Petisi Tolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Buatan Maimon Herawati Ngawur

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) geram karena muncul petisi online menolak Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang dibuat Maimon Herawati. Petisi online tersebut telah menghimpun lebih dari 50.000 tanda tangan.

Sebelumnya, Maimon Herawati, seorang dosen Universitas Padjajaran juga inisiator petisi untuk menurunkan iklan Shopee yang memuat grup band korea Blackpink karena dianggap provokatif.

Juru bicara PSI untuk isu perempuan, Dara Nasution mengungkapkan kekecewaannya atas petisi tersebut. “RUU P-KS sudah dua tahun mangkrak di DPR dan sedang mati-matian diperjuangkan agar segera disahkan untuk melindungi korban. Ibu Maimon butuh hobi baru selain membuat petisi, karena nampaknya petisi yang dibuat selalu ngawur,” ucap Dara.

Ibu Maimon Herawati membuat petisi karena RUU P-KS dianggap tidak mengatur hubungan seksual yang melanggar norma susila dan agama. Selain itu, Ibu Maimon juga tidak sepakat bahwa suami dapat dipenjara bila memaksakan hubungan seksual terhadap istrinya.

“RUU P-KS tidak bisa merujuk pada norma asusila yang diklaim oleh Ibu Maimon. Norma asusila merujuk pada apa? RUU juga tidak bisa didasarkan pada aturan agama tertentu karena dapat menimbulkan diskriminasi. Ibu Maimon juga tidak paham bahwa pemaksaan hubungan seksual, dalam pernikahan maupun tidak, tetap bentuk perkosaan. Ia tidak punya empati terhadap sesama perempuan,” kata caleg DPR RI dapil Sumut III ini.

Berdasarkan Catatan Tahunan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan (Catahu) 2018 sebanyak 348.446 kasus yang dilaporkan dan ditangani oleh Komnas Perempuan sepanjang tahun 2017. Faktanya, KUHP hanya mengatur perkosaan dan pencabulan. Sementara definisi dari istilah kekerasan seksual masih sebatas kontak fisik.

Menurut Dara, Indonesia butuh payung hukum yang jelas dan spesifik untuk melindungi korban kekerasan seksual, “Korban kasus kekerasan seksual seringkali tidak mendapatkan keadilan dalam proses penyidikan, dan bahkan dikriminalisasi, karena belum adanya payung hukum yang bisa sepenuhnya melindungi para korban. Indonesia butuh RUU P-KS,” terangnya.

Dalam laman petisinya, Maimon juga menuding bahwa RUU P-KS pro terhadap hubungan seksual pra-nikah. Padahal, dalam RUU P-KS, Komnas Perempuan justru merekomendasikan pemerintah wajib menerapkan 5P. Di antaranya pencegahan melalui sistem pendidikan, perlindungan korban, penuntutan penghukuman (rehab & sanksi sosial) pelaku, dan pemulihan korban.

“Ibu Maimon jangan menebar ketakutan. Justru dengan adanya RUU P-KS perempuan Indonesia lebih terlindungi secara fisik dan mental. Moralitas seseorang tidak akan tergerus dengan adanya RUU ini,” ujar Dara.

Dara juga menyarankan agar masyarakat lebih kritis terhadap ajakan menandatangani petisi tersebut. “Masyarakat jangan gampang terprovokasi dengan bahasa-bahasa sensasional yang digunakan Ibu Maimon. Cari tahu dulu RUU-nya tentang apa sebelum tanda tangan,” tutup Dara.

Recommended Posts