RUU KUHP Berpotensi Lahirkan Diskriminasi

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Salam solidaritas!

Partai Solidaritas Indonesia mengingatkan ancaman munculnya diskriminasi jika Rancangan Undang-Undang KUHP disahkan. Pasal mengenai living law berpotensi merugikan kelompok rentan, minoritas dan rentan dipakai sebagai alat politik identitas.

Pasal 2 RUU KUHP akan mengatur dan memformalkan hukum pidana adat ke dalam berbagai Peraturan Daerah setempat.

Salah satu dampak pemberlakuan RUU KUHP tercantum dalam Penjelasan Pasal 2 RUU KUHP yang mengatur bahwa “hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana” adalah hukum pidana adat.

RUU KUHP ini membuka peluang disahkannya hukum adat atau norma lokal yang bersifat diskriminatif. Sebagai perempuan, saya khawatir kelak atas nama norma adat atau ke-lokal-an muncul aturan mengenai pembatasan perempuan. Misalnya soal cara berpakaian perempuan atau larangan keluar malam. Data Komnas Perempuan pada 2018 mencatat ada 421 kebijakan di tingkat lokal yang bersifat diskriminatif.

PSI menolak living law dimasukkan ke dalam Pasal 2 RKUHP. Kehadiran pasal ini sangat berbahaya, mengingat adanya kemajemukan SARA di Indonesia, sifat-hakikat hukum Adat yang tidak tertulis, magis, dan dinamis, hingga potensi over-criminalization.

Selain itu, langkah memasukkan pasal living law bukanlah memuliakan masyarakat adat, melainkan negara mencoba mengambil peranan aturan masyarakat adat.

Prof Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dalam diskusi di PSI mengatakan, jika the living law diidentikkan dengan hukum adat, maka harus diingat bahwa ada hukum adat yang diskriminatif. Misalnya kawin paksa terhadap anak atau fenomena korban perkosaan yang dikawinkan dengan pelaku. Jika norma adat semacam ini dijadikan acuan formal dalam RUU KUHP atau peraturan turunannya nanti, maka hal itu tidak memberi keadilan bagi para korban.

Negara dapat memuliakan masyarakat adat dengan segera membahas dan mengesahkan RUU Masyarakat Adat, bukan dengan membakukan hukum adat dan mengambil alih otoritas masyarakat adat.

Memaksakan living law untuk diatur di dalam Perda akan membuka persoalan baru yang jauh lebih massif. Ini juga berpotensi melanggar Pasal 28G ayat 1 UUD 1945, karena aturan adat yang berbeda antar satu daerah dengan yang lain, dan bisa memidana masyarakat, yang dibuat formal dalam Perda-Perda akan berpotensi membuat orang takut untuk bertindak sesuai hak asasinya.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Salam solidaritas!

 

Sekjen DPP PSI

Dea Tunggaesti

Recommended Posts