Sebelum dibawa ke Paripurna, RUU TPKS disetujui delapan dari sembilan fraksi dalam Rapat Pleno pengambilan keputusan tingkat satu di Badan Legislasi DPR, Rabu (6/4). Hanya fraksi PKS yang menolak RUU TPKS dengan alasan tak memasukkan norma kesusilaan atau pasal yang mengatur perzinahan.
Sejak disahkan menjadi RUU Inisiatif DPR 18 Januari lalu, pemerintah dan DPR terus mengebut pembahasan RUU TPKS mulai akhir Maret lalu. Hingga disahkan per Selasa (12/4) hari ini, pembahasan RUU TPKS terhitung memakan waktu tak lebih dari dua pekan. Kita patut mengapresiasi hal ini.
Ini adalah bentuk kehadiran negara memberikan rasa keadilan dan perlindungan kepada korban kekerasan seksual yang selama ini kita sebut sebagai fenomena gunung es.
Pengesahan UU TPKS ini tentu punya arti penting untuk penguatan pengaturan tentang perlakuan dan tanggung jawab negara untuk mencegah, menangani kasus kekerasan seksual dan memulihkan korban secara komprehensif.
Pasal 3 UU TPKS mengatur soal substansi dalam UU tersebut. Di dalamnya antara lain menyebutkan, substansi UU TPKS adalah untuk mencegah kekerasan seksual; menangani hingga memulihkan korban; mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual; dan menjamin kekerasan seksual tak berulang.
Hadiah Menjelang Hari Kartini
Selain bertepatan pada hari Ramadhan 2022, pengesahan RUU TPKS juga bertepatan menjelang hari lahir Kartini, tokoh emansipasi wanita Indonesia dengan sekelumit pemikiran progresifnya.
Hal ini tentu menjadi simbolisasi sejarah yang monumental ke depannya. Di setiap menjelang peringatan hari Kartini ke depannya, akan sekaligus juga diperingati sebagai hari lahirnya UU TPKS. Ini menjadi semacam perwujudan cita-cita Kartini, bagaimana wanita dihargai eksistensinya sekaligus dilindungi secara hukum.
Kami PSI, tentu sangat mensyukuri, bahwa perjuangan para Srikandi PSI dan Bro dan Sis yang peduli akan perempuan telah membuahkan hasil. Namun, tentu ini bukanlah akhir. Ini justru adalah awal dari perjuangan yang baru.
Tegaknya Hukum, Tegaknya Keadilan
Kabar baik lainnya datang dari vonis hukuman mati terhadap Herry Wirawan, predator seksual pemerkosa 13 santriwati. Hal ini menambah rasa syukur kita atas masih adanya rasa keadilan di negeri ini. Sebab proses peradilan hukum, terhadap kasus besar, baik itu intoleransi, korupsi, hingga kejahatan kemanusiaan, sangatlah menuai sorotan tajam masyarakat.
Hukuman keras terhadap Herry Wirawan merupakan langkah awal untuk peradilan hukum bagi kasus kekerasan seksual ke depannya. Tentu juga, kita berharap juga menjadi preseden baik bagi peradilan kasus intoleransi dan juga korupsi.
Disahkannya RUU TPKS tentu patut kita syukuri. Namun, UU TPKS barulah satu yang tahun ini benar-benar tampak sebagai perbaikan konkret hukum di tengah sorotan masyarakat. Kita tentu berharap tak berhenti sampai di sini.
Hukum adalah pilar tegaknya keadilan. Demokrasi tanpa keadilan, adalah ilusi. Semoga produk-produk hukum yang akan terus bermunculan ke depannya bukan hanya semakin memperkuat rasa aman, tetapi betul-betul ditegakkan secara nyata.
Salam Solidaritas!