Bencana kemanusiaan di Agats, Kabupaten Asmat, Papua, menguji model kepemimpinan transformatif yang selalu bisa memberikan inspirasi bagi warganya.
Model kepemimpinan transformatif dan selalu memberikan inspirasi itu menjadi penting di tengah situasi ketika elite-elite politik berburu kekuasaan. Salah satu model pemimpin yang selalu terpanggil, tetapi tidak haus akan kekuasaan adalah Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Kebijakan dan tindakannya sangat nyata dan riil untuk membantu sesama manusia.
Dibujuk-bujuk untuk menjadi calon wakil gubernur Jawa Timur, setelah Abdullah Azwar Anas mundur, Risma tegas menolak. Dibujuk lagi, Risma tetap menolak. Risma bersikukuh tidak mau menjadi calon wakil gubernur karena ingin mewujudkan mimpinya soal Surabaya.
Di tengah orang berburu rekomendasi partai politik, bahkan disebut-sebut rekomendasi harus dibeli miliaran rupiah, Risma bisa jadi teladan. Tawaran partai politik untuk mendapatkan kursi kekuasaan yang lebih tinggi ditolaknya. Pilihan politik Risma terasa anomali di tengah perburuan kuasa para elite.
Naluri kemanusiaan Risma tergerak ketika saudara kita di Agats, Asmat, terkena bencana akibat gizi buruk, campak, dan radang paru. Sebanyak 62 orang meninggal sejak Oktober 2017. Warga Agats membutuhkan uluran tangan. Risma langsung mengorganisasi bantuan dari karyawan Pemerintah Kota Surabaya dan mengirimkan bantuan ke Asmat.
Tanpa banyak berbicara, bantuan dari karyawan Pemkot Surabaya langsung diangkut ke Timika untuk diteruskan ke Agats. Sejumlah warga masyarakat biasa pun terpanggil untuk berbela rasa membantu sesama warga di Agats. Implementasi nilai Pancasila diuji bagaimana kita menanggapi bencana kemanusiaan di Agats.
Bandingkan reaksi Risma dengan pernyataan seorang menteri di Jakarta seperti dikutip harian ini. ”Ini era otonomi daerah. Pemerintah daerah juga harus bergerak. Tidak mungkin semuanya mengandalkan pemerintah pusat,” ujar menteri itu.
Pernyataan itu seperti tak punya empati. Solidaritas kemanusiaan seharusnya tidak mengenal hierarki, tidak mengenal batas teritorial. Pemimpin yang terpanggil naluri kemanusiaannya akan langsung berbuat untuk sesama, tidak mempertimbangkan apakah korban itu warganya atau bukan, punya KTP atau tidak, di era otonomi daerah atau kewenangan pusat. Kita meyakini masih banyak pemimpin yang punya naluri kemanusiaan seperti Risma, hanya mereka mungkin masih sibuk dengan urusan domestiknya sendiri, termasuk berjuang meraih kekuasaan terlebih dahulu dalam pilkada.
Bangsa ini membutuhkan sosok pemimpin yang menginspirasi bangsanya untuk terus maju dan bergerak untuk kemanusiaan, bergerak untuk kemajuan bangsanya. Pemimpin yang tidak hanya berburu kekuasaan dan penikmat kekuasaan, tetapi tidak tahu bagaimana kekuasaan akan digunakan. Apakah kekuasaan digunakan untuk kepentingan dirinya, partainya, atau kelompoknya. Bangsa ini rindu pemimpin yang jujur dan punya komitmen besar kepada manusia dan kemanusiaan. Pemimpin yang tak membutuhkan publisitas, tetapi tulus berbuat nyata.
Sumber: Tajuk Rencana Harian Kompas, 16 Januari 2018