Partai Solidaritas Indonesia (PSI) meminta agar biaya perjalanan dinas Anggota DPR diubah dari cara lumpsum menjadi biaya riil (at cost).
“Tim riset caleg PSI menemukan bahwa salah satu titik kebocoran uang rakyat terjadi karena biaya kunjungan kerja atau perjalanan dinas di DPR diberikan utuh di muka (lumpsum) dan tidak dengan sistem biaya riil (at cost),” kata juru bicara PSI bidang hukum Dini Purwono di Jakarta, Selasa 31 Oktober 2018.
Ini terjadi karena DPR bertahan menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 tahun 1990 yang memang tidak mewajibkan adanya pertanggungjawaban biaya perjalanan. Padahal lembaga pemerintah sudah mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 113 tahun 2012 yang menerapkan sistem biaya riil atau ‘at cost’ untuk biaya perjalanan.
Dini menyatakan, “Sangat disayangkan DPR tidak mengikuti pemerintah dalam hal ini. Permasalahan ada di PP No 61/1990 karena dalam peraturan itu, anggota DPR hanya menyerahkan Surat Perintah Perjalanan Dinas dan kuitansi/tanda bukti penerimaan biaya perjalanan dinas.”
Jika tidak ada pertanggungjawaban berdasarkan biaya riil, maka tidak tertutup kemungkinan bahwa terjadi manipulasi biaya perjalanan. Sebagai ilustrasi, biaya diberikan untuk membeli tiket pesawat kelas bisnis bisa saja dibelanjakan untuk beli tiket kelas ekonomi agar selisih uang bisa masuk saku pribadi.
“Untuk perjalanan ke Washington pulang pergi, selisihnya bisa puluhan juta rupiah. Itu namanya penghamburan! Selisih uang itu kan lebih baik dipakai untuk rakyat,” kata Caleg PSI DPR RI dapil Semarang, Kendal, dan Salatiga ini.
Setelah PSI meluncurkan gerakan “Bersih-Bersih DPR” dan mengajak rekan media untuk mengangkat isu ini ke publik, terjadi penolakan dari anggota DPR. “Pekan lalu, kami sudah mengundang para wartawan untuk berbincang soal ini dan kami mendapat tekanan dari berbagai pihak yang merasa zona nyamannya terusik,” jelas Dini.
Meski demikian, reaksi positif juga diberikan dari kelompok sipil seperti Ray Rangkuti (Lingkar Madani) dan Direktur Eksekutif Perludem (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi), Titi Anggarini. Mereka mendukung gagasan PSI yang disampaikan melalui media.
“Yang PSI bawa adalah semangat lawan korupsi, kalau terjadi penolakan untuk perubahan yang lebih baik, barangkali mereka tidak memiliki semangat yang sama,” tutur Dini lebih lanjut.
Dalam kasus ini, PSI hendak mengubah sistem di DPR karena melihat adanya kekurangan. PSI tidak bermaksud mengusik para anggota dewan namun partai-partai lama justru mencela dan menuding PSI.
“Saya tegaskan ini adalah masalah sistem. Selama PP No 61 tahun 1990 itu tak direvisi, maka perampokan uang rakyat di DPR dilakukan secara legal karena manipulasi biaya perjalanan dinas anggota dewan akan terus terjadi,” pungkas Dini.