Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” Begitulah cara Soekarno menyebut kekuatan kaum muda dalam melakukan perubahan. Pernyataan presiden pertama Republik Indonesia itu seperti mendapatkan tempat kembali dalam percaturan politik di negeri ini. Bukan sebab kita baru saja merayakan Hari Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan, yang melibatkan banyak kaum muda, melainkan karena bangsa ini segera memasuki tahun politik.
Tahun 2018 akan ada 171 daerah yang menggelar pemilu kepala daerah (pilkada) serentak. Tahun 2019, untuk pertama kali digelar pemilu saat rakyat akan memilih wakilnya di DPR, DPD, dan DPRD bersamaan dengan memilih pula presiden/wakil presiden secara langsung.
Komisi Pemilihan Umum memperkirakan pada Pemilu 2019 terdapat tidak kurang dari 192 juta pemilih. Pemilih muda berusia 17-38 tahun akan mendominasi. Jumlahnya bisa lebih dari 55 persen dari seluruh jumlah pemilih itu. Generasi muda yang lahir antara 1980 dan 2(X)0, yang disebut kaum milenial karena melewati tahun milenium, tak hanya menjadi pemilih, tetapi juga penentu masa depan negeri ini.
Merekalah yang menjadi penentu kepemimpinan nasional ke depan, seperti dilaporkan harian ini, sesuai laporan dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Central Election and Political Party Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, serta Saiful Mujani Research and Consulting. Pada sisi lain, mayoritas generasi milenial dinilai cenderung apolitis. Mereka menjaga jarak dengan partai politik dan mayoritas menghindari politik praktis.
Pemahaman tentang politik lebih dibangun melalui media sosial, sebagai media yang paling banyak mereka akses. Berdasarkan riset Pew Research Centre (Amerika Serikat) yang dirilis tahun 2010, kehidupan generasi milenial tak dapat dilepaskan dari pemakaian teknologi digital dan budaya pop. Menganalogikan Tim Mottau, Brand Planning Director Merkley+Partners, New York (AS), melalui paparannya di AdAsia Bali 2017, Kamis (9/11) (Kompas, 10/11), apa pun organisasinya, inovasi digital dan generasi milenial melahirkan perspektif baru. Kunci keberhasilan terletak pada kesediaan berpartisipasi, mendorong, dan mendengarkan aspirasi generasi milenial, yang cenderung tidak terlalu peduli dengan “nama besar”.
Dalam dunia bisnis, sudah banyak generasi milenial yang tampil memimpin. Mereka yang berusia kurang dari 40 tahun pun mulai tampil sebagai kepala daerah. Parpol, pemerintah, dan masyarakat tak bisa mengabaikan generasi milenial, serta perlu membantu mereka tidak hanya untuk menentukan kepemimpinan nasional. tetapi sekaligus menjadi pemimpin. Jangan sampai, seperti sejumlah pemimpin muda yang sudah tampil, mereka terjerembap, terbelit berbagai perkara, khususnya korupsi.
Sumber Tajuk Rencana Harian Kompas, 11 November 2017