Christianto Wibisono (73 tahun), tak kehilangan minat ke dunia politik. Pendiri Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) itu, bergabung dengan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), untuk menjadi calon legislatif di Pemilu 2019.
“Setiap zaman akan ada leader yang muncul untuk menangani problem yang dihadapi warga Tionghoa dalam berpolitik. Sekarang generasi Grace Natalie,” ujar Christianto, kepada IDN Times, Jumat (27/4/2018).
Keluarga Christianto Wibisono sempat “mengungsi” ke Washington DC, Ibu Kota Amerika Serikat, pasca Tragedi Mei 1998. Rumah putri tertua Christianto, Yasmin, dibakar massa tak dikenal. Yasmin saat itu sudah memiliki dua anak, masing-masing berusia 1,5 tahun dan beberapa bulan.
Christianto sempat kecewa berat dengan perlakuan rasis yang diterimanya. “Kamu tahu kan, bagaimana saya, sejak 1966 saya ikut berjuang, idealis. Kok seperti ini?” tutur Christianto yang kini tinggal di sebuah apartemen persis di tengah kota Jakarta.
Christianto yang lulusan Universitas Indonesia sempat menjadi pendiri Majalah Express, yang menjadi cikal bakal Majalah Mingguan Tempo. Dia kemudian meninggalkan profesi wartawan untuk mendirikan pusat data bisnis yang pertama di Indonesia.
Pada 10 Juni 1998, dia menerima surat kaleng yang isinya kata-kata kasar dan bernuansa SARA. “Saat itu memang saya kerapkali mengkritisi kekayaan yang dikumpulkan oleh Soeharto dan kroni-kroninya yang saya perkirakan mencapai sekitar Rp 200 triliun. Sempat ada yang informasi ke saya, bahwa saya mungkin akan ditangkap. Kaki-tangan Soeharto masih kuat meskipun dia sudah lengser,” kata Chris.
Dia kembali ke Indonesia tahun 2006.
1. Apa yang terjadi kepada keluarga Anda saat Tragedi Mei 1998?
IDN Times/Kevin Handoko
Pada 12 Mei 1998 itu saya diundang ceramah di Universitas Tarumanegara. Topiknya bidang ekonomi, pembicaranya antara lain yang saya ingat itu adalah Ibu Miranda Goeltom. Begitu acara selesai, sekitar jam 2 siang, sudah ada demo di Kampus Trisakti (letaknya bersisian dengan Untar).
Penembakan terhadap mahasiswa terjadi sore, seminar saya pagi, dan jam dua saya pulang. Jam 5 sore saya ada rapat di DKI, lupa saya tentang apa. Terus jam 5 saat rapat istri saya telpon. Dia nonton di SCTV, Liputan6, mahasiswa ditembaki. Saya bilang, Soeharto jatuh. Meskipun saya tidak menduga secepat itu. Hanya beberapa hari kemudian.
Sebab saya berpendapat begini, mahasiswa kala itu tidak dalam kondisi menggempur ke DPR. Mahasiswa itu di kampusnya, dan mereka sudah mundur. Jadi pada saat sore itu, pulang dari daerah Trisakti, dekat Untar, saat pulang mahasiswa sudah mundur ke kampus, kok ditembaki.
Pada 13 Mei 1998, saya juga cuma di rumah (Christianto tinggal di Kawasan Jl Kartini, di kawasan Sawah Besar, Jakarta Pusat). Jam 6 sore, anak saya telepon. “Papi, kok kita disuruh mengungsi ke golf course.” Yasmin kan tinggal di Perumahan Pantai Indah Kapuk. Warga di perumahan dua kamar itu diminta mengungsi semua. Saya minta Yasmin dijemput. Pakai mobil Kijang langsung pergi ke Kartini, rumah saya. Jam 6 berangkat , jam 8 malam sampai.
Tanggal 14 Mei 1998, kami tidak bisa keluar rumah karena Jalan Kartini diblokir. (Dari) kantor saya di samping rumah, kalau naik ke atas melihat ke seberang jalan kan kelihatan Jalan Gunung Sahari. Saat itu kami melihat massa belok ke Gunung Sahari, menyerbu rumah Om Liem (Liem Sioe Liong, pemilik Salim Group yang dikenal sebagai pengusaha terdekat dengan keluarga Soeharto). Untung belok, kalau tidak kan arahnya ke Kartini.
Tanggal 15 Mei, kami kirim sopir ke rumah Yasmin di PIK, baru ketahuan rumahnya dibakar (Christianto menunjukkan album foto, yang isinya foto rumah anaknya yang dibakar dan dijarah massa).
Anak saya trauma. Bayangkan kalau tadinya dia tidak mengungsi dan tetap di sana, bagaimana nasibnya. Padahal dia menggendong bayi. Ternyata warga yang disuruh mengungsi tiga hari tiga malam tidak dapat makan.
Lalu, saya dapat surat kaleng, dimana isinya membuat saya sangat tersinggung. Sangat rasis, dan memaki-maki saya. Surat dikirim ke rumah di Jalan Kartini. Ini yang membuat saya sakit hati. Traumatik. Ya sudah, good bye (Christianto menunjukkan surat bertanggal 10 Juni 1998).
Tanggal 11 Juni 1998 saya memutuskan meninggalkan Indonesia
2. Sebelum memutuskan meninggalkan Indonesia, apa yang menjadi bahasan di keluarga? Bukankah Anda punya jejaring luas di sini?
IDN Times/Kevin Handoko
Pada dasarnya (saya) kecewa kok terjadi seperti ini. Tapi saya selalu bisa melunakkan keluarga. Bahwa sikap rasialis itu terjadi dimana-mana. Peristiwa rasialis terjadi pertama kali di era Indonesia modern pada 10 Mei 1963, di Bandung, dimana mahasiswa pribumi memukul mahasiswa non ribumi, lalu merusak motornya. Termasuk korbannya dokter.
Dokter tersebut mengalami trauma juga dan menghabiskan waktu di AS. Jadi saya bilang itu resiko kehidupan penuh SARA. Kebetulan terjadi di Indonesia, ya hadapi dengan iman.
Kemudian saya dapat surat gelap itu. I can not stand on this anymore.
Published by Uni Lubis