Juru bicara PSI, Kokok Dirgantoro mengecam dugaan penganiayaan yang dilakukan oleh sejumlah oknum siswi dari beberapa SMA di Kota Pontianak kepada seorang siswi SMP di Kota Pontianak, berinisial AY (14). Kejadian ini terjadi pada 29 Maret 2019.
“PSI mengecam peristiwa penganiayaan ini. Kami berpihak pada korban. PSI mendorong agar proses hukum berjalan agar keadilan ditegakkan untuk AY,” kata Kokok.
Ia juga menyatakan kesiapan PSI untuk mendampingi korban. “Kami siap bekerja sama dengan organisasi manapun untuk melakukan pendampingan terhadap korban,” katanya
Menurut Kokok, publik, sekolah dan pemerintah tidak boleh melakukan pembiaran terhadap aksi perundungan yang mengarah kepada menyakiti fisik dan psikis korban.
“Jangan sampai kasus perundungan hingga jatuh korban seperti ini berakhir damai dengan alasan pertimbangan masa depan pelaku. Lalu bagamana dengan masa depan korban? Bagaimana pemulihan fisik dan psikisnya?” tegas Kokok.
PSI meneguhkan komitmen untuk mengawal kasus ini sebagai bukti nyata PSI akan menghapus perundungan di sekolah, kampus, tempat kerja, dan sebagainya.
“Jangkar Solidaritas dan pengurus partai di pusat hingga daerah tak akan tinggal diam. Kami akan terus menjadi kekuatan penekan hingga aksi perundungan musnah terutama terhadap anak-anak,” ujarnya.
Dilansir dari laman tirto.id, AY, seorang pelajar SMP di Pontianak, Kalimantan Barat, menjadi korban penganiayaan dari teman-teman kakaknya. Kasus penganiayaanya pun viral di media sosial. Para pelaku penganiayaan AY ini bisa dimintai pertanggungjawaban hukum, meski misalnya mereka masih di bawah umur. Hal ini ditegaskan ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia, Mudzakir. “Jika pelaku berusia di atas 14 tahun, maka dapat diminta tanggung jawab di depan hukum. Bisa mengajukan ke pengadilan anak dan dipidana penjara dalam waktu tertentu meski dikurangi satu per tiga hukuman,” kata Mudzakir ketika dihubungi reporter Tirto, Selasa (9/4/2019). Ia menyatakan para pelaku bisa dijerat Pasal 351 ayat (2) KUHP yang berbunyi “jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”
PSI juga meminta agar media massa berhati-hati menulis berita karena korban maupun pelaku masih di bawah umur.
“Sekarang yang terpenting adalah akses kesehatan dan pemulihan psikis korban dan proses hukum yang seadil-adilnya bagi pelaku,” ungkap Kokok.
Trauma psikologis sangat berbahaya, apalagi korbannya seorang anak. Bisa berpengarung pada tumbuh kembangnya. Pemulihan terhadap AU tidak hanya fisik tetapi harus juga diperhatikan psikisnya,” imbuhnya.