Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 Tidak Relevan di Tengah Pandemi dan Diskriminatif

Sejumlah pihak menyuarakan penolakan terhadap Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT), terutama soal pasal yang mengatur bahwa uang JHT baru bisa dicairkan ketika pekerja menginjak usia 56 tahun.

Salah satunya oleh anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional, Indra Budi Sumantoro. Indra menyebut, Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 berpotensi besar menghapus perlindungan sosial bagi para pekerja yang diberhentikan di tengah situasi pandemi.

“Covid-19 kian menajamkan digitalisasi industri yang kemudian berdampak pada pengurangan pekerjaan di banyak lini bisnis dan industri. Maka dari itu, dibutuhkan buffer atau perlindungan untuk pekerja-pekerja yang diberhentikan,” kata Indra Budi Sumantoro saat memberi sambutan dalam diskusi online “Unboxing Kebijakan JHT Indonesia” yang digelar oleh DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Jumat 18 Februari 2022.

Indra juga menambahkan, mestinya, yang menjadi perhatian sekarang adalah bantalan yang sifatnya transisional untuk perlindungan orang tua atau lansia. Sebab, angka kemiskinan di Indonesia dialami oleh mayoritas lansia.

“Ketika era bonus demografi sudah selesai di tahun 2030, kita akan memasuki era populasi menua. Era populasi menua adalah rasio ketergantungan orang tua pada anak makin tinggi dan jumlahnya semakin bertambah. Banyak orang tua yang bergantung pada anaknya. Di sisi kualitas kesejahteraan ekonomi ini tidak baik. Inilah yang harus dipersiapkan sedari sekarang program perlindungan hari tua untuk ke depannya,” ujar pria peraih gelar Doktor dari Universitas Padjadjaran itu.

Lebih jauh, diskusi yang dimoderatori Juru Bicara PSI, Ariyo Bimmo itu turut mengundang pakar kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah sebagai pembicara.

Trubus mengatakan, aturan terbaru tentang pencairan JHT ini menjadi polemik lantaran terbit di momen yang tidak tepat, di saat masyarakat pekerja berharap uang JHT sebagai penyelamat jika sewaktu-waktu mereka diberhentikan.

“JHT nya itu harus menyesuaikan dengan kondisi realitas masyarakat yang ada di kita. Di satu sisi masyarakat kita sedang terdampak Covid, yang membuat konsumsi rumah tangga hancur, daya beli hancur dan ketika JHT dirubah, emosi masyarakat menjadi muncul. Munculnya emosi masyarakat itu karena masyarakat berharap sekali JHT ini sebagai bagian untuk mempertahankan hidupnya,” terangnya.

Trubus pun berpandangan, alih-alih merombak peraturan, pemerintah mestinya memberikan kepastian kepada masyarakat pekerja untuk mendapatkan pekerjaan usai kena PHK.

“Sesungguhnya yang dibutuhkan masyarakat adalah kepastian (pekerjaan). Jadi kalo memang pemerintah mau menahan usia 56 ya pemerintah harus membuat kebijakan agar semua warga negaranya yang di-PHK bisa dapat pekerjaan,” imbuhnya.

Sementara itu, Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, yang juga menjadi pembicara, memberikan pendapat terkait dengan optimalisasi konsep Program Jaminan Hari Tua (JHT) di Indonesia. Menurutnya, program JHT harus kembali sebagaimana fungsinya karena akan membuat siklus yang lebih positif.

“Pekerja harus dilindungi di masa tua seperti tadi telah disebutkan bahwa aging population dari tahun ke tahun semakin besar. Dalam Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2020 disebutkan dalam hasil survey masyarakat yang miskin terdapat pada sektor orang-orang tua atau lansia. Apakah kita mau membiarkan orang tua kita miskin di usia tua? Maka dari itu, kita harus berfikir untuk melindungi dari sisi ekonomi ketika mereka dilindungi mereka punya jaminan hari tua. Sehingga saat pensiun, mereka mempunyai daya beli,” paparnya.

Namun, Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) itu menilai, ada permasalahan sosialisasi aturan yang tak runut kepada masyarakat. Dalam hal ini, sosialisasi Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang harusnya didahulukan.

“Memang saya mengkritisi pemerintah, khususnya Kementerian Ketenagakerjaan yang harusnya dilakukan bagaimana cara mensosialisasikan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) terlebih dahulu, karena Permenaker No. 2 Tahun 2022 dikeluarkan lebih dahulu, sedangkan launching JKP-nya tanggal 22 Februari mendatang. Seharusnya Permenaker No. 2 Tahun 2022 itu dikebalakangin,” sebut Timboel.

Pembicara lain, Jumisih, menerangkan, aturan tentang JHT cenderung diskriminatif. Pasalnya, meskipun JHT merupakan hak pekerja, tapi tidak semua pekerja terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan, sehingga membuat sebagian pekerja tidak berhak mendapat uang JHT.

“JHT yang dikonsepkan pemerintah saat ini, itu memang terkesan diskriminatif karena dia hanya diperuntukkan bagi buruh yang terdaftar sebagai peserta BPJS ketenagakerjaan,” pungkas Ketua Bidang Politik KPBI itu.

 

Recommended Posts