Nasionalisme kita berada di persimpangan jalan. Maknanya semakin buram dan muram. Bila secara sederhana nasionalisme diartikan sabagai kecintaan terhadap tanah air (hubbul wathan) lalu bagaimana kecintaan terhadap tanah air mesti diartikulasikan sacara politis di ruang publik?
Ketika banyak studi secara konsisten menunjukan bahwa korupsi adalah penyakit akut yang menggerogoti bangsa kita lalu apa maknanya nasionalisme kalau tidak berada pada garda paling depan memerangi penyakit itu? Lalu apa artinya menjadi “partai nasionalis” ketika justru ramai-ramai mendukung bahkan menginisiasi Hak Angket yang pontensial memperlemah KPK sebagai anak kandung reformasi?
Disinilah kita memerlukan narasi baru tentang nasionalisme. Kampanye #SayaPancasila #SayaIndonesia #SayaNKRI tentu saja penting dilakukan. Namun jauh lebih penting adalah membuat narasi baru tentang Pancasila, NKRI dan nasionalisme itu sendiri sehingga relevan dalam konteks kekinian. Agar tidak jadi jargon kosong dan bualan tukang jual obat di pinggir jalan.
Kebanyakan milenial, saya duga, tidak terlalu paham apa pentingnya Pancasila dan NKRI yang akhir-akhir ini mulai banyak didengungkan lagi. Toh, dengan mudah melalui smart phone mereka dapat menemukan dengan mudah fakta bahwa Pancasila pernah dipakai untuk melanggengkan kekuasaan yang koruptif. NKRI juga pernah dijadikan argumen untuk membungkam kebebasan dan justifikasi untuk pelanggaran HAM dalam berbagai bentuknya.
Melalui media sosial banyak milenial yang bertanya-tanya. Mereka suka partai-partai nasionalis karena memperjuangkan kebhinnekaan seperti yang ditunjukan pada Pilkada di DKI Jakarta beberapa saat lalu. Nasionalisme hadir untuk membela meritrokrasi: seorang pejabat publik dipilih karena kualitas rekam jejak bukan karena alasan suku, agama dan rasnya. Ini merupakan ekspresi nasionaliasme yang membanggakan.
Namun, para milenial mulai galau ketika menyaksikan partai-partai nasionalis justru berbondong-bondong mendukung bahkan menginisiasi Hak Angket sebagai perlawanan terhadap usaha KPK memberantas korupsi. Nasionalisme apa yang sedang mereka perjuangkan? Ironisnya, para milenial menyaksikan “partai-partai sektarian”, secara formal paling tidak, malah lebih tegas menolak Hak Angket?
Dalam ironisme inilah, sekali lagi, kita perlu narasi baru tentang Pancasila, NKRI dan nasionalisme kita.
Saya menawarkan, nasionalisme baru itu adalah konsistensi melawan INTOLERANSI dan KORUPSI sabagai landasan inklusif POLITIK KESEJAHTERAAN!
Raja Juli Antoni
Sekjen Partai Solidaritas Indonesia (PSI)