Memahami Politik dengan Seks dan Atau Sebaliknya

Rubrik Kebudayaan – Koran Solidaritas Edisi VII, Januari 2016

Oleh: E.S. Ito*

Moralitas politik adalah  moralitas publik. Tidak ada batas dan ukuran karena didasarkan pada subjektifitas penilaian publik. Sementara apa yang disebut dengan “publik” pun sebenarnya telah mengalami penyempitan makna.

Publik tidak lagi dinilai sebagai suara dari individu-individu, tetapi lebih banyak ditentukan oleh suara media. Moralitas pun seringkali jadi alat politik untuk menghukum, menindak dan menyingkirkan lawan politik. Batas kepatutan jadi relatif tergantung kepentingan apa yang ingin dimainkan. Seorang politisi yang diduga terlibat skandal seks misalnya, mungkin akan mendapatkan hukuman lebih ringan dari publik dibandingkan seorang politisi yang ketahuan menonton situs porno. Standar moralitas kita ditentukan oleh media lewat seberapa intens pemberitaan tentang kasus bersangkutan muncul.

Seks seringkali dijadikan standar banal untuk moralitas politik. Kata skandal seringkali dipersepsikan sebagai tindakan-tindakan seksual. Padahal seks dan politik memiliki dimensi yang berlawanan. Seks adalah tindakan-tindakan yang dilakukan di ranah pribadi. Sementara politik adalah kegiatan publik yang seharusnya dilakukan secara terbuka. Tetapi zaman telah berubah, apa yang seharusnya tertutup sekarang jadi perayaan publik.
Semua hal yang harusnya terbuka tiba-tiba jadi rahasia segelintir orang yang celakanya seringkali memberikan dampak pada banyak orang. Apa yang terjadi kemudian adalah bahwa seks (dengan segala bentuknya) jadi sesuatu yang mulai diterima secara terbuka oleh publik. Sementara politik, lewat pemberitaan negatif terus menerus, semakin lama terlihat semakin tabu di mata publik. Kita harus mulai belajar memahami politik secara seksual dan harus mulai menerima seks sebagai tindakan politik.

Berkaca pada kenyataan di atas tentu kita bertanya-tanya, masih relevankah seks dijadikan standar moral politik kita? Mengingat dalam persepsi sehari-hari yang kita dapati bahwa justru politik yang dianggap tidak bermoral. Mana yang cemar dan mana yang mencemari jadi semakin absurd belakangan ini. Nurani kita mengatakan bahwa perilaku seksual tetap jadi standar moral dalam kehidupan sosial manusia termasuk politik. Tetapi dalam bahasa praktis kita mudah menerima logika bahwa perilaku seks tertentu jauh lebih baik dibanding perilaku politik sebab tidak merugikan banyak orang. Kita akan dihadapkan pada pilihan membingungkan, apakah kita butuh politik yang bebas dari seks ataukah seks yang bebas dari politik?

Pilihan itu sebenarnya tidak perlu terjadi apabila politik kita dijalankan penuh transparansi dengan pelibatan publik secara penuh. Keputusan-keputusan politik senantiasa mengedepankan kepentingan orang banyak bukan segelintir elit. Dengan transparansi, maka akan muncul garis tegas antara ruang publik dan pribadi. Standar moral ditegakkan bukan berdasarkan subjektifitas individu atau media tetapi sejauh mana pelanggaran batas masing-masing ranah terjadi. Itu sebabnya di negara-negara maju yang terkenal sekuler dan bebas skandal seks di ruang publik masih sering menjatuhkan para politisi. Politik yang transparan jelas akan memberi batas pada eksploitasi seks dalam bentuk pelecehan seksual, gratifikasi seks atau penggunaan fasilitas negara demi kebutuhan syahwat pribadi.

*Penulis adalah Novelis dan Penulis Film.

Recommended Posts