PSI mengecam keputusan kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat (NTB) yang pada 22 Januari 2019 menyatakan menghentikan pengusutan dugaan pidana perbuatan cabul terhadap Baiq Nuril oleh atasannya, seorang kepala sekolah di Mataram.
Polisi menyatakan penyidikan dihentikan karena ketiadaan saksi. Polisi juga menyatakan tindakan yang dilakukan oleh sang kepala sekolah tidak dapat dikategorikan sebagai ‘perbuatan cabul’ mengingat tidak ada kontak fisik antara si kepala sekolah dengan Nuril.
“Keputusan ini sungguh mengherankan dan layak dikecam,”ujar Dara Adinda Nasution, juru bicara PSI untuk isu-isu perempuan. “Nuril jelas-jelas sudah menghadirkan rekaman percakapan telepon atasannya yang berisi pernyataan-pernyataan yang bertendensi seks. Dan tidak bisa diterima dengan akal sehat bahwa tindakan cabul hanya terbatas pada tindakan kontak fisik.”
Sekadar mengingatkan, Nuril adalah seorang guru honorer di Mataram yang merekam percakapan mesum telepon yang dilakukan atasannya dan kemudian menyampaikan rekaman tersebut kepada rekan kerjanya . Oleh rekannya tesrebut, rekaman tersebut disebarluaskan sehingga menimbulkan kehebohan. Sang Kepala Sekolah akhirnya dimutasi namun justru memperoleh kenaikan jabatan.
Nuril kini menjalani dua proses hukum. Yang pertama, digugat oleh sang atasan karena dianggap mencemarkan nama baik. Nuril semula dibebaskan oleh Pengadilan Negeri Mataram pada 2017 namun keputusan itu dianulir Mahkamah Agung yang menyatakan Nuril bersalah sehingga harus masuk penjara enam bulan dan membayar denda sebesar Rp 500 juta. Karena besarnya reaksi publik, penahanan Nuril ditangguhkan. Saat ini kuasa hukumnya sedang mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung.
Yang kedua, pada 19 November 2018, Nuril mengadukan perilaku atasannya itu kepada polisi atas dasar tuduhan pidana perbuatan cabul.
Kini, sebagaimana disampaikan Direktur Amnesty Internasional Usman Hamid, Polda NTB menghentikan penyelidikan terhadap dugaan perbuatan cabul oleh atasan Nuril. Polisi berdalih, “penyelidik belum mendapati atau menemukan peristiwa pidana atas perbuatan cabul” yang diduga dilakukan terduga pelaku terhadap Nuril.
“Pernyataan polisi ini sungguh mengherankan karena isi percakapan telepon atasannya dengan Nuril itu memuat banyak bukti bahwa sang atasan mengeluarkan pernyataan-pernyataan verbal yang mesum dan cabul,” kata Dara.
Menurut Dara, tentu saja tidak ada saksi yang bisa melihat atau mendengar langsung percakapan telepon yang dilakukan oleh sang atasan dengan Nuril. “Tapi bukankah bukti percakapan telepon itu bisa digunakan sebagai bukti tanpa perlu ada saksi?” ujar Dara. “Kalaulah polisi memang mau serius mendalami kebenaran percakapan tersebut, yang bisa dilakukan adalah menyelidiki apakah itu memang rekaman asli tanpa rekayasa, atau mempelajari apakah itu benar-benar suara sang atasan atau suara orang lain.”
Dara juga menyatakan heran dengan pernyataan polisi bahwa tindakan sang atasan tidak bisa dianggap sebagai perbuatan cabul karena tidak terjadi kontak fisik antara sang atasan dengan Nuril. “Ini menunjukkan betapa tidak sensitifnya pihak kepolisian dengan nasib korban,” kata Dara. “Pelecehan seksual dan perbuatan cabul tentu saja tidak terbatas pada tindakan fisik. Pernyataan verbal secara lisan dan tertulis yang mesum dan melecehkan tentu saja bisa masuk dalam kategori perbuatan cabul.”
Karena itulah, menurut Dara, PSI mengecam keras keputusan Kepolisan NTB mengehentikan penyelidikan atas dugaan tindakan cabul tersebut. “Kami berharap Kapolri dapat memerintahkan peninjauan kembali keputusan tersebut dan melanjutkan perkara tersebut ke tingkat penyidikan,” kata Caleg PSI dari Dapil Sumatra Utara 3 itu.
Dara menambahkan: “Ini juga semakin memperkuat keyakinan kami di PSI bahwa pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual harus segara diwujudkan, karena dalam RUU tersebut secara jelas, apa yang disebut sebagai Kekerasan Seksual tidaklah berhenti hanya pada kasus-kasus perkosaan dan pelecehan secara fisik, namun juga mencakup begitu banyak praktek pelecehan seksual lainnya.”