Oleh Dara A. Kesuma Nasution
Maju menjadi calon legislatif di usia 23 tahun bukanlah hal yang umum, terlebih lagi saya adalah seorang perempuan. Dari hari pertama hingga detik ini, genap enam bulan sudah saya jajaki perjalanan politik. Selama itu, ada harga mahal yang saya bayar, yakni menjadi korban pelecehan daring (online harassment).
Semua berawal ketika saya tampil di televisi nasional pada jam prime-time. Saat itu, saya mewakili partai saya menyerukan pembelaan korban persekusi di area Car Free Day. Acara TV itu hanya berdurasi selama 30 menit, tetapi komentar jahat menghujani saya sepanjang minggu. Serangan online dilakukan secara masif dan terstruktur. Bahkan, kata “pelacur” pun juga dilayangkan kepada saya.
Beberapa bulan kemudian, sebuah surat kabar nasional ternama mengangkat pencalegan saya. Saya digambarkan sebagai pendatang baru yang siap menantang petahana. Tulisan itu kemudian diunggah ulang oleh sebuah Instagram dengan 3,2 juta pengikut dan tentu menuai banyak komentar. Belum kehabisan taringnya, para warganet meragukan kemampuan saya yang dinilai tidak cukup layak menjadi pembuat Undang-Undang (UU). Banyak yang menganggap bahwa saya patutnya berdiam diri saja di rumah supaya menjadi istri yang baik.
Seolah belum puas, saya ditunding menjadi perempuan simpanan seorang lelaki kaya yang membiayai dana kampanye saya. Di mata mereka, seorang perempuan muda seperti saya tidak mampu menggalang sendiri.
Serangan dan pelecehan verbal tidak berhenti sampai di situ saja. Hampir setiap hari berdatangan komentar dengan tendensi merendahkan dan mengekploitasi seksualitas di laman Facebook Fanpage saya. Suatu ketika, saya mengunggah foto saya sedang menggendong bayi dan seorang lelaki menuliskan komentar yang meminta saya belajar cara menyusui. Ada juga yang berkomentar bahwa saya kurang panjang menjuntaikan hijab saya sehingga foto saya mengganggu pandangan mereka.
Ketika saya membicarakan sebuah topik yang berat, seorang lelaki memotong dan berkomentar “Kamu tidak seharusnya berbicara topik berat, sinilah biar saya cium.” Menjijikkan. Jenis komentar seperti ini tidak akan muncul seandainya saya politisi laki-laki.
Saya bukanlah satu-satunya. Saya yakin, komentar dengan gaya serupa bisa ditemukan di akun media sosial politisi perempuan manapun.
Di dunia politik, komentar-komentar seperti ini punya dua kemungkinan makna. Pertama, komentar tersebut merupakan hasil dari pekerjaan cybertroops atau sekelompok orang yang memang dibayar oleh lawan politik untuk menyerang dan mendemotivasi saya. Jika demikian, maka motif mereka hanya mencari makan dan akan berhenti begitu uang sudah di tangan.
Kemungkinan kedua, komentar yang melecehkan itu ditulis oleh orang-orang biasa yang merasa bahwa melecehkan perempuan dengan komentar kotor adalah hal yang lazim. Pelecehan hanya berpindah dari ranah offline ke dunia online. Mereka berlindung di balik anonimitas yang disediakan dunia maya. Jika memang demikian, maka mereka benar-benar berniat melecehkan.
Sayangnya, tidak mudah membedakan mana komentar dari cybertroops dan mana yang bukan. Komentar-komentar melecehkan itu tentu membikin sakit hati. Kami, politisi perempuan punya keluarga yang juga membaca komentar-komentar kasar itu. Di awal pencalegan, komentar itu membuat kedua orang tua saya sedih melihat anaknya menjadi pergunjingan di media sosial. Mereka bertanya, “Apakah serangan ini setimpal dengan apa yang saya perjuangkan?” Tentu dengan berat hati, saya hanya menggigit lidah dan tersenyum.
Banyak orang akan berpikir saya terlalu sensitif. Ketika saya menceritakan hal ini, umumnya mereka menyarankan saya untuk berhenti membaca komentar-komentar itu. Bahwa semua pelecehan itu hanyalah biaya yang harus saya bayar ketika terjun ke dunia politik. Saya harus tebal kuping, kata mereka. Tapi harus seberapa tebal?
Sayangnya, kita sering tidak sadar bahwa setiap kali kita menyuruh seorang perempuan untuk mengabaikan pelecehan yang ia alami, kita berkontribusi pada budaya yang membungkam perempuan. Budaya yang mengalienasi perempuan dari apa yang sebenarnya mereka rasakan. Kita harus melabeli semua serangan itu sebagai “biaya yang harus dibayar perempuan” dan berani mengatakan yang sebenarnya, bahwa komentar seperti itu adalah “pelecehan”.
Dengan memberi nama yang pantas, kita turut mengakui beban dan rasa sakit yang harus ditanggung perempuan ketika terlibat dalam politik. Kita juga mengakui adanya upaya sistematis untuk menjauhkan perempuan dari politik.
Budaya politik kita harus naik kelas menjadi lebih dewasa. Kita selalu bermimpi melihat lebih banyak perempuan terjun ke dunia politik. Kita bahkan memiliki undang-undang yang memastikan masing-masing partai politik memiliki setidaknya 30 persen caleg perempuan. Tetapi kita harus melihat lebih jauh dari sekadar pemenuhan kuota perempuan.
Melihat budaya di sekitar kita, nampaknya memang kita belum siap untuk melihat lebih banyak perempuan terjun ke politik. Masuk ke dunia politik berarti mendapatkan akses ke arena publik. Masyarakat kita masih belum nyaman ketika perempuan terlibat di ranah publik. Maka, mereka berusaha keras untuk mendorong perempuan kembali ke ranah domestik. Itu sebabnya mereka melecehkan para politisi perempuan, semua untuk membungkam kami. Ini harus berhenti jika kita ingin representasi perempuan yang lebih baik dalam politik.
Jadi, jika di lain waktu Anda akan mengatakan hal-hal jahat kepada seorang politisi perempuan, coba bayangkan bahwa dia adalah ibu Anda atau saudara perempuan Anda.
Apakah Anda masih akan melakukannya?
* Versi Bahasa Inggris dari esai ini terbit di The Jakarta Post, Kamis 29 November 2018. Penulis adalah Caleg DPR RI Nomor Urut 1 PSI Dapil Sumatera Utara III.