Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menyayangkan surat himbauan yang dikeluarkan Walikota Malang Sutiaji perihal Perayaan Natal 2018 dan Tahun Baru 2019.
“Kami menyayangkan diterbitkannya surat himbauan itu. Surat itu diskriminatif dan tidak mencerminkan rasa keberagaman yang menjadi kekuatan Indonesia,” kata juru bicara Partai Solidaritas Indonesia (PSI) bidang hukum Surya Tjandra, Jumat, 21 Desember 2018.
Dalam surat bernomor 730/4146/35.73.406/2018 bertanggal 17 Desember 2018 dan bersifat penting itu ada 5 poin yang disampaikan. Poin yang dinilai kurang sensitif pada keberagaman termaktub pada poin kedua.
Poin kedua berbunyi, ‘bagi warga yang mengadakan pesta Perayaan Natal dan tahun baru tidak dilakukan secara demonstratif yang mengganggu perasaan umat lain dan mengganggu ketertiban umum serta menyampaikan pemberitahuan kepada pihak terkait sesuai ketentuan yang berlaku’.
Menurut Surya, frase ‘demonstratif yang mengganggu perasaan umat lain’ dalam surat edaran itu berdampak pada terbatasnya ruang bagi umat Kristen dalam merayakan hari keagamaannya. “Umat Kristen yang merayakan Hari Natal justru harus dihormati sebagai bentuk jaminan negara atas kebebasan hak beragama dan berkeyakinan,” kata Caleg PSI untuk DPR-RI dari dapil Malang Raya itu.
Surya berharap Walikota Malang dapat mempertimbangkan surat edaran itu agar dicabut seraya membuat aturan yang mendorong rasa kebersamaan antar sesama warga sehingga tercipta sikap saling menghormati dalam kehidupan beragama.
“Saya mengapresiasi Walikota Malang yang menyatakan ingin mengayomi semua pihak dan tidak mendeskreditkan kelompok lain dalam konteks ini. Tapi pernyataan itu harus dibuktikan dalam pembuatan aturan yang inklusif dan tidak mencederai semangat kesetaraan warga di mata hukum,” kata doktor hukum lulusan Universitas Leiden, Belanda, itu.
Dalam hal aturan mengenai perayaan Natal dan tahun baru, Surya menyarankan Walikota Malang belajar dari Walikota Surabaya Tri Rismaharini yang menerbitkan aturan yang serupa pada tahun 2016.
“Surat edaran yang diterbitkan Risma itu jelas mempertimbangkan asas kebersamaan. Tidak ada satu poin pun yang terindikasi membatasi umat Kristen dalam merayakan Hari Natal. Toleransi di Surabaya benar-benar dikukuhkan, bukan sekadar retorika.”