Rubrik Opini – Koran Solidaritas Edisi VII, Januari 2016
Oleh: Andre Nubowo*
Sejak sore hari, gerimis kecil membasahi Ibu Kota yang dahaga. Malam itu, di sebuah Resto Spaghetti di bilangan Senayan, Pak Budhi duduk di sudut ruangan. Ia menunggu dua perempuan muda yang ia kenal melalui jejaring sosial media. Pukul 20.05, Dewi dan Amanda, begitu nama kedua perempuan muda itu, terlihat melipat payung hitam, menitipkannya pada OB dan memasuki Resto Spaghetti. Pak Budhi melambaikan tangannya. Keduanya bergegas menuju tempat pak Budhi berada. Ketiganya lalu asyik dalam cengkerama dan transaksi malam Ibu Kota.
Pak Budhi adalah sosok pengusaha ternama. Usahanya dari hulu ke hilir. Dalam gemilang usaha dan gelimang harta, Pak Budhi dikenal sebagai pengusaha dermawan dan berjiwa sosial tinggi. Ia mendermakan sebagian keuntungannya untuk pendidikan, kesehatan, dan kegiatan filantropi lainnya. Dewi dan Amanda adalah gadis belia perantau ke Ibu Kota. Keduanya dibuai mimpi dewa-dewi bersinggasana emas bertabur mutu manikam, tersihir megapolitanisme Ibu Kota yang kian rapuh visi, orientasi dan esprit de vie-nya.
***
Sejujurnya, seks dan kekuasaan adalah kisah klasik. Dalam tafsir lama, harta dan tahta yang bersifat maskulin dimaknai sebagai “yang berkuasa” atau “subyek kekuasaan”, sedangkan perempuan dengan feminitasnya diposisikan sebagai “yang dikuasai” atau “objek kekuasaan”. Dalam pemahaman lama itu, relasi kekuasaan dan seks bersifat hirarkis patriarkal. Dalam konteks mutakhir, perempuan tidak lagi sebagai objek, tetapi juga subyek. Perempuan tidak hanya menjadi objek seksual, tetapi tuan pemilik hasrat (desir) dan kesenangan (plaisir).
Dalam alur logis ini, transaksi seks (prostitusi) di jaman sekarang bisa jadi telah mengalami evolusi. Pelacuran tidak lagi ditempatkan dalam kategori hirarkis dan partriarkal, tetapi dalam hubungan yang bersifat mutual. Dewi dan Amanda, misalnya, tidak lagi merasa malu terlibat dalam prostitusi online, bahkan menikmati kesohoran dirinya akibat liputan media massa. Selain itu, keduanya dapat menggapai selera politik dan ekonomi fantasmatiknya melalui “blus” dan “rokmini” yang dikenakannya.
Dewi dan Amanda berhasil mendapatkan sensasi kekuasaan dengan “melayani” orang-orang seperti Pak Budhi yang bergelimang harta dan tahta. Sebaliknya, bagi Pak Budhi, seks haram adalah sebuah martabat yang bertumpu pada logika kekuasaan (power) sekaligus prestis sosial. Pemuja seks meluapkan hartanya pada ritus transaksi seksual dengan ladies escorte kelas tinggi. Semakin berkelas dan semakin mahal tarifnya, semakin merangkak kelas sosialnya. Ia pun merasa memenangkan dua hal sekaligus; berkuasa atas yoni dan harga diri. Dalam habitus ritual itu, nilai moral tak lagi bermakna, karena akal juga telah dilumpuhkan oleh hasrat dan kesenangan seksual.
Immanuel Kant berpendapat bahwa akal mengantarkan manusia pada perintah-perintah moral, sedangkan seks selalu membelokkannya pada tindakan-tindakan tak bermoral. Dalam bukunya Leçon d’éthique (1780), Kant dengan keras mengatakan bahwa l’attirance sexuelle n’est pas une inclination pour un autre être humain, mais une inclination pour son sexe (daya pikat seksual bukanlah perasaan cinta kepada orang lain, tetapi kecenderungan pada seks itu sendiri). Kant merangkumnya dalam kalimat, “seks adalah aksi yang bertentangan dengan tuntutan-tuntutan rasio praktis”.
Di seberang lain, Marquis de Sade menyangkal tesis Kant dengan mengatakan, akal (raison) dan kebebasan perilaku (liberté de moeurs) itu sejalan. Keduanya satu bagian yang tak dapat dipisahkan. Dari balik penjara, ia mengatakan bahwa rasio tidak hanya mendorong kebajikan-kebajikan agama, tetapi berfungsi juga sebagai instrumen-instrumen erotis. Dengan kata lain, rasio mendorong kebebasan perilaku. Sade mempromosikan immoralisme seks.
Tentu saja, seks yang saleh (Kantianisme) maupun seks yang talih (Sadianisme) sama-sama mewujud dalam lembaganya masing-masing. Seks saleh terangkum dalam lembaga pernikahan, sedangkan seks talih terwujud dalam liberalisme seks yang bersendi pada pelepasan hasrat dan kesenangan tak terbatas, seperti sado masokisme, prostitusi, pornografi dan sebagainya. Jenis kebebasan seks terakhir dikemas kapitalisme dalam bentuk soft dan hard erotism. Kapitalisme memang mempunyai kekuatan infiltrasi superdahsyat. Ia merasuk ke setiap lini hidup.
Kapitalisme mendewakan kebebasan individu, yang ujung-ujungnya adalah menumpuk kapital sebanyak-banyaknya. Dalam balutan kapitalisme, bentuk seremoni ketelanjangan adalah tambang uang. Nudisme menjadi lumrah bahkan diniscayakan. Pada saat yang sama, tubuh dilemparkan dalam tong sampah kapitalisme. Tubuh adalah residu sekaligus objek pemuas hasrat libidinal kapitalis. Feminitas tubuh, lagi-lagi, lumpuh melawan kapitalisme yang mahamaskulin. Sorak sorai libido kapitalis menumpulkan nalar sekaligus moral. Jiwa Dewi dan Amanda tercabik-cabik dalam gemerlap!
Bagi sang moralis rigid dan konservatif, blus dan rokmini Dewi dan Amanda melumpuhkan iman dan rasio. Keduanya penyulut segala kebiadaban. Tubuh indah Dewi dan Amanda itu pembelok jalan kebenaran: jalan Tuhan. Eksotisme tubuh mereka haram diperlihatkan. Ia wajib disembunyikan dalam ketebalan helai pakaian. Aturanpun perlu dipaksakan, supaya tak sejengkalpun tubuh memendarkan aroma kematian nalar dan iman. Bagi kapitalis dan moralis, tubuh Dewi dan Amanda tak lebih dari diskursus libidinal Pak Budhi yang berfungsi sebagai instrumen kekuasaan atas perempuan.
Tindakan yang mendesak dilakukan adalah menciptakan norma-norma berkeadilan untuk semuanya, sembari tetap memelihara keseimbangan akal, moral dan hak individu. Rokmini tetap boleh dikenakan. Spaghetti tetap boleh diperjualbelikan. Yang lacur adalah menjadikan rokmini dan spaghetti sebagai instrumen bagi ritus libidinal yang tak lagi menghargai kesucian akal, moral, hasrat, dan kesenangan setiap insan.
*Penulis adalah Pemerhati Budaya Pop dan tinggal di Jakarta