Oleh: Hamzirwan Hamid
Kunjungan kerja Presiden Joko Widodo ke Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, menggenapi kehadiran negara di empat penjuru mata angin wilayah NKRI. Dari Sabang (Aceh) di barat ke Merauke (Papua) di timur. Dari Miangas (Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara) di utara hingga ke Rote Ndao di selatan. Apa makna kunjungan ini?
Presiden Jokowi tak pernah bosan menggambarkan besar dan luasnya Indonesia sebagai nusa dan bangsa kepada siapa pun. Hampir setahun terakhir dalam berbagai kesempatan, Presiden Jokowi menyampaikan betapa kayanya Indonesia. Punya 714 suku, 1.100 bahasa daerah, juga 17.000 pulau.
Kebinekaan yang begitu besar membuat praksis hidup berlandaskan Pancasila yang toleran dengan tepa selira tinggi menjadi modal dan panutan bagi negara lain menjaga kerukunan masyarakat. Raja Salman bin Abdulaziz dari Arab Saudi dan Presiden Afghanistan Ashraf Ghani pun kagum mendengarkan penjelasan Presiden Jokowi tentang kebinekaan Indonesia dan memintanya ikut menjaga baik-baik.
”Kita harus menyadari bahwa semua yang ada di Republik ini adalah saudara sebangsa dan se-Tanah Air. Walaupun berbeda-beda, kita masih bersaudara. Walaupun berbeda-beda, kita tetap bersatu untuk mencapai cita-cita kemerdekaan. Walaupun berbeda-beda, kita memiliki tekad yang sama mewujudkan Indonesia yang maju dan berkemajuan,” kata Presiden Jokowi saat kuliah kebangsaan bertajuk ”Multikulturalisme dan Politik Kebangsaan dalam Mewujudkan Indonesia Berkemajuan” di depan ribuan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Kupang, Nusa Tenggara Timur, Senin (8/1). Presiden didampingi Ibu Negara Nyonya Iriana Joko Widodo, sejumlah menteri dan perangkat Presiden dan Gubernur NTT Frans Lebu Raya.
Dari Kupang, sorenya, Presiden dan rombongan bertolak ke Kabupaten Rote Ndao, wilayah paling selatan Negara Kesatuan RI (NKRI) yang berbatasan langsung dengan Australia. Kepala Negara dan rombongan pun bermalam di Pantai Nemberala, Desa Nemberala, Kecamatan Rote Barat, Rote Ndao.
Kunjungan ke Rote Ndao ini menggenapi kehadiran Jokowi dan Ibu Negara Nyonya Iriana di empat penjuru mata angin wilayah NKRI sejak menjadi Presiden. Mulai dari Sabang (Aceh) di barat ke Merauke (Papua) di timur dan dari Miangas (Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulut) di utara hingga ke Rote Ndao di selatan. Saking luasnya Indonesia, kata Presiden Jokowi, dia butuh waktu sembilan jam lima belas menit untuk terbang memakai Pesawat Kepresidenan Indonesia-1 Boeing seri 737 dari Sabang ke Wamena, Papua.
Waktu penerbangan itu setara dengan dari London, Inggris, ke Istanbul, Turki, atau dari Jakarta menuju Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Luasnya wilayah dan kebinekaan Indonesia jadi kekayaan bangsa yang tak dimiliki negara lain.
Tahun politik
Kekayaan ini pula yang harus dijaga kini dan pada masa datang. Apalagi saat ini, kita memasuki tahun politik, yang tahapannya sedang berlangsung dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2018. Pada 27 Juni 2018 akan ada 17 dari 34 provinsi dan 154 kabupaten/kota dari 516 kabupaten/kota yang akan memilih kepala daerah serentak.
Meskipun pilkada merupakan pesta demokrasi lokal, media sosial yang nirbatas wilayah telah membuatnya jadi serasa agenda politik nasional. Apalagi, semua elite partai politik menjadikan Pilkada Serentak 2018 sebagai momentum pemanasan mesin partai menghadapi Pemilu 2019.
Untuk jadi negara maju dan sejahtera, suka tidak suka, bangsa Indonesia harus bersatu padu mewujudkan cita-cita kemerdekaan NKRI. Apalagi, tiga tahun terakhir pemerintah berupaya membangun infrastruktur fisik dan investasi sumber daya manusia yang tentu membutuhkan iklim politik stabil agar program itu bisa berjalan sinkron dengan kebutuhan daerah.
Ada tujuh juta orang yang kini bekerja di proyek-proyek infrastruktur pemerintah pusat di seluruh Indonesia, baik jalan, jalan tol, jaringan rel kereta api, jembatan, bendungan, pelabuhan, hingga bandara. Untuk mengatasi ketertinggalan infrastruktur, pemerintahan Jokowi-Kalla juga tengah gencar membangun dengan visi Indonesia sentris, yakni di Sumatera ada 61 proyek, Kalimantan (24), Sulawesi (27), Maluku dan Papua (13), serta daerah terpencil lainnya.
Presiden mengingatkan, praktik demokrasi dalam pilkada hendaknya dijalankan sesuai karakter bangsa Indonesia yang santun serta tak saling menjelekkan dan mencaci. Setelah memilih pemimpin yang terbaik di pilkada, rakyat mesti segera kembali bersatu dalam persaudaraan. ”Inilah demokrasi yang kita miliki. Setelah pilkada, biarkan pemimpin itu bekerja lima tahun. Kalau tidak baik, jangan dipilih lagi. Kalau baik, silakan dipilih,” kata Presiden Jokowi.
Bersatu padu
Presiden pun mengajak semua komponen bangsa bersatu padu terlepas apa pun pilihan politiknya. Pasalnya, sesungguhnya Indonesia masih harus menghadapi persoalan yang jauh lebih besar pada masa datang, yang solusinya hanya dihadapi dengan persatuan.
Kebinekaan dan toleransi yang kini jadi panutan negara lain merupakan modal besar kita mencapai Indonesia berkemajuan. Kita perlu belajar dari pengalaman Afghanistan, yang memiliki tujuh suku, tetapi masih mengalami konflik berkepanjangan sampai saat ini.
Dalam kunjungan kenegaraannya pada 5 April 2017, Presiden Ashraf berkata kepada Presiden Jokowi, Indonesia sesungguhnya negara yang dianugerahi Allah SWT keberagaman yang perbedaan rakyat yang memperkuat bangsa. Dia berpesan agar Presiden Jokowi terus menjaga kebinekaan itu sekuat tenaga.
Kedua pemimpin itu kemudian sepakat bekerja sama mewujudkan perdamaian (Kompas, 6/4/2017). Kerja sama itu diwujudkan dengan kunjungan Majelis Tinggi Perdamaian Afghanistan ke Indonesia untuk belajar dari pengalaman Indonesia menjaga kebinekaan dan mengatasi konflik serta meminta bantuan untuk mendamaikan konflik (Kompas, 22/11/2017).
Berkaca dari pengalaman dan tantangan ke depan, Presiden Jokowi pun mengajak semua anak bangsa tetap menjaga persatuan apa pun pilihan politiknya. Bagaimanapun, Indonesia masih harus terus mempersiapkan diri menghadapi berbagai tantangan pada era persaingan global yang ketat.
Dalam kunjungannya itu, Presiden Jokowi juga beberapa kali menyampaikan pesan. Rote Ndao, termasuk yang menyelenggarakan pilkada pada 27 Juni mendatang. Tentu kita semua menginginkan kelancaran dan perdamaian serta persatuan dalam keberagaman pilihan. Sebab, bagaimanapun, pilkada adalah sarana untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, bukan semata-mata merebut kekuasaan.
Sumber: Harian Kompas 14 Januari 2018