Media sosial telah melampaui ruang pergaulan kedua saat ini. Medium yang awalnya berfungsi sebagai ruang bertukar sapa, kini menjadi ruang beradu gagasan. Citizen journalism, begitulah kita menyebutnya. Akan tetapi, sejak 2014, momentum tahun politik membentuk polarisasi yang ekstrem di negeri ini. Wacana ideologis yang sejak era milis dan blog hanya berada di bawah tanah, menyeruak masuk menjangkiti kubu yang berhadapan. Mereka adalah pihak-pihak yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara yang intoleran dan berideologi radikal. Sejak itulah, saya resah dan tergugah untuk masuk dunia politik. Karena itulah, saya memilih Partai Solidaritas Indonesia, partai anti intoleransi, sebagai tempat berlabuh.
Sindiran sebagai Bentuk Kritik
Sebuah sindiran, baik itu bernuansa satire ataupun sarkasme, merupakan bagian dari humor. Itulah yang saya sadari dalam memberikan gagasan di media sosial. Saya sadar, bahwa bangsa kita benar-benar mencintai humor dan guyonan. Dengan begitu, kritik yang disampaikan akan lebih didengar. Kesadaran itulah, yang menjadikan landasan saya bermedia sosial akhir-akhir ini memberi kritik bagi beberapa pihak. Agar pihak yang saya maksud tersebut lebih tergugah dan berbenah.
Belum lama ini, pihak yang saya berikan kritik, menyambutnya dengan sindiran lagi. Ini tentu keliru. Apa yang saya kritik secara serius, malah dijadikan pendongkrak kebijakan populernya semata. Dianggapnya mungkin, saya akan tersentil dan tersudut. Padahal, di balik ini semua, ada uang rakyat sebesar setengah triliun dan nama baik Indonesia yang dipertaruhkan di kancah internasional. Apakah ini hanya isu “Seputaran Ibukota”? Tentu tidak. Ini berdampak pada nasional, jika melihat tahun politik mendatang.
Kritik di atas kritik. Sindiran berbalas sindiran. Bukan inilah yang kami mau. Kami ingin perubahan yang konkret. Beginilah kritik kaum muda pada kaum tuanya. Sambutlah dengan kebijakan yang lebih berarti dan bermanfaat.
Wajah Pembungkaman Pendapat Hari Ini
Sebenarnya, baik saya dan pihak yang dimaksudkan atas kritik dalam aktivitas politik saya bersama PSI, tidak memiliki konteks personal. Sepenuhnya semua didasari atas domainnya sebagai pemangku kebijakan di instansi pemerintahan. Hanya saja, para pendukung itu, memang seringkali bertindak ekstrem akibat fanatismenya. Akibatnya, akun Instagram saya hilang untuk beberapa waktu akibat serangan report. Ini tentu berlebihan. Mengingat, saya tak pernah sedikitpun membalas sumpah serapah mereka di kolom komentar.
Menariknya, diam-diam saya memperhatikan pendapat yang bermutu dan membacanya dengan senyuman. Meskipun sangat sedikit dan sulit untuk menemukannya. Sebab saya yakin, anak-anak muda Indonesia sejatinya adalah anak-anak muda yang cerdas dan baik hatinya. Polarisasi politiklah yang membuatnya terlihat buruk.
Sesungguhnya, pembungkaman itu terjadi jauh sebelum penghilangan akun. Pembungkaman telah terjadi sejak kritik saya dan kami PSI dijadikan ajang berbalas sindir dan pendompleng kebijakan populer semata.
Masa Depan Demokrasi Kita
Penting untuk kita sadari, bahwa di dalam politik tidak dianjurkan melihat siapanya, tetapi apa dan bagaimana kebijakannya. Dengan begitu, jika pihak yang saya kritik tersebut memberi perbaikan yang berarti, sepatutnya saya mengapresiasi. Bahkan bisa saja terbuka peluang untuk berkolaborasi. Dengan begitu, kehidupan demokrasi kita akan menjadi lebih sehat dan berarti.
Seperti kata Bung Hatta dulu, Demokrasi Kita mestilah menjadi demokrasi yang sehat dan berjiwa besar untuk saling mendengar.
Siapkah kita untuk itu?