Politik Perempuan yang Disandera
Editorial Koran Solidaritas, Edisi VIII Februari 2016
Pemilu 2019 masih empat tahun lagi, masih lama memang, namun tidak demikian adanya ketika di hari perempuan Internasional ini kita mengajukan sebuah pertanyaan penting “apa kabar upaya mengejar 30% keterwakilan perempuan di Parlemen?” Jawaban instan dan berbau proposalnya tentu adalah “kita terus melakukan penguatan-penguatan, kapasitas perempuan harus ditingkatkan di bidang politik, kita harus membuat kaukus lintas partai politik, pendidikan pemilih harus dilakukan, kampanye perempuan pilih perempuan harus dilancarkan.” Itu jawaban yang akan kita dapatkan, yang pada akhirnya berujung pada nasib yang sama, jangankan mencapai angka 30% keterwakilan perempuan, untuk mempertahankan kursi yang sudah dicapai pada Pemilu sebelumnya saja adalah hal yang sangat berat.
Disisi lain, sebuah kekuatan nyata sedang bergerak, generasi milenial yang lahir dalam krisis ekonomi tahun 1990an, atau biasa disebut generasi Y dan Z, tanpa disadari akan menjadi penentu siapa yang akan memenangkan Pemilihan Umum tahun 2019 yang akan datang. Bonus demografi membawa sebuah kenyataan yang tidak bisa ditolak, bahwa jumlah pemilih dalam rentang usia 17-35 tahun, merupakan pemilih mayoritas dengan angka 55%. Tentu beberapa dari mereka masih berusia 14-16 tahun pada hari ini. Apakah mereka tidak memahami soal kesetaraan gender sehingga perlu dikhawatirkan? Justru karena mereka paham nilainya, lalu mereka menjadi bingung ketika menemukan fakta berbeda di dunia sekolah, kerja, lingkungan sosial terutama dirumah, bahwa di jaman milenial seperti ini diskriminasi masih berlangsung.
Mengapa angka 30% dianggap cukup adil? Bukankah itu lebih mirip kekalahan negosiasi kaum perempuan di meja perundingan yang disamarkan dengan kata “afirmasi”? Jika mau jujur, kita semua sebenarnya dilanda pesimisme yang sama tentang angka 30% untuk perempuan itu. Fakta menunjukkan, sejak Pemilu 2004 hingga Pemilu 2019, angka Caleg Perempuan meningkat, namun menurun dalam perolehan kursi. Lalu tiba-tiba semua laki-laki bisa dengan pongah berkata “tuhh kan, 30% aja sulit tercapai, bagaimana minta kesetaraan?” Lalu beberapa lembaga internasional datang dengan program “penguatan kapasitas perempuan dalam politik.” Ilusi yang tadinya hanya untuk menutupi rasa malu karena kekalahamn di meja perundingan, lalu benar-benar menjadi petaka ketika sebagian orang percaya.
Persoalan utamanya bukan disitu! Persoalannya adalah Laki-laki yang sudah menikmati privilege sosial, ekonomi, politik dan budaya sejak depolitisasi gerakan perempuan pada tahun 1960an. Laki-laki telah memenangkan perundingan dengan membangun mekanisme pertandingan yang curang. Bukankah mengatur sebuah pertarungan yang tidak seimbang adalah sebuah kecurangan? Bukankah sama ketika Sengkuni mengatur permainan judi yang curang antara laki-laki Pandawa dan laki-laki Kurawa, perempuan bernama Drupadi yang menjadi korban?
Sungguh 30% kepengurusan partai untuk perempuan, hanyalah injeksi anti-depresan yang disuntikkan Sengkuni-sengkuni yang takut pada kekuatan kaum perempuan Indonesia. Mari periksa berapa banyak perempuan duduk sebagai Ketua dan Sekertaris di kepengurusan Parpol, cek dari dari Pusat hingga Kecamatan. Hal lain berputar disekitar Parpol, domestifikasi peran, pengajuan Caleg hingga di parlemen. Faktor legal formal (afirmasi) terpenuhi, tapi saat yang sama membuat posisi perempuan stagnan di Politik.
Yang terakhir, namun bukan yang paling akhir, Koran Solidaritas ingin menunjukkan sebuah angka statistik sejak 2009 hingga 2013, mengenai jumlah Penduduk Indonesia berusia diatas 10 tahun, yang tidak berkesempatan untuk bersekolah. Laki-laki berkurang dari angka hampir 7,2 % di tahun 2009 menurun menjadi 5,9% di tahun 2013. Sementara Perempuan, dari 18,5% di tahun 2009 hingga 2013 masih di angka 15,6%. Jadi klaim kesetaraan jadi sangat absurd rasanya dengan melihat fakta miris, bahwa masih ada 15,6% perempuan Indonesia yang tidak sempat untuk bersekolah. Lalu siapa yang salah?
Yang dibutuhkan saat ini adalah menciptakan aturan main yang adil. Kata keadilan disini bukanlah perlakuan yang sama pada keadaan yang tidak sama. Keadilan adalah pengakuan yang jujur pada ketidaksamaan. Sehingga afirmasi bukanlah membuat aturan yang sama pada kualitas materi yang berbeda. Afirmasi adalah pengakuan yang jujur, bahwa keadaan perempuan secara ekonomi, sosial dan budaya sudah jauh ditinggalkan laki-laki.
Hanya dengan menciptakan medan pertarungan yang adil, aturan permainan yang seimbang, Redaksi KS yakin perempuan Indonesia akan sampai pada tingkat kesetaraannya dengan laki-laki. Keadilan hanya terjadi jika Negara mewajibkan adanya gelanggang khusus untuk perempuan bertarung dengan perempuan. Gelanggang itu harus diatur dalam UU Pemilihan Umum yang akan datang dengan menyediakan ruang 30% di parlemen untuk diduduki perempuan. Dengan demikian partai akan dipaksa untuk mencari kader-kader perempuan terbaik untuk menghadapi perempuan dari parpol yang lain. Disana kita bisa berharap, kesetaraan, afirmasi, keadilan gender bukan lagi satu jargon tapi bukti.
PEREMPUAN INDONESIA BERHAK UNTUK:
30% KEPENGURUSAN PARPOL
30% KUOTA CALEG
30% KURSI PARLEMEN
MERDEKA PEREMPUAN INDONESIA