Belakangan ini ada sebagian kelompok yang menawarkan dasar negara baru untuk Indonesia. Dasar negara yang katanya lebih religius. Namun religiusitas ini didasarkan pada agama tertentu, bukan untuk seluruh agama. Bagi mereka, Pancasila dianggap kurang religius.
Hal ini sungguh menarik. Padahal sebenarnya semua agama, apa pun itu, pasti mengajarkan nilai-nilai yang terkandung di setiap sila di Pancasila tersebut. Sila-sila yang terkandung dalam Pancasila merupakan nilai-nilai mulia. Dalam Islam sendiri, misalnya, Pancasila sebenarnya telah mengajarkan hablum minallah wa hablum minannas (hubungan kepada Allah SWT dan hubungan kepada manusia).
Sukarno sendiri sebagai penggali Pancasila sebenarnya adalah seorang nasionalis-religius. Sejak tahun 1930, atau lebih tepatnya sejak pengasingannya di Ende, Sukarno hobi menuliskan tentang pandangan keislamannya. Ia mengaku sebagai pengagum Nabi Muhammad SAW. Dirinya melihat Nabi Muhammad bukan sekadar orang besar saja, tapi juga bukan manusia biasa.
“Ya Allah, ya Rabbi! Berikanlah ilham kepadaku. Besok pagi aku harus berpidato mengusulkan dasar-dasar Indonesia merdeka. Pertama, benarkah keyakinanku, ya Tuhan, bahwa kemerdekaan itu harus didasarkan atas persatuan dan kesatuan bangsa?
Kedua, ya Allah, ya Rabbi, berikanlah petunjuk kepadaku, berikanlah ilham kepadaku, kalau ada dasar-dasar lain yang harus kukemukakan, apakah dasar-dasar itu?”
Ini membuktikan bahwa Pancasila adalah produk hasil munajat seorang Bapak Bangsa kepada Tuhannya. Sebagai penggali Pancasila yang melihat bahwa Pancasila sebenarnya sudah ada dalam keseharian masyarakat Indonesia, Sukarno sadar bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius.
Itulah mengapa sila Ketuhanan Yang Maha Esa ia sebut sebagai salah satu sila yang ada dalam Pancasila. Meski ketika itu sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi sila terakhir, ini bukan karena Sukarno meremehkan peran Tuhan atau peran agama, tapi ia hendak mengedepankan hablum minannas (hubungan antar-manusia) dalam konteks berbangsa dan bernegara.
Namun, ketika hasil kesepakatan meminta sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi sila pertama, Sukarno akhirnya menerima dan menghormati kesepakatan bersama itu.
Dengan adanya sila Ketuhanan Yang Maha Esa, apalagi posisinya ada pada sila pertama, sebenarnya tak bisa dipungkiri bahwa Pancasila adalah ideologi yang religius. Ini pun diakui oleh Hatta.
Dalam buku Bung Karno “Menerjemahkan” Al-Quran karya Mochamad Nur Arifin, Bung Hatta menegaskan bahwa ikrar Ketuhanan yang ditempatkan di Sila Pertama Pancasila merupakan jaminan fondasi moral yang kuat bagi Indonesia. Dalam buku ini pula dijelaskan bahwa selain Hatta, Roeslan Abdoelgani juga menyatakan dalam sidang Dewan Konstituanye bahwa Sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah akar tunggangnya Pancasila. Bahwa sila ini adalah tonggak pengukuh pohon kebangsaan.
Tapi untuk siapa religiusitas Pancasila ini? Sejak awal, hal ini sudah ditegaskan oleh Sukarno ketika ia pertama kali mengemukakan Pancasila sebagai ideologi yang cocok sebagai dasar negara Indonesia.
“Saudara-saudara, saya bertanya: apakah kita hendak mendirikan Indonesia merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan? Sudah tentu tidak!” begitulah kata Sukarno. Baginya, Indonesia berdiri atas dasar semua untuk semua. Bukan untuk satu orang atau satu golongan saja.
Dan itulah yang tercermin dalam setiap sila yang ada di Pancasila. Religusitas Pancasila sebagai dasar negara Republik ini tidak hanya untuk satu golongan, namun semua golongan. Pancasila memberikan rasa adil bagi setiap pemeluk agama di negeri ini. Mereka yang menganggap bahwa Pancasila kurang religius atau kurang adil adalah mereka yang hendak mengubah Indonesia yang berdiri atas dasar semua untuk semua menjadi Indonesia yang eksklusif untuk golongan mereka saja.
Sebagai seorang Muslim, saya kagum Pancasila bisa menjadi ideologi yang religius namun tetap terbuka bagi semuanya. Sebagaimana setiap penganut agama lainnya bisa mengatakan hal yang sama, saya ingin katakan dengan bangga: “Saya Islam, Saya Indonesia, Saya Pancasila!”