Pakar Ekonomi: Kuliah Gratis Bisa Diterapkan Indonesia

Wacana kuliah gratis mungkin diterapkan di Indonesia. Pasalnya, sejumlah negara terbukti bisa menerapkan kuliah gratis. Demikian disampaikan Peneliti Basic Income Lab RCCC UI, Sonny Mumbunan, dalam diskusi online bertema “Kuliah Gratis, Apakah Mungkin?” yang digelar Partai Solidaritas Indonesia (PSI).

“Pendidikan tinggi bagi mereka (negara-negara yang sudah menerapkan kuliah gratis) itu syaratnya mau kuliah dan mampu secara akademik. Bagi mereka yang mau dan mampu secara akademik, latar belakang sosial – ekonomi sudah hilang, itu filosofi yang sangat mendasar,” kata dia, Jumat 25 Juni 2021.

Sonny mengatakan, negara seperti Jerman, negara-negara Eropa Kontinental dan Skandinavia, bisa menggratiskan biaya kuliah sepenuhnya atau pun sebagian. Dari preseden itu, bukan tidak mungkin program serupa juga diterapkan dalam sistem pendidikan tinggi Indonesia.

Lebih jauh Sonny menambahkan, program kuliah gratis di negara-negara maju juga membawa dampak pada dimensi kultural, sosial dan politik masyarakat.

“Apa implikasi kulturalnya? Pendidikan jadi hal yang lumrah di sana, gelar akademik juga dimaknai berbeda, tidak ada selebrasi berlebihan ketika menyelesaikan kuliah. Saya punya teman dengan 2 gelar doktor saking gratisnya, orang kuliah karena senang dan mampu. Implikasi politiknya adalah terjadi perdebatan kebijakan ide dan epistemik (kiri, tengah, kanan dan ekletik),” ujar ekonom lulusan Martin Luther University Halle–Wittenberg dan University of Leipzig itu.

Alasan lain yang memungkinkan program kuliah gratis diterapkan di Indonesia adalah besaran anggaran yang masih realistis. Menurut penghitungannya, biaya per tahun seluruh mahasiswa S1, S2, S3, dan vokasi berkisar Rp 95 triliun.

Nilai anggaran itu, menurut Sonny, tidak seberapa jika dibandingkan biaya yang hilang akibat degradasi lingkungan, yang mencapai Rp 600 triliun per tahun.

“Sebagai ilustrasi saja, ini statistiknya BPS, kita simulasi Sisnerling (sistem neraca lingkungan), setiap tahun Rp 600 triliun hilang. Kita lihat berapa sih biaya per tahun untuk kuliah di seluruh Indonesia? Batas bawahnya sekitar Rp 95 triliun, artinya gak besar (anggaran kuliah gratis) sebetulnya dibanding biaya yang kita buang begitu saja,” paparnya.

Namun diakui Sonny, wacana kuliah gratis belum jadi atensi masyarakat luas Indonesia. Hal itu karena masyarakat tidak biasa membayangkan ide-ide besar tentang kuliah gratis, sehingga terkesan program itu mustahil dijalankan.

“Indonesia belum punya imajinasi cukup untuk membayangkan sebuah pendidikan tinggi gratis dan bermutu. Yang pertama-tama untuk membayangkan yang mungkin itu adalah imajinasi. Kalau secara imajinasi tidak mampu membayangkan itu (kuliah gratis) karena dari kecil diajarkan untuk selalu membayar, tidak terpapar pada ide-ide tentang pendidikan gratis, ya sulit kita membayangkan itu akan berhasil,” ujarnya.

Dalam diskusi yang dimoderatori Ketua DPLN PSI London, Shandy Adiguna itu, Ketua DPP PSI Tsamara Amany mengungkapkan alasan PSI mewacanakan program kuliah gratis.

Menurutnya, wacana itu tidak lepas dari kesenjangan pendidikan di Indonesia. Persentase penduduk Indonesia berusia 14 tahun ke atas yang lulus kuliah hanya 8,5 persen, sementara 65 lainnya lulusan SMP.

Harapannya, dengan program kuliah gratis, akan lebih banyak lagi lulusan perguruan tinggi yang siap berkompetisi di dunia kerja. Pada gilirannya, mereka punya kesempatan memperbaiki kualitas hidup.

Jika tingkat pendidikan mayoritas masyarakat rendah, mereka justru rentan terjebak dalam perangkap kemiskinan dan gizi buruk.

“Kalau misalnya seseorang itu masuk dan lulus kuliah, bahwa dia punya kemampuan mobilitas sosial yang lebih baik, pendapatan jadi lebih baik, kemudian akses dan koneksi jadi lebih baik, dan paling penting lagi adalah dia punya trajektori karier,” terang mahasiswi program master bidang Public Policy dan Media Studies, New York University, itu.

Melengkapi pandangan dengan kedua pemateri di atas, Research Associate J-PAL Asia Tenggara, Elza Samantha Elmira, menawarkan opsi alternatif dalam pembiayaan kuliah, alih-alih menggratiskan kuliah.

Karena menurutnya, menggratiskan kuliah untuk semua orang tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi mereka yang mungkin berbeda tidaklah adil.

“Agaknya tidak adil jika kita memimpikan kuliah gratis untuk semua orang. Tidak adil dalam artian, ada orang yang mampu dan ketika dia berkuliah, dia akan sangat eksponensial pendapatan dan penghidupannya. Padahal dia mampu untuk membiayai kuliah, dibandingkan dengan orang-orang yang betul-betul membutuhkan,” urai mantan peneliti The SMERU Research Institute itu.

Karena itu, dia menyarankan pemerintah menghidupkan kembali program student loan atau pinjaman mahasiswa, namun dengan penyempurnaan sistem dan mitigasi risiko. Nantinya, mahasiswa membayar utang biaya kuliah setelah mereka lulus dan bekerja.

Pada dekade 1980-an, pernah ada kredit pendidikan mahasiswa yang tujuannya untuk meringankan pembiayaan mahasiswa yang kurang mampu. Hanya saja, program tersebut dihentikan lantaran banyak mahasiswa yang menunggak pembayaran.

“Sebenarnya, dengan kita menerapkan sistem student loan (pinjaman mahasiswa) itu lebih equitable. Intinya untuk yang miskin, pemerintah memberikan subsidi, dan untuk yang kaya mereka tetap diminta membayar sesuai kemampuan mereka,” kata Elza.

Recommended Posts