Refleksi Imlek, Dari Stigmatisasi Sampai Ajakan Terlibat Urusan Publik

Ketua DPW PSI Banten, Azmi Abubakar, menyebut pembelokan sejarah etnis Tionghoa di Indonesia masih terjadi hingga hari ini. Akibatnya, etnis Tionghoa terus mengalami stigmatisasi. Hal itu dia ungkapkan dalam acara Solidarity Talk bertajuk “Cita-cita Anak Muda Tionghoa” yang digelar DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) secara virtual untuk menyambut Tahun Baru Imlek 2021.

“Sering kali kita mendengar kisah kepahlawanan dari suku atau etnis lain di Indonesia. Sebaliknya, ketika kita bicara soal etnis Tionghoa, kisah kepahlawanannya tidak ada, justru sisi negatif yang dibesar-besarkan. Itulah realitas yang terjadi,” kata Azmi, Rabu 10 Februari 2021 malam.

Karena alasan itu pula, Azmi berupaya meluruskan dan menghadirkan kembali fakta sejarah dengan mendirikan Museum Pustaka Peranakan Tionghoa pada 2011. Di dalam museum yang dibuka untuk umum itu, tersimpan puluhan ribu literatur, dokumen, dan catatan sejarah etnis Tionghoa Indonesia yang dikumpulkannya sejak tahun 1999.

Sosok Caleg pilihan majalah Tempo 2019 itu menjelaskan, pada kenyataannya, etnis Tionghoa selain banyak melahirkan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan RI, juga ikut berperang mati-matian melawan penjajah Belanda, seperti yang digambarkan dalam buku “Geger Pacinan 1740 – 1743: Persekutuan Tionghoa – Jawa Melawan VOC” karya Daradjadi.

“Bayangkan, orang Tionghoa pada saat itu memotivasi orang-orang Jawa dan Sunda, untuk berperang melawan Belanda, bukan memotivasi bisnis, bukan memotivasi lain-lain. Ini menjadi dahsyat, orang-orang yang tidak berani melawan menjadi berani. Bayangkan, 3 tahun dipimpin Kapitan Sepanjang atau Tan Wan Soey, Panglima Besar-nya,” papar Dewan Pakar Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) itu.

Sementara itu, anggota legislatif DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PSI, William Aditya Sarana, yang turut menjadi pembicara menekankan bahwa masyarakat, terutama di DKI Jakarta, harus peka terhadap upaya untuk melemahkan demokrasi yang dilakukan kelompok-kelompok tertentu yang berbasis politik identitas.

“Kita harus sensitif terhadap mereka yang mencoba untuk mendompleng demokrasi. Jadi, ada kelompok-kelompok tertentu yang mencoba untuk menginfiltrasi demokrasi untuk mewujudkan agenda-agenda yang anti-demokrasi. Kalau berkuasa, kelompok ini akan membahayakan demokrasi,” ungkap legislator pembongkar anggaran fantastis pengadaan lem aibon dalam anggaran DKI Jakarta 2020 itu.

Dia juga menyebut, ancaman terhadap demokrasi itu nyata terjadi di Jakarta. Itu terbukti dari data yang ada. “Statistiknya agak aneh kan, indeks demokrasi tinggi tapi intoleransinya tinggi juga,” terangnya.
Sebagai catatan tambahan, DKI Jakarta dinobatkan sebagai provinsi paling demokratis se-Indonesia secara berturut-turut sejak 2018. Namun di tahun yang sama, kajian SETARA Institute menempatkan DKI Jakarta sebagai daerah terburuk dalam urusan toleransi di Indonesia. Dari 94 kota yang dinilai Setara Institute, DKI Jakarta berada di peringkat 92. Semakin rendah peringkat, semakin intoleran.

Melibatkan Diri dalam Urusan Publik

Menajamkan diskusi yang dimoderatori Jubir PSI Bidang Hukum, Rian Ernest, anggota legislatif DPRD Provinsi NTT dari PSI, Christian Widodo mengetengahkan perspektif lain.

Menurutnya, alih-alih mempersoalkan perbedaan identitas, anak-anak muda Tionghoa sebaiknya punya kesadaran untuk terlibat aktif dalam urusan publik yang lebih luas. Dengan begitu, relasi kebangsaan akan lebih baik karena interaksi intens antar-etnis.

“Saya berharap, teman-teman etnis Tionghoa itu lebih banyak mengikuti kegiatan kemasyarakatan, baik di tingkat RT, Kelurahan, Kecamatan, dan seterusnya. Kita harus banyak berbaur, kita tidak bisa hanya minta diberikan kesempatan yang sama, tapi kita sendiri terkadang juga bergaulnya dengan itu-itu saja,” ujar legislator sekaligus dokter itu.

Pernyataan senada juga diberikan Jessica Farolan, perempuan keturunan Tionghoa yang berprofesi sebagai Psychological Health Trainer itu ketika menjawab pertanyaan penutup tentang apa yang harus dilakukan untuk membuat Indonesia menjadi rumah bersama bagi semua etnis.

“Mulailah berdamai dengan sekitar, turun ke masyarakat, jangan justru menghindar dari tugas dan tanggung jawab yang nuansanya berbau Indonesia. Pikirkan bahwa setiap hasil usaha yang kamu lakukan, apa yang bisa diperbuat untuk Indonesia, kadang-kadang mindset itu yang lepas dari kepala kita. Apa yang bisa kita perbuat untuk Indonesia sedangkan Indonesia sudah berbuat banyak untuk kita sampai titik saat ini,” pungkas dia.

Recommended Posts