Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menolak RUU Permusikan yang dirancang Komisi X DPR RI karena mengandung banyak masalah.
Seharusnya sejak awal para penyusun RUU melibatkan para musisi sehingga segala kehebohan sekarang dapat dihindari. “Para musisi, saya kira, selalu terbuka untuk berdiskusi,” kata Juru Bicara PSI, Giring Ganesha, dalam keterangan tertulisnya, Senin 4 Februari 2019.
Jika melihat pasal per pasal, pada Pasal 5 RUU Permusikan disebutkan, musisi dilarang menciptakan lagu yang menista, melecehkan, menodai, dan memprovokasi.
“Ini jelas pasal karet, gampang ditarik ke sana-ke sini sesuai kepentingan masing-masing. Pasal ini membuka peluang bagi siapa saja untuk membungkam karya musik yang tidak mereka sukai. Lebih baik dibatalkan demi masa depan musik Indonesia,” kata Giring.
Pasal lain yang bermasalah adalah terkait uji kompetensi, yaitu Pasal 32. “Aturan ini akan mendiskriminasi musisi autodidak. Mereka yang tak pernah kursus atau sekolah musik, akan terhambat dalam berkarya. Saya saja tidak bisa membaca not balok,” lanjut mantan vokalis Nidji tersebut.
Selain itu, di Pasal 10 sampai 14, terdapat aturan soal distribusi musik yang hanya mendukung industri besar. Menurut Giring, “Pasal ini menutup pintu buat praktik distribusi karya musik secara mandiri atau indie. Kenapa harus diskriminatif?”
Menurutnya, yang perlu diatur dalam RUU Permusikan seperti hubungan artis dengan manajemen, label, promotor, serta para pihak itu dengan para vendor atau penyokongnya. Giring menegaskan, “Yang berhubungan dengan kebebasan berekspresi, menurut saya, tidak perlu diatur.”
Caleg DPR RI untuk Dapil Jabar I ini memungkasi, RUU Permusikan harus disusun ulang dengan mengikutsertakan para pemangku kepentingan (stakeholders). Termasuk, para musisi indie.