Terkait Djoko Tjandra, PSI Minta Tidak Berhenti di Pinangki

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menyambut baik vonis sepuluh tahun penjara dan denda 600 juta yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta atas Pinangki Sirna Malasari, terdakwa kasus suap dan gratifikasi dalam perkara menyangkut terpidana buron cessie Bank Bali, Djoko Tjandra. Putusan ini lebih tinggi dari tuntutan jaksa penuntut umum yang hanya empat tahun dan denda Rp 500 juta.

“Sudah saatnya masyarakat disuguhi berita baik dalam penegakan hukum. Sulit membayangkan kejahatan yang melibatkan uang sedemikian banyak dan oknum penegak hukum hanya dihukum 4 tahun penjara. Terdakwa terbukti melakukan 3 tindak pidana sekaligus, yaitu suap, pencucian uang dan permufakatan jahat dalam pengurusan fatwa MA. Kasus ini harus terus digali sehingga nyata benar siapa yang ikut terlibat dan bertanggung jawab. Inilah momentum untuk membersihkan lembaga-lembaga hukum dari para pejabat korup, ” kata Juru Bicara PSI Ariyo Bimmo dalam keterangan tertulis, Kamis 11 Februari 2021.

Menurut Bimmo, tindakan Jaksa Pinangki menerima suap dari Andi Irfan sebesar 500.000 dolar telah mengacak-acak tatanan penegakan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Apalagi tujuan diberikan uang tersebut adalah untuk mengurus fatwa Mahkamah Agung agar Djoko Tjandra tidak perlu menjalani hukuman penjara.

“Untung saja kejadian tersebut (fatwa MA) tidak pernah terwujud. Mahkamah Agung terlepas dari beban kelembagaan dalam kasus ini. Hakim, dalam perkara ini, sangat berpotensi untuk menjadi corong kepatutan, keadilan, kepentingan umum, dan ketertiban umum sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,” kata Bimmo.

Selain itu, Jaksa Pinangki juga tidak dapat membuktikan kekayaan fantastis yang dimilikinya dan pengeluaran sebanyak 70 juta rupiah perbulan yang tidak sesuai dengan penghasilannya sebagai ASN. Pertimbangan hakim dalam putusan ini merupakan terobosan karena ketentuan mengenai Peningkatan Kekayaan Secara Tidak Sah (illicit enrichment) dan pembuktian terbalik sesuai Konvensi Anti Korupsi 2003 belum diadopsi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. “Hakim berpikir progresif. Semestinya akan lebih mudah bila sudah ada revisi hukum acara dan hukum materil tindak pidana korupsi” lanjut lulusan Universitas Groningen Belanda yang sempat aktif dalam reformasi hukum dan peradilan tersebut.

PSI menilai kasus Djoko Tjandra merupakan bagian penting dari gunung es permasalahan penegakan hukum di Indonesia. “Ini merupakan skandal politik penegakkan hukum dan salah satu wujud nyata apa yang selama ini kita ributkan sebagai mafia peradilan. Karena itu, PSI mendukung kerja sama berbagai perangkat hukum seperti Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK dalam menuntaskan kasus Djoko Tjandra,” kata Bimmo.

Fakta hukum lain yang ditemukan selama persidangan adalah keterlibatan Pinangki sebagai makelar kasus dalam perkara-perkara lainnya. Oleh karena itu Bimmo memungkasi, “Keterlibatan para oknum harus diusut, tanpa pandang bulu, termasuk jika melibatkan pejabat di lembaga penegak hukum dan instansi pemerintah terkait.”

Sejauh ini, ada tiga pejabat yang diduga terlibat dalam kasus Djoko Tjandra dan dua diantaranya dinyatakan bersalah oleh pengadilan.
Mereka adalah Irjen Napoleon Bonaparte, Brigjen Prasetijo Utomo, dan Jaksa Pinangki Sirna Malasari.

Bersama Djoko Tjandra, ketiganya telah menjadi tersangka kasus dugaan korupsi terkait penghapusan red notice. Selain itu Djoko Tjandra dan Prasetijo juga menjadi tersangka dalam kasus surat jalan palsu yang juga melibatkan Anita Kolopaking sebagai mantan pengacara Djoko Tjandra. Baik Anita maupun Djoko Tjandra telah divonis pengadilan, juga dengan hukuman yang lebih tinggi daripada tuntutan jaksa.

Recommended Posts