Oleh: Irfan Prayogi
Politik adalah bagian yang tak terpisahkan dari aktivitas manusia. Manusia sebagai ‘zoon politicon’, alias binatang politik, seperti disebutkan oleh Hannah Arendt dan Aristoteles, hanya dapat dikatakan manusia apabila di dalam dirinya mengandung tabiat politik.
Maka ungkapan semacam ‘anti-politik’ menjadi tidak relevan manakala secara konstitutif justru politik-lah yang membedakan kita dengan binatang. Politik mengandaikan adanya ruang debat dan berdiskusi untuk merasionalisasi sebuah tindalan agar bisa diterima oleh khalayak ramai.
Gamblanglah, bahwa politik membutuhkan orang-orang rasional agar mesin politik mampu bekerja demi kebaikan bersama (common good). Tentu yang dimaksud dengan rasional bukan mereka yang menggunakan kekuasaannya demi kepentingan pribadi –karena itu juga rasional–tetapi pertimbangan etis untuk sebanyak mungkin mengagregasi kepentingan warga negara. Mari kita mulai berdiskusi, mengapa politik harus diperjuangkan oleh orang-orang yang rasional.
Mengubah mindset masyarakat tentulah tidak semudah membalikkan meja-meja di kantor Parlemen. Seperti sudah mengurat-mengakar, money politic menjadi salah satu jalan pintas yang efektif –selain politik identitas—untuk mengais suara.
Tebar janji kampanye calon legislatif setelah dirinya terpilih hanyalah janji tanpa realisasi. Keadaan berubah, ia duduk dikursi empuk nan nyaman dengan fasilitas memadai, tanpa sadar ada ribuan orang yang dulu memilihnya agar sang Caleg duduk menjadi wakilnya. Kampanye tidak sekadar kampanye, sebagian besar menggunakan amunisi berupa uang yang siap meluncur pada menit maupun detik terakhir pertarungan elektoral.
Menjadi wakil rakyat dengan cara demikian layaknya berjudi dengan logika untung-rugi. Lantas disinilah mula dari citra buruk tentang politik. Politik dianggap sebagai arena perebutan kekuasaan dengan cara apapun tanpa mendalami secara filosofis hakekat keberadaan kekuasaan tersebut diperuntukkan demi kepentingan apa, kapan, siapa dan bagaimana. Korupsi menjadi mungkin manakala politik membutuhkan ongkos dalam setiap permainannya.
Politik-Demokrasi mustilah dihinggapi oleh wajah-waras para politikusnya. Kontestasi wacana menjadi sarana deliberatif didalam kotak kosong bernama demokrasi untuk saling berargumentasi mengenai ide dan gagasan. Maka dengan sendirinya, seharusnya demokrasi menyerap orang-orang yang memiliki ide pengetahuan tentang bagaimana mengartikulasikan program dan gagasan untuk mencapai thelos berupa kemakmuran dan kebahagiaan.
Kemampuan meyakinkan secara argumentatif inilah yang di kita sangat defisit, sehingga untuk mencari jalan yang paling mudah, money politic menjadi pilihan. Mereka yang menggunakan uang demi mencapai kekuasaan, sesungguhnya tidak layak berkontestasi dalam politik electoral yang dijuluki pesta demokrasi. Karena prasyarat untuk masuk ke arena demokrasi adalah mampu untuk meyakinkan pemilih secara hegemonic, meyakinkan melalui argumentasi.
Bukan memberikan solusi demi kebaikan bersama, mereka malah meng-anggar-kan uang untuk berbicara kepada masyarakat bahwa dirinya layak dipilih. Dengan demikian, maka tumpullah demokrasi, diiringi dengan korupsi yang mengkorusi setiap sendi kehidupan warga negara.
Hari-hari ini banyak kita melihat dan mendengar proyek politik yamg gagal akibat jauhnya moral politik dari politikus itu sendiri. Proyek E-KTP misalnya yang sangat berdampak secara sistemik terhadap kepentingan masyarakat merupakan wajah buruk politikus kita. Tentu Korupsi semacam E-KTP, Pembangunan Wisma Atlet, dan tindakan korupsi lainnya mencerminkan betapa ringkihnya moralitas politisi yang semestinya bekerja demi kepentingan warga Negara.
Tentu kita semua tidak ingin kejadian yang sama terulang kembali. Korupsi harus disingkirkan dari narasi Politik dengan mengedepankan etika politik dan kesadaran akan tugas menjadi seorang politisi mewakili masyarakat. Maka kita harus memberikan ruang pada mereka yang rasional dalam berpolitik, agar politik tidak lagi menjadi momok menakutkan dalam diskursus ruang publik.
Optimisme
Agaknya prinsip untuk menjadi Partai yang rasional bukan hanya isapan jempol. PSI yang untuk pertama kali pada 2019 ikut dalam kontestasi pesta demokrasi membuktikan dengan tampil percaya diri bersama dengan calon legislatif 0 eks narapidana korupsi. Ini menjadi prestasi tersendiri, di mana bahkan partai yang sudah ‘senior’ pun tidak paham bagaimana cara berlaku etis kepada publik dengan menyodorkan mantan napi kepada konstituen.
Sebut saja Gerindra dengan 27 eks napi, Golkar dengan 25 eks napi dan NasDem dengan 17 eks napi. Ini menjadi cerminan bahwa PSI tidak kekurangan orang baik untuk disuguhkan kepada masyarakat untuk dipilih. Selain itu juga komitmen untuk mengedepankan khalayak anak muda dan perempuan juga tampak nyata sebagai gerakan yang progreif. Ini juga saya disebut sebagai gerakan emansipatif, melihat formasi calon legislatif perempuan di PSI berjumlah 45 persen. Perempuan memang harus berpartisipasi aktif dalam politik, agar terjadi kesetaraan yang lebih bersifat plural tanpa memandang gender dan seks.
Langkah PSI yang mencoba untuk merasionalisasi apa arti penting berpolitik tidak hanya berada pada tahapan epistemologis, tetapi sudah pada tahap tindakan yang rasional. Kita paham betul bahwa korupsi merupakan biang keladi dari banyaknya persoalan di negeri ini.
Kita paham betul generasi muda butuh wadah untuk berbuat lebih jauh dan ikut andil dalam proses-proses pengambilan kebijakan dan keputusan. Juga kita paham betul penyebab korupsi adalah juga diakibatkan oleh mahar politik untuk membeli perahu politik (Baca: Partai Politik) agar bisa mencalonkan diri. Ketiga permasalahan politik tersebut mestilah dijawab dengan langkah nyata dan bukan hanya sekedar jargon untuk merestorasi atau tete bengek lainnya.
Politik harus dimenangkan oleh mereka yang memiliki kapabilitas dan integeritas yang tinggi. Politik juga harus dimenangkan oleh mereka yang memiliki keinginan dan niatan kuat membangun sebuah perubahan dan tidak takut akan perubahan.
Politik harus berorientasi kepada publik dan mengabdi kepada kepentingan warga Negara. Politik mustilah memiliki idealisme sebagai tempat bersemayam harapan untuk diwujudkan. Dan pemuda adalah entitas yang siap menghadapi tantangan dengan segala konsekuensinya. Maka berikan kesempatan kepada mereka untuk berbuat. Karena bagi pemuda, hidup yang pantas dimenangkan adalah hidup yang dipertaruhkan.
Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara