Bagi awam, kemunculan Raja Juli ini terkesan mendadak dan mencengangkan karena ia langsung memilih lawan kelas berat saat terlibat konfrontasi secara langsung dengan polisi gaek, Wakil Ketua Partai Gerindra Fadli Zon. Posturnya yang kurus, wajahnya yang polos membuat banyak orang mengira bahwa ia adalah “anak kemarin sore” yang diuntungkan oleh keberadaan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang mempunyai platform partainya anak muda.
Pria yang memiliki nama lengkap Raja Juli Antoni ini adalah seorang anak muda yang tidak bisa dianggap remeh. Pemikiran kritisnya terlihat sejak ia masih berada di strata satu UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Ia menulis tugas akhirnya dengan skripsi berjudul Ayat-ayat Jihad: Studi Kritis terhadap Penafsiran Jihad sebagai Perang Suci.
Selain terbilang bersinar di dunia akademis, ia juga terkenal sebagai orang yang cemerlang sebagai aktivis. Dia menduduki jabatan puncak Ikatan Pelajar Muhammadiyah pada masa strata satunya. Kecemerlangannya ini kemudian membuatnya mendapatkan beasiswa master ke Bradford University, Inggris, dan menyelesaikan strata duanya dengan tesis berjudul The Conflict in Aceh: Searching for A Peaceful Conflict Resolution Process.
Tak cukup hanya dengan ke Inggris, ia mendapatkan beasiswa dari Australia pada tahun 2010 dan menyelesaikan program doktoralnya dengan disertasi berjudul Religious Peacebuilders: The Role of Religion in Peacebuilding in Conflict Torn Society in Southeast Asia, dengan mengambil studi kasus Mindanao (Filipina Selatan) dan Maluku (Indonesia).
Anak muda dengan kultur aktivis kampus ini juga pernah menjabat sebagai direktur Ma’arif Institute yang didirikan oleh Buya Ahmad Syafi’i Ma’arif. Ia juga tercatat pernah menggegerkan Pimpinan Pusat Muhammadiyah saat mengajukan diri sebagai ketua PP Muhammadiyah untuk periode 2015-2020, tapi saat itu ia memilih mengundurkan diri untuk berkonsentrasi di PSI yang ia dirikan bersama anak-anak muda lainnya.
Penampilan Raja di acara Indonesia Lawyer Club (ILC) pada Selasa malam itu (6/3/2018), yang memakai kopiah serta prolog bahasa Arabnya yang fasih, akan membuat siapa pun yang tidak tahu menyangka bahwa dia adalah anak muda NU dengan kultur santri tradisionalnya, lebih NU dari Ahmad Sahal yang duduk tak jauh dari dirinya.
Secara karir politik, Raja memang masih hijau. Ia kalah berpengalaman dibandingkan politikus gaek Fadli Zon, yang ikut mendirikan Partai Gerindra bersama Prabowo. Fadli Zon juga secara cerdik dapat menguasai parlemen bersama para aliansinya saat itu yang bernama Koalisi Merah Putih (KMP) mengalahkan partai pemenang pemilu melalui kecerdikannya mengubah tata aturan pemilihan pimpinan dewan.
Berbeda dengan Fadli Zon yang cerdik dan terkenal banyak akal, Raja selama ini dikenal sebagai seorang peneliti akademisi yang idealis dan memiliki cara pandang jernih dan sistematis. Hal ini terlihat pada bagaimana Raja mencoba membangun narasinya setahap demi setahap secara runtut tapi tiba-tiba saja dipotong oleh Fadli Zon. Saat itu ia mencoba membangun argumentasi sebagai bukti atas tesisnya yang menyatakan bahwa fenomena maraknya hoaks di Indonesia adalah dikarenakan tidak ada partai politik oposisi yang kredibel.
Kredibilitas yang dimaksud Raja adalah kredibiltas oposan seperti terjadi di negara-negara maju yang memberikan solusi alternatif dan memberikan kebijakan alternatif atas kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa.
Sayangnya, saat Raja hendak mengemukakan bukti atas argumen yang coba ia bangun, Fadli Zon langsung menyelanya secara emosional. Ya, karena ternyata bukti yang dikemukakan adalah cuitan Fadli Zon yang mengkritik pemerintah. Penyebutan nama ini direspons secara konfrontatif oleh Fadli, karena menurut dia hal ini sudah mengarah pada penyerangan individu.
Padahal, apa yang ingin disampaikan Raja adalah contoh kasus atas tidak kredibelnya sebuah kritik yang dilakukan oleh pihak oposisi di Indonesia dengan memperlihatkan jejak digital kritikan tersebut. Tapi, Fadli Zon menganggapnya bahwa apa yang dilakukan Raja adalah sebuah serangan secara pribadi.
Raja Juli meminta host ILC, Karni Ilyas, agar mengizinkannya menyelesaikan terlebih dulu apa yang ingin ia sampaikan. Tapi, rupanya, protes menyela pembicaraan ala Fadli Zon terus berlanjut dan ini dibiarkan oleh sang host.
Mungkin maksud Karni dan tim kreatifnya agar acara ini terlihat seru serta menyedot emosi penonton. Tapi, sayang sekali, hal tersebut ternyata malah mengorbankan presentasi tesis politik yang ingin dibangun Raja, dan akibatnya dia tidak dapat menyampaikan apa yang ia inginkan secara utuh kepada publik.
Akhirnya, yang terjadi adalah kesan bahwa Raja terlibat debat kusir dengan Fadli Zon. Dalam dunia akademis, apa yang dilakukan Fadli Zon sangat tidak layak dan tidak beretika karena menyela pembicaraan orang lain saat seseorang sedang berbicara. Dan sebagai seorang lulusan Amerika, Fadli pasti sadar bahwa apa yang dilakukannya tersebut tidak pantas dan tidak beretika.
Namun, sebagai seorang politisi yang selama ini sering menabrak nalar-nalar publik, ia tidak ingin kehilangan muka di depan banyak orang. Terutama karena acara ini disiarkan langsung dan memperoleh rating yang tinggi di kalangan penonton Indonesia. Selain tidak ingin dipermalukan di depan penonton televisi, tentu Fadli Zon juga tidak ingin “dimarahi” oleh bos besarnya di Partai Gerindra karena dianggap kalah debat dengan anak kemarin sore.
Akan tetapi, media sosial mencatat bahwa perdebatan keduanya inilah yang paling menyedot perhatian dari keseluruhan acara ILC yang dihelat pada 6 Maret 2018 ini. Pro dan kontra atas perdebatan itu juga menjadi tranding topicdari Twitter. Cuitan Raja Juli yang mengulang pernyataannya di ILC itu pun terlihat disukai lebih dari 1.400 orang, di-retwit lebih dari 2.350 orang, dan dikomentari lebih dari 500 komentar.
Layaknya kasus-kasus lain yang menjadi viral, perdebatan Raja Juli vs Fadli Zon di ILC ini juga menjadi panggung kontestasi bagi dua kubu yang selama ini bertengkar di dunia maya; pro-pemerintah dan kontra-pemerintah untuk saling melakukan twit war (perang cuitan) di Twitter.
Tapi, bagi kita yang mau berpikir jernih, bagi kita yang hidup di dunia akademis, akan tahu bahwa apa yang dilakukan Fadli dengan menyela pembicaraan orang, menyerang secara pribadi saat lawan hendak membuktikan argumentasi sungguh tidak layak. Apalagi itu dilakukan oleh seorang Wakil Ketua DPR dan sekaligus Chairman of Global Organization of Parliamentarians Against Corruption (GOPAC).
Idealnya, Raja Juli diberikan kesempatan yang sama oleh host acara, Karni Ilyas, untuk menyampaikan argumentasinya sampai selesai sesuai waktu yang memang telah disediakan kepada seluruh nara sumber. Bagi sebagian kalangan, apa yang dilakukan Karni adalah berat sebelah karena dianggap membiarkan selaan Fadli Zon saat Raja sedang mencoba menyampaikan argumentasi berikut bukti yang hendak ia sampaikan.
Tatkala hal tersebut telah habis waktunya atau telah purna dikatakan, maka barulah seorang host boleh mempersilakan pada pihak lain untuk mengajukan keberatan-keberatannya jika ada.
Bukan sekali ini saja Karni Ilyas dianggap lebih dekat dengan kelompok-kelompok kontra pemerintah. Kecurigaan ini tentu wajar mengingat TV Oneadalah milik Aburizal Bakrie, yang dulu mengambil keputusan beroposisi dengan pemerintah sebelum kemudian kepemimpinan Partai Golkar diambil alih oleh Setya Novanto, yang saat ini mendekam di penjara KPK untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya atas dugaan korupsi e-KTP yang melibatkan dirinya.
Satu hal yang viral dari perdebatan tersebut adalah quote atau lebih tepatnya tesis yang diajukan Raja Juli, “hoaks menjamur karena Indonesia tak punya partai oposisi yang kredibel, oposisi gagal menawarkan policy alternatif.” Dan terbukti, malam itu Fadli Zon tak mampu membantah tesis yang diajukan oleh anak muda ini, tapi hanya memberikan serangan-serangan sporadis kepada Raja tanpa menyentuh esensi yang disampaikannya.
Siapa yang layak menjadi “Raja Panggung” ILC malam itu? Jawab saya adalah Raja Juli Antoni.