Membumikan Kebaruan PSI

#RefleksiPSI

Oleh: Yunarto Wijaya*

TIDAK pernah mudah mendirikan partai politik baru. Terlebih setelah 4 pemilu demokratis di era reformasi. Dalam kurun waktu ini, parpol baru datang silih berganti menawarkan agenda perubahan, beberapa dalam makna kembali ke masa lalu. Sebagian besar di antara mereka kandas, sedangkan yang berhasil menancapkan eksistensinya gagal menuaikan janji-janjinya.

Tak ayal, pengalaman berinteraksi dengan parpol baru menyisakan luka dan bahkan amarah. Para aktor politiknya berburu wadah baru. Para pemilih kembali siap berspekulasi. Bagi pemilih, memilih parpol baru bukan selalu berarti mereka terpikat. Terkadang itu dilakukan sekadar untuk meledek, kalau tak mau disebut menghukum, parpol-parpol yang sudah ada.

Seberapa Baru?

Ketika parpol baru diperkenalkan, pertanyaan dasar yang mengemuka adalah, seberapa baru parpol itu?

Sebagaimana produk, pengenalan terhadap parpol berasal dari elemen visualnya: nama, slogan, logo, warna dan sejenisnya. Di sinilah soalnya. Partai ini mempunyai singkatan nama yang sama dengan dua partai yang pernah ada: Partai Sosialis Indonesia-nya Syahrir dan Partai Sarekat Islam. Yang terakhir ini adalah parpol gurem hasil peleburan banyak partai yang kandas di pemilu 1999.

Di awal pemunculannya, tak pelak, partai ini kerap diduga mempunyai tautan dengan PSI-nya Syahrir. Tapi, jangan salah, dugaan ini terutama datang dari kaum tua (generasi baby boomers) dan beranjak tua (generasi X). Kedua generasi ini katakanlah sedikit mengindap penyakit ‘ngeyel-traumatik’ tapi sekaligus ‘romantis’ terhadap PSI-nya Syahrir.

Sebaliknya, generasi Y dan Z yang menjadi pangsa pasar partai ini relatif sudah berjarak dengan PSI-nya Syahrir, lebih-lebih dengan PSI-nya yang gurem itu. Karenanya, gangguan terkait singkatan nama yang membuat partai ini jadi terkesan kurang baru ibaratnya hanyalah ‘hujan lokal’.

Lantas, di mana kebaruan partai ini? Kebaruan partai ini adalah pada sulitnya menempatkan partai ini dalam  kontinum nasionalis – agama. Juga sulit untuk menempatkan partai ini di posisi tengah seperti Demokrat atau Golkar, misalnya.
Partai ini sulit untuk dilabel liberal atau sosialis, progesif atau konservatif. Dari visi-misinya dan juga prinsip-prinsipnya, partai ini sepertinya tanpa beban memadupadankan beragam nilai. Dalam bahasa pemasaran politik, partai ini tengah berupaya membangun kategori baru agar menjadi yang utama di kategori tersebut.

Seberapa Beda?

Pertanyaan berikut yang diajukan terhadap partai baru adalah seberapa beda dia dengan parpol yang ada. Di titik ini, PSI punya beberapa pembeda yang sudah rajin dikomunikasikan.

Pertama, pembedaan pengelola partai dan politisi, afirmasi pada perempuan dan pengkekslusian pegiat politik dari parpol yang sudah ada untuk masuk dalam partai ini.  Yang terakhir ini merupakan sikap politik yang secara tegas membangun demarkasi antara kami dan mereka. Yang pertama dan kedua dapat disebut inovasi politik dari partai ini.

Pembedaan ini baru menjadi aktual tatkala PSI mampu lolos dari ujian politik. Yaitu ketika mampu mempertahankan pendirian ini ketika dihadapkan pada situasi yang secara jangka pendek bisa memberi keuntungan politik jika ia mau mengkompromikannya.

Kedua, pembedaan terkait acuan etika yang memadukan yg lokal dengan global. Sejauh yang ada saat ini, kebanyakan parpol memiliki norma normatif yang berbasis budaya nasional, terkecuali parpol yang terinsiprasi dengan gerakan dari luar (PKS). Hanya saja, pembedaan ini belum menjelma menjadi praktik keseharian yang dapat menjadi penanda bagi pegiat PSI dibandingkan pegiat parpol lainnya.

Seberapa Bermakna?

Berbeda itu penting agar mudah dikenali. Tapi, itu saja tidak cukup. Perbedaan itu harus bermakna, terutama pada pangsa pasar utamanya.

Untuk menjangkau pangsa pasarnya, PSI secara sadar lebih aktif berkomunikasi di jalur media sosial di mana generasi Y dan lebih-lebih Z sangat terlibat didalamnya. Secara verbal, misalnya, PSI mulai mengakrabkan diri dengan panggilan bro and sis. Yang nyaman dengan panggilan ini niscaya lebih mudah mengindentifikasi diri. Ini berbeda dengan generasi X atau lebih tua yang barangkali saja merasa tak genah terdengar di kuping mereka.

Yang punya potensi membangun makna pastilah lebih dari sekadar panggilan. Dalam hal ini, PSI punya tiga kata kunci yang relevan: solidaritas, keberagaman dan keadaban bermasyarakat. Ketiga hal inilah yang perlu dieksplorasi menjadi praksis.

Sesuai watak generasi Y yang reaktif-responsif terhadap berbagai hal, PSI sudah seharusnya lebih mengintensifkan penyampaian pesan-pesannya terutama di media sosial. Meski demikian, PSI perlu melakukan inovasi pengekspresian sikap agar bisa menegaskan identitasnya sebagai partainya anak muda.

Terkait ini, PSI ke depannya perlu memiliki isu-isu kebijakan yang kelak menjadi isu-nya PSI. Isu-isu ini harus spesifik dan mempunyai benang merah dengan tiga kata kunci di atas. Ini merupakan bagian memperkuat positioning partai dibenak target pemilihnya.

Lebih daripada itu, PSI perlu lebih banyak mengembangkan aktivisme digitalnya untuk berkomunikasi dengan pangsa pasar utamanya. Aktivitas seperti crowd funding dan atau crowd sourcing, misalnya, bisa jadi modus untuk mengkonkritkan keadaban publik. Misalnya, pengumpulan dana untuk kegiatan pengecatan ulang zebra cross di satu wilayah.

Ya, kegiatan yang sederhana, kecil, dan konkrit untuk lingkungan terdekat (neighbourhood). Begitulah aktivisme PSI.  Bukankah anak muda sudah mual dengan gagasan kosong, bualan dan petuah-petuah?

*) Direktur Eksekutif Charta Politika

 

Recommended Posts