikawin oleh seorang pria sunda dari golongan feodal. Konon, karena rasa sakit hatinya itu, jadilah Datuk Tan Malaka orang kiri yang memang menjadikan feodalisme sebagai musuh bebuyutan. Oleh karena itu hati-hati dengan hubungan cinta, karena bisa menjadikan kalian sebagai jomblo ideologis.

Lantas apa yang dilakukan Datuk Tan Malaka? Pada tahun 1925 Datuk Tan Malaka menulis sebuah brosur yang berjudul  Menuju Republik Indonesia, maka sejak saat itu kita mengenalnya sebagai peletak dasar bentuk ketatanegaraan Indonesia.

Solidaritas kebangsaan Indonesia yang lahir sejak Kongres Pemuda Kedua 28 Oktober 1928  menjadi tonggak penting dalam perkembangan kesadaran nasionalisme Indonesia. Kelak kesadaran itu semakin dipertegas kembali dalam pidato Sukarno 1 Juni 1945 yang mengusung konsep nasionalisme modern. Nasionalisme modern tidak lagi mendasarkan pada sentimen-sentimen kedaerahan, etnisitas, agama dan primordialisme.

Mengutip Ernest Renan, Sukarno mengatakan bahwa sebuah bangsa berdiri karena hasrat untuk hidup bersama dan mencapai tujuan bersama. Di atas prinsip-prinsip itulah bangsa Indonesia lahir sebagai sebuah bangsa yang merdeka pada 17 Agustus 1945.

Dengan semangat dan prinsip yang sama Partai Solidaritas Indonesia dibentuk, dengan tujuan merawat serta melanjutkan cita-cita para pendiri bangsa. Kelahiran Partai Solidaritas Indonesia di zaman milenial ini membawa tugas luhur untuk tetap memeluk teguh solidaritas kebangsaan Indonesia dan mengatasi tantangan-tantangan yang muncul pada abad revolusi industri 4.0 ini.

Kita telah mencapai kemerdekaan, yang menurut Bung Karno adalah jembatan untuk mencapai Indonesia yang adil, makmur dan berkeadilan untuk semua. Adalah tugas kita, kader Partai Solidaritas Indonesia untuk membangun peradaban Indonesia di masa kemerdekaan ini. Karena ternyata problem yang terhampar di seberang jembatan emas kemerdekaan itu masih banyak yang harus kita selesaikan.

Korupsi, musuh utama kita semua, menghilangkan kesempatan untuk kita membangun lebih baik lagi dan menggerogoti peluang untuk mendatangkan rasa keadilan untuk semua orang. Kemerdekaan saja ternyata tidak membuat kita lepas dari persoalan yang ada. Setelah kemerdekaan diraih, kita membutuhkan jaminan kebebasan yang memberikan kesempatan kepada semua pemeluk agama untuk bisa menjalankan ibadahnya tanpa ada gangguan dan tindak diskriminasi, kebebasan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk berekspresi dan mengutarakan pendapatnya, kebebasan bagi setiap individu untuk mendapatkan akses menempuh pendidikan berkualitas yang setinggi-tingginya, kebebasan untuk mendapat perlakuan setara di hadapan hukum tanpa dibatasi sekat-sekat keagamaan dan kesukuan, kebebasan untuk mendapatkan dan memilih pekerjaan yang sesuai dengan hasrat dan keterampilan serta kebebasan untuk berdiri tegak sebagai manusia Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai solidaritas kemanusiaan berdasarkan konstitusi Republik Indonesia.

Tugas kader Partai Solidaritas Indonesia ke depan semakin berat. Kita tidak hanya harus berjuang mencapai ambang batas parlemen, namun lebih mendasar lagi, kita harus menunjukkan sebagai partai anak muda yang punya elan, energi kebaikan, semangat kebersamaan, wawasan seluas semesta serta solidaritas satu bangsa Indonesia yang terbuka terhadap berbagai kemungkinan dalam setiap perubahan zaman. Kita juga harus disiplin dan memilik sikap politik yang benar. Benar berdasarkan nilai-nilai yang universal, yang berlaku umum bagi seluruh manusia.

Dengan itu semua, maka pertanyaan yang saya lontarkan di awal tadi, tentang kemana gerangan ahli waris perjuangan dari para pemikir dan aktivis politik dari ranah Minang di masa kini bisa segera terjawab. Ternyata, ahli waris mereka semua ada di sini, ada di dalam setiap diri kader Partai Solidaritas Indonesia.

Bro dan Sis yang saya muliakan, dalam kesempatan ini saya juga meneguhkan sikap kita untuk mendukung Ir. Joko Widodo dan Kyai Haji Ma’ruf Amin melanjutkan kepemimpinan nasional periode 2019-2024. Selama periode 2014-2019 Presiden Joko Widodo telah membuktikan janji-janjinya dan mewujudkan cita-cita para pendiri bangsa agar di alam kemerdekaan ini diisi dengan pembangunan yang membawa perubahan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Terakhir, sebagai ahli waris perjuangan para pendiri bangsa, mari kita teruskan kerja-kerja politik untuk menghadirkan keadilan dan kemajuan bagi seluruh rakyat Indonesia. Di tangan kalian, para penggalan solidaritas kebangsaan Indonesia, masa depan kita terletak. Pada pundak kalian, tanggungjawab untuk memikul beban persoalan rakyat ditanggung. Hadapilah dengan kegembiraan sebagaimana pemuda-pemudi yang selalu berhasil mengatasi rintangan-rintangan dalam hidupnya.

Wassalamualaikum Warrahmatullahi wabarakatuh.

 

** Penulis adalah Ketua Dewan Pembina DPP PSI.

 

 

Recommended Posts