Sikap PSI di Hari Maritim Nasional 2015
Tanggal 21 Agustus diperingati sebagai Hari Maritim Nasional. Selama ini mengapa tanggal 21 Agustus sebagai Hari Maritim Nasional juga tidak disertai keterangan tentang fakta kejadian. Dalam berbagai sumber disebutkan bahwa 21 Agustus dipilih karena merupakan tanggal dimana Jepang berhasil dipukul mundur dari perairan Indonesia. Namun kapan, dimana dan bagaimana tepatnya kejadian tersebut tidak ditemukan dalam fakta sejarah.
Fakta di seputar tanggal 21 Agustus adalah rangkaian detik-detik takluknya Jepang dalam Perang Dunia II. Pasca jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang akhirnya menyerah pada 15 Agustus 1945. Jepang menyerahkan kekuasaannya kepada Indonesia sehari sebelum pernyataan takluk. Begitu juga pada tanggal 19 Agustus 1945, panglima perang Jepang berangkat ke Manila untuk menerima pengarahan Jendral Douglas Mac Arthur dalam hal teknis masuknya sekutu untuk menduduki Jepang. Sementara antara 8-20 Agustus, pasukan Uni Soviet memukul mundur Armada Laut Jepang dari perairan Asia Tenggara. Dari rangkaian peristiwa itu, pada tanggal 21 Agustus 1945, armada laut Jepang ditarik dari Surabaya. Pada tanggal yang sama di Surabaya, dikibarkan untuk pertama kalinya bendera Merah Putih diiringi lagu Indonesia Raya.
Terlepas dari kekaburan fakta seputar Hari Maritim Nasional itu, PSI tetap mengikuti kalender hari besar nasional yang telah diterbitkan pemerintah. Terlebih lagi dalam pidato pertama Jokowi setelah terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia ketujuh mengatakan “Saatnya kita kembali ke laut, sudah lama kita memunggungi samudera” Hal yang sama diulangi dalam peringatan Konferens Asia Afrika di Bandung dengan mencanangkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia pada April 2015. PSI melalui kultwit yang ditulis oleh Ketua Umum PSI Grace Natalie sehari sebelum Jokowi menyampaikan pidatonya, menyatakan pendapatnya tentang Poros Maritim Dunia dalam konteks Solidaritas Dunia Baru.
Berikut beberapa hal penting yang disampaikan oleh Ketum PSI dalam kultwit yang diberi judul “Poros Maritim dan Solidaritas Dunia Baru”. Dimulai dengan sejarah, mengenai bagaimana Soekarno menempatkan dalam sebuah blok ketiga ditengah dunia bipolar antara blok barat dan blok timur. Bagi Grace, itu adalah momentum diplomasi paling unggul yang bisa dikenang dalam sejarah diplomasi Indonesia. Selain tentu keberhasilan H. Agussalim dalam mendapatkan pengakuan kedaulatan dari beberapa negara.
Grace melanjutkan, bahwa hari ini ditengah peta ekonomi dunia yang berubah, posisi strategis Indonesia secara geografis tidak mengalami perubahan. Tetap dengan gerbang selat Malaka di ujung barat, yang menjadi selat strategis dalam peta pelayaran dunia. Sejarah jatuhnya kerajaan maritim nusantara juga diawali dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis saat itu. Selama Orde Baru, paradigm pembangunan Indonesia berpusat di darat, dengan Jakarta sebagai titik kendali. Malak terbengkalai, Singapore dan Malaysia secara teknologi dan infrasktruktur lebih berpengaruh di selat Malaka. Lalu cerita duka tentang negeri maritim terbesar di duni pun berlanjut. Sampai akhirnya Jokowi menjadi Presiden dan mencanangkan gerakan kembali ke laut.
Grace mengutip Sultan Hamengkubuwono X dalam kultwitnya, “Arus utara kemudian memukul kita mundur , bukan hanya sampai ke pantai, tapi sampai ke desa dan pedalama diri dan nurani kita. Akibatnya kita kehilangan daya kreasi untuk mengolah dan mencipta. Nalar dan sadar kira beku karenanya” Grace yakin bahwa mentalitas dan kebudayaan maritim adalah soal keterbukaan pada informasi dari luar, kemampuan adaptasi yang cepat dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Grace menegaskan bahwa mimpi Presiden Jokowi, benar-benar hanya akan menjadi mimpi, jika tidak mampu memobilisasi sumber daya manusia Indonesia ke dalam pembagian kerja yang efisien, sebagaimana sebuah kapal dalam sebuah pelayaran selalu disertai dengan pembagian peran kerja yang tertib dan ketat. Dalam kultwitnya Grace menyatakan “jangan bermimpi menjadi poros maritim dunia, jika membagi kue kekuasaan politik saja masih bertengkar”.
Syaratnya jelas, Indonesia harus kembali setara dengan Singapore dan Malaysia di gerbang Malaka, selain itu gerbang utara menghadap pasifik harus dibuka sebagai respon pertumbuhan ekonomi dunia di utara (Rusia, China, Korea, Jepang), selain itu beberapa kerjasama strategis dengan negara seperti Amerika Serikat dari Pasifik dan Australia dari Selatan juga tetap harus dijaga. Memang bukan sesuatu yang mudah, selain butuh waktu juga butuh teknologi, infrastruktur dan karenanya butuh dana yang besar. Grace menyarankan untuk melakukan efesiensi dalam hubungan diplomatik dengan fokus kepada negara-negara strategis. Kedutaan di beberapa negara harus dipersenjatai dengan sumber daya manusia yang kompetitif.
Indonesia memiliki modal yang kuat, sambung Grace dalam kultwitnya. Kita punya bonus populasi dan sumberdaya maritim terbesar di dunia. Dibutuhkan fokus kerja yang akhirnya bisa menghemat anggaran negara. Core National Interest Indonesia harus dipindahkan dari darat ke laut. Pemerataan pembangunan, ekonomi dan insfrastruktur di Barat dan di Timur harus berjalan. Kita punya semua yang dubutuhkan untuk menjadi bangsa yang besar. Tanpa itu kisah tentang negeri maritim terbesar di dunia, akan karam seperti kisah kerajaan maritim nusantara. SELAMAT HARI MARITIM NASIONAL 2015. Jalesveva Jayamahe, Di Lautan Kita Berjaya! #Merdeka100Persen