Beli Kucing di Luar Karung

Tajuk Kompas– Seperti membeli kucing di dalam karung. Begitu peribahasa yang acap kali dipakai dalam pemilu terkait calon anggota legislatif yang akan dipilih rakyat. Rakyat sering kali tidak mengenali calonnya. Kewenangan menentukan calon anggota legislatif (caleg), sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, merupakan kewenangan partai politik.

Pasal 241 UU Pemilu menyebutkan, seleksi untuk calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan oleh partai politik peserta pemilu. Seleksi bakal calon dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai ketentuan internal parpol. Pelibatan masyarakat dalam penentuan caleg tidak diatur dalam undang-undang itu.

Sejarah pergelaran pemilu di negeri ini memperlihatkan, pimpinan parpol berwenang menentukan seseorang menjadi caleg di nomor urut atas, bawah, atau sekadar jadi pelengkap daftar calon. Kepentingan subyektif pimpinan parpol selalu mewarnai. Tidak jarang anak atau keluarga pimpinan parpol menjadi calon jadi.

Suara pemilih partai pun dimobilisasi untuk memenangkan keluarga pimpinan parpol. Kader yang secara personal berkualitas bisa tidak terpilih karena ditempatkan di nomor urut bawah. Sejak Pemilu 2009, dan akan diikuti dalam Pemilu 2019, calon yang memiliki suara terbanyak, tak peduli berapa pun nomor urutnya, bisa terpilih menjadi wakil rakyat.

Kapabilitas dan integritas, selain popularitas calon, menjadi penentu seorang caleg akan terpilih atau tidak. Oleh karena itu, partai harus menyiapkan kader terbaiknya. Selama dua hari terakhir, harian ini melaporkan parpol tidak mudah untuk menentukan caleg dalam Pemilu 2019.

Keterbukaan dalam perekrutan dan penentuan calon, yang selama ini digantungkan pada ”kebijakan” pimpinan parpol, tak bisa lagi sepenuhnya dipakai sebagai ukuran. Ada saja pimpinan parpol yang terbelit masalah sehingga kredibilitasnya dipertanyakan. Kredibilitas partai pun terganggu.

Rakyat juga semakin cerdas dalam menentukan wakilnya. Pada pemilu lalu, sejumlah parpol memasang iklan di media massa, mengundang warga negara yang memiliki kompetensi untuk bersedia dicalonkan sebagai wakil rakyat. Namun, mungkin yang didapatkan adalah pencari kerja yang memburu apa pun lowongan pekerjaan itu.

Langkah Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang minggu lalu menggelar semacam uji kompetensi bagi anggotanya yang akan menjadi caleg, dengan melibatkan tokoh publik nonpartai secara terbuka, pantas diapresiasi. Langkah itu setidaknya mengurangi aroma nepotisme dalam penentuan caleg.

Setidaknya rakyat bisa melihat bakal calonnya sejak awal dan mereka tidak seperti membeli kucing dalam karung. Calon itu sudah diletakkan di luar ”karung”. Kini, konsistensi pimpinan parpol untuk menerima hasil seleksi itu menjadi taruhannya. Parpol lain tentu bisa mengembangkan model lain yang melibatkan khalayak.

Sumber Tajuk Harian Kompas, 7 November 2017

Recommended Posts