Dalam konstitusi telah jelas mengatakan bahwa negara berkomitmen untuk menjamin kesejahteraan segenap tumpah darahnya. Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) telah menyebutkan bahwa fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Hal ini mestinya juga otomatis menjadi landasan bahwa para lansia (lanjut usia), yang memiliki keterbatasan ekonomi, juga menjadi bagiannya.
Dengan landasan itulah, pemerintah menjamin dengan BPJS melalui berbagai pilihan program. Namun, seperti kita ketahui, kebijakan batasan penerima Jaminan Hari Tua (JHT) ditetapkan pada minimal usia 56 tahun. Kalaupun di bawah usia itu, memiliki syarat berupa keterbatasan fisik, berupa cacat total. Padahal, dengan JHT tersebut, mereka yang terdampak pandemi dapat tertolong.
Kebijakan yang Lebih Sensitif dan Merakyat
Pandemi Covid-19 berdampak pada ekonomi kita. Berbagai industri, yang memerlukan stabilitas iklim dan sosial, dipaksa beradaptasi dengan keadaan. Banyak pekerja dirumahkan. Banyak pegawai dipotong gaji. Banyak karyawan dan seniman mesti beradaptasi dengan pola hidup baru.
Bagi yang dirumahkan dan kehilangan pekerjaan inilah yang teramat berat. Apalagi jika ia lansia (lanjut usia), yang memiliki tanggungan hidup bagi anak-anaknya yang belum bekerja. Giliran mendapatkan toleransi untuk tetap bekerja buruh dan tani, yang imunnya terjamin karena gerak badannya namun tetap harus mentaati protokol kesehatan, malah dihadapkan dengan pembatasan JHT bagi pekerja dan konflik agraria macam kasus di Wadas.
Dengan atau tanpa adanya pandemi pun, sensitivitas pejabat publik dengan sikap merakyat betul-betul dibutuhkan. Kami PSI, yakin bahwa Pak Jokowi begitu keras memperjuangkannya. Namun, ada saja pihak-pihak yang belum benar-benar mendukung kebijakan-kebijakan itu secara matang dan tepat sasaran, bahkan mungkin, dipengaruhi kepentingan-kepentingan pribadi.
Kami PSI, sejak awal terjadi pandemi, membuat keputusan untuk menyalurkan gaji aleg (anggota legislatif) kami bagi mereka yang terdampak pandemi. Tidak hanya itu, program Rice Box PSI pun hingga kini terus berjalan di berbagai titik pelosok Indonesia. Program vaksinasi PSI juga berlanjut ke tahap varian booster. Sikap kami ini bukan hanya bentuk menyukseskan kebijakan baik pemerintah, tapi juga sensitivitas dalam berkomitmen Hadir Kerja untuk Rakyat.
Permudah Birokrasi dan Akses
Di satu sisi, kalaupun tak begitu mengalami dampak pandemi yang berat dan berkepanjangan, birokrasi dan akses untuk menjalankan hajat hidup masih begitu berbelit. Di tengah arus digitalisasi dan industri 4.0, masih saja segala urusan membutuhkan fotokopi KTP atau kitas lainnya. Hal semacam ini bahkan menjadi konsumsi guyonan sehari-hari di medsos melalui meme.
Bagi orang tua yang telah mengalami daya lemah ingatan dan demensia, tentu kebijakan yang kurang sensitif, birokrasi berbelit, dan akses yang sulit betul-betul terasa melelahkan.
Kesejahteraan bukan semata finansial. Tapi juga kondisi sehat dan damai.