Kartu Pra-Kerja: Optimisme Konkret Memetik Bonus Demografi

Oleh Dedek Prayudi, BA, MSc

Caleg PSI DPR RI Dapil Jabar IX

 

Calon Presiden nomor 01, Joko Widodo memapaparkan visi misinya berupa program-program pembangunan apabila terpilih sebagai Presiden RI periode 2019-2024 di Sentul International Convention Center, Kabupaten Bogor, 24 Februari 2019 yang lalu dalam sebuah acara bertajuk ‘Konvensi Rakyat’.

Tak main-main, gebrakan program ini sangat komprehensif untuk menyasar produktifitas SDM Indonesia, mulai dari Kartu Indonesia Pintar yang cakupannya diperluas hingga bangku kuliah, Kartu Pra-Kerja, ‘day care’ secara masif dan ekspansi ‘existing program’ seperti Mekar atau kredit modal usaha bagi perempuan.

Sebagai demografer, saya pernah menyatakan di beberapa media digital bahwa saya bangga sekali Pak Jokowi paham betul akan tantangan di era Bonus Demografi yakni penitikberatan kepada pemberdayaan pemuda dan pemberdayaan perempuan. Ini tertuang secara menyeluruh di dalam visi misi beliau dan disampaikan diacara Konvensi Rakyat seperti tertulis diatas. Yang paling menyita perhatian publik saat ini adalah keberadaan Kartu Pra-Kerja.

Program Kartu Pra-Kerja kerap dikaitkan dengan konsep ‘pengangguran digaji’. Benarkah demikian? Apa tujuan besar dari program ini? Siapa sasaran program ini? Mengapa program ini disebut sebagai salah satu jawaban untuk memetik peluang bonus demografi?

Bonus Demografi

Semenjak 2015, Indonesia mengalami demographic dividend atau sering disebut bonus demografi yang akan mencapai puncaknya pada 2035. Bonus demografi adalah sebuah transisi demografi di mana terjadi ledakan penduduk usia kerja (dua penduduk usia kerja banding satu penduduk non-usia kerja/rasio ketergantungan 50 atau lebih kecil).

Bonus demografi adalah pisau bermata dua. Peluang ini apabila dimanfaatkan, maka akan mendorong pertumbuhan ekonomi dengan signifikan. Bloom (2003) mencatat bahwa sepertiga dari kesuksesan ekonomi Korea Selatan dan Tiongkok hari ini disebabkan oleh upaya mereka memetik bonus demografi beberapa dekade silam.

Sebaliknya, negara yang gagal memetik bonus demografi, akan mengalami bencana demografi, dimana penduduk usia produktif akan berbalik menjadi penyumbang terbesar meroketnya angka kriminalitas bahkan kekacauan sosial. Minimal, negara yang gagal memetik bonus demografi akan terperangkap di dalam jebakan pendapatan menengah (middle income trap), seperti yang dialami Pakistan.

Kunci sukses untuk memetik bonus demografi adalah produktifitas rakyat, terutama mereka yang di usia produktif. Kunci sukses mendorong produktifitas tenaga kerja adalah memastikan bahwa tenaga kerja Indonesia bekerja sesuai keahliannya, sesuai latar belakang pendidikannya dan latar belakang pelatihannya. Jenis pekerjaan yang didorongpun sebaiknya dipastikan sesuai dengan potensi ekonomi untuk memaksimalkan efisiensi dan efektifitas. Karena Indonesia menganut sistem otonomi daerah, maka potensi ekonomi yang paling tepat untuk dijadikan fokus rujukan adalah potensi ekonomi daerah, terutama tingkat II.

Untuk itu, dibuatlah sebuah grand design paket kebijakan dimana pemerintah hadir untuk memastikan bahwa tenaga kerja kita ‘dicetak’ sesuai dengan standard kebutuhan potensi ekonomi daerah. Grand design inilah yang disebut ‘link and match’ antara penyedia tenaga kerja (pendidikan dan pelatihan) dan pemakai tenaga kerja (industri dan UMKM).

 

Transition From School To Work

International Labor Organisation (ILO) pada 2017 merilis bahwa lebih dari separuh penduduk Indonesia tidak bekerja sesuai dengan latar belakang pendidikan/pelatihannya, baik itu seca ra tingkat maupun subjek pendidikan/pelatihan. Padahal produktivitas tenaga kerja sangat bergantung pada kecocokan antara keahlian pekerja dan tugas pekerjaan yang diberikan.

ILO juga mencatat bahwa lebih dari 50% pencari kerja pemula di Indonesia membutuhkan waktu lebih dari setahun untuk mendapatkan pekerjaannya. Sehingga muncul fenomena dimana para pencari kerja pemula yang telah mencari kerja selama setahun cenderung mengambil pekerjaan apapun walau tak sesuai latar belakang dan keahlian.

Kartu Pra-Kerja

Menanggapi tantangan ini, Jokowi-Amin berkomitmen untuk membangun sinergitas antara pusat dan daerah, juga antara Kementrian (terutama Kemenaker, Kemenpora, Kemendikbud, Kemenristekdikti dan Kemenperin) untuk berperan sebagai mediator dan fasilitator antara industri/UKM dan penyelenggara pendidikan/pelatihan, baik itu swasta maupun milik pemerintah.

Komitmen ini menelurkan banyak program kongkrit dalam visi misi Paslon 01, salah satunya adalah program kartu Pra-Kerja sebagai jawaban untuk persoalan ‘transition from school to work’ yang selama ini tidak ditangani oleh kementerian apapun.

Program kartu pra kerja merupakan satu dari sekian banyak komponen grand design ini yang menyasar kepada mereka yang sedang mencari kerja, mereka yang baru lulus sekolah dan mereka yang korban PHK. Akan didirikan 3.000 balai latihan dimana persebarannya, bidangnya bahkan kurikulumnya disesuaikan dengan persebaran kebutuhan industri dan UMKM (potensi ekonomi) di daerah-daerah. Keunikan lain dari program ini dibandingkan BLK yang sudah ada sebelumnya, adalah bahwa pelaku industri dan UMKM akan dilibatkan dalam menyusun kurikulum pelatihan ini.

Misalnya, di daerah yang potensi ekonomi nya adalah tambak udang, maka dibuatkan balai pelatihan untuk meningkatkan skill pencari kerja dibidang pertambakan. Para mentor dari program ini adalah pelaku industri tambak dan UMKM tambak sendiri dan pelaku industri digital selain mereka pula yang dilibatkan dalam menyusun kurikulum. Dengan strategi komprehensif yang mempertemukan antara ‘supplier’ dan ‘absorber’ tenaga kerja sejak dini, maka diharapkan tenaga kerja tersebut siap serap, produktif dan menguntungkan bagi industri, UMKM dan ekonomi lokal.

Pengangguran Digaji?

Paslon Jokowi – Ma’ruf Amin menginginkan agar program ini bergerak secara masif. Program ini tidak dirancang hanya untuk mereka yang sedang aktif mencari kerja, tapi juga mereka yang sudah terlanjur menikmati keadaan menganggur, karena fenomena ini memang ada.

Maka disediakanlah insentif untuk menarik minat calon peserta. Insentif yang disediakan dapat dipakai untuk keperluan pelatihan maupun keperluan lain terkait mencari kerja. Insentif ini diberikan hingga peserta mendapat kerja, atau selama-lamanya enam bulan sejak pelatihan diselesaikan.

Perlu dicatat, program ini tidak menggantikan program produktif lain seperti pembukaan lapangan kerja. Program ini justru dirancang untuk memperkuat program tersebut. Pertama, peserta yang telah selesai mengikuti pelatihan akan memiliki kemampuan untuk membuat UMKM (terutama berbasis digital) yang terkait dengan potensi ekonomi daerahnya.

Bersandingan dengan program lain seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR), keluaran dari program ini adalah terbukanya lapangan pekerjaan secara mandiri. Kedua, dengan meningkatnya kemampuan atau skill lulusan pelatihan ini, maka investor akan lebih tertarik untuk membuka usaha di daerah tersebut dan akan mudah bagi pemerintah untuk meyakinkan investor agar memakai tenaga lokal. Investor akan selalu memilih lokasi usaha di mana tenaga kerja lokal adalah tenaga kerja terampil dan sesuai kebutuhan.

Jumlah pengangguran di Indonesia per Oktober 2018 adalah 6,9 juta jiwa. Apabila diasumsikan seluruh pengangguran mengikuti program ini dan perorang menerima insentif sebesar seratus ribu Rupiah sebulan, maka uang yang dibutuhkan untuk insentif ini tidak melebihi 690 miliar rupiah. Maka dalam setahun, anggaran yang harus disiapkan adalah 8.28 triliun rupiah.

Jumlah yang tidak terlalu besar, mengingat anggaran pendidikan nasional sudah diatas 400 triliun rupiah setiap tahun. Disamping, program ini adalah program berkategori ‘human investment’ dengan ‘high return’. Ketika produktifitas tenaga kerja meningkat, maka roda ekonomi akan berputar lebih besar dan kencang. Ketika roda ekonomi berputar lebih besar dan kencang, maka pendapatan pajak pun juga akan meningkat.

Recommended Posts