Konflik Israel-Palestina: Meluruskan Disinformasi dan Membangun Dukungan Lintas Iman


Seorang siswa SMA di Bengkulu Tengah (19/5/2021) berinisial MS dikeluarkan dari sekolahnya karena dianggap melakukan ujaran kebencian terhadap Palestina di Media sosial. Di Nusa Tenggara Barat (15/5/2021) seorang petugas kebersihan berinisial HL juga ditetapkan sebagai tersangka ujaran kebencian oleh Kepolisian karena mengunggah video di media sosial yang berisikan makian dan hasutan kepada Palestina.

Dua kejadian ini menunjukkan kepada kita bahwa konflik Israel-Palestina adalah peristiwa internasional yang selalu menjadi pusat perhatian masyarakat Indonesia sejak dulu. Namun kerap kali informasi yang didapat oleh masyarakat bukanlah gambaran utuh yang sesungguhnya terjadi di tanah Palestina. Pemahaman yang sepotong-sepotong itu akhirnya membuat mereka harus berhadapan dengan kasus hukum akibat ujaran kebencian. Sesuatu yang sangat kita sayangkan sekali.

Dua kasus diatas memperlihatkan pada kita bahwa disinformasi terkait konflik Israel-Palestina banyak beredar di antara kita khususnya melalui media sosial. Dari pengakuan tersangka, ia mengeluarkan ujaran kebencian karena menganggap bahwa konflik ini bermula dari kelompok Hamas yang menyerang tentara Israel sehingga posisi Israel dalam hal ini seolah-olah mempertahankan diri. Padahal bila kita cermati secara lebih hati-hati konflik ini dimulai ketika Israel menggusur pemukiman warga palestina di Sheik Jarrah dan membangun pemukiman Yahudi di atas tanah tersebut.

Disinformasi dalam konflik Israel-Palestina ini tidak hanya terjadi saat ini saja. Disinformasi sudah ada sejak lama seiring dengan propaganda yang dikeluarkan oleh kedua belah pihak. Sudah lama masyarakat Indonesia terbelah setidaknya ke dalam 2 pendapat mengenai konflik ini berdasarkan basis informasi yang mereka miliki. Pertama, mereka yang menganggap bahwa konflik ini adalah konflik agama antara Yahudi vs Islam. Kelompok ini di Indonesia terlihat cukup mendominasi sehingga masyarakat akhirnya terpolarisasi ke dalam dukung mendukung berdasarkan sentimen agama.

Kedua, masyarakat yang lebih melihat bahwa konflik ini adalah konflik politik dan kemanusiaan. Kelompok ini menganggap bahwa yang terjadi di Palestina adalah praktek penjajahan modern yang dilakukan oleh Israel dengan merampas tanah Palestina untuk mendirikan negara Israel. Kelompok ini melihat tidak ada unsur konflik agama yang melatari karena baik pihak Israel maupun Palestina bukanlah entitas satu agama tertentu.

Untuk memahami akar konflik Israel-Palestina ini kita memang harus merunut sejarah secara utuh. Pendirian negara Israel ini dimulai dari prakarsa Theodor Herlz tokoh Yahudi yang mendirikan gerakan Zionis untuk menggagas berdirinya negara bangsa Israel pada 1897. Kesadaran untuk mendirikan negara bangsa ini dilatari oleh sentimen anti Yahudi yang sedemikian kuat di Eropa saat itu. Puncaknya adalah peristiwa hollocaust yang menimpa Yahudi di Eropa 1941-1945 sehingga membuat diaspora Yahudi semakin memperkuat keinginan untuk mendirikan negara sendiri.

Pada awalnya Herlz dan pendiri lainnya mengusulkan negara Yahudi didirikan di benua Afrika atau di Amerika latin untuk mengumpulkan diaspora Yahudi dari penjuru dunia. Namun gagasan itu tidak laku dan kemudian tanah Palestinapun terpilih dengan adanya dalih teologis yakni “tanah yang dijanjikan” seperti yang disebut dalam kitab Perjanjian Lama.

Gerakan zionis ini kemudian didukung secara politik oleh Menlu Inggris Arthur James Balfour yang mendukung pendirian tanah air orang Yahudi di tanah Palestina yang kemudian dikenal dengan deklarasi Balfour pada 1917. Inggris di sisi lain juga menjanjikan kemerdekaan bagi rakyat Palestina namun kemudian paska deklarasi Balfour dengan semakin banyaknya orang Yahudi berpindah ke Palestina mengakibatkan pengusiran orang-orang Arab dari tanah Palestina. Kemudian pada 1948 Israel memproklamirkan kemerdekaan dan sejak itu pergolakan politik Timur Tengah tak bisa dipadamkan hingga hari ini.

Dari runtutan sejarah ini dapat kita pahami bahwa zionisme ini adalah gerakan politik bangsa Yahudi internasional untuk mendirikan negara sendiri di tanah Palestina. Bahwa mereka juga memanfaatkan aspek teologis untuk memersatukan bangsa Yahudi internasional juga tidak dapat kita ingkari. Namun aspek teologi ini lebih banyak digunakan untuk memersatukan pandangan bangsa Yahudi bahwa tanah Palestina adalah tanah yang dijanjikan itu. Terbukti akhirnya memang mampu membuat diaspora Yahudi sepakat untuk mendirikan negara Israel di tanah Palestina.

Dengan latar belakang sejarah itu dapat kita lihat bahwa konflik yang terjadi di tanah Palestina sesungguhnya adalah persoalan politik semata. Gerakan zionisme bukanlah gerakan Yahudi vs Islam karena dari kalangan Yahudi Ortodokspun banyak yang menentang gerakan zionis ini seperti kelompok Neturei Karta misalnya. Kelompok ini menunjukkan sikapnya dalam aksi-aksi menentang zionisme dari kota New York, Berlin hingga London.

Bahkan di kalangan internal Palestina sendiri tidaklah satu suara dalam menyikapi konflik ini. Antara Hamas dan Fatah memiliki pandangan politik yang berbeda. Hamas tidak menghendaki adanya kompromi dengan Israel dan hanya menghendaki Israel hengkang dari tanah Palestina. Hal berbeda dengan Fatah yang lebih moderat, kooperatif dan mengedepankan aspek diplomasi.

Saya sendiri melihat, disinformasi soal konflik agama ini sudah harus kita luruskan karena secara jelas kita dapat melihat bahwa konflik ini adalah gerakan politik yang kemudian menjadi penjajahan yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina. Gerakan ini bukanlah perseteruan agama karena tidak ada satupun agama di dunia yang membolehkan pembunuhan, pengusiran dan perampasan atas hak kelompok lain. Setiap agama di dunia ini mempercayai bahwa setiap manusia apapun bangsa dan agamanya berhak untuk hidup bebas dan merdeka dari segala bentuk penindasan.

Saya kira, sudah saatnya kita sebagai rakyat Indonesia memahami ini betul-betul dan selanjutnya dapat membangun dukungan lintas iman antar umat beragama kepada rakyat Palestina. Bukan saatnya lagi kita terpolarisasi kepada dukungan berdasarkan agama tertentu. Meskipun berbeda keyakinan kita dapat menunjukkan kepada dunia bahwa rakyat Indonesia bersama pemerintahnya memiliki komitmen untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan.

Kita dapat memulai dan memprakarsai bangsa-bangsa yang berbeda keyakinan untuk dapat menunjukkan empati kepada perjuangan bangsa Palestina. Aksi-aksi solidaritas kemanusiaan lintas iman perlu kita tingkatkan dalam menghimpun bantuan kemanusiaan apakah itu obat-obatan maupun logistik lainnya. Relawan kemanusiaan hendaknya tidak lagi berdasarkan golongan agama tertentu melainkan murni dari komitmen kemanusiaan semata.

Kita bersyukur pemerintah RI tetap berkomitmen mendukung kemerdekaan Palestina dan kita berharap pemerintah lebih tegas dan kongkrit melakukan langkah-langkah politik itu. Pemerintah Indonesia harus dapat memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan yang termuat di pembukaan UUD 45 di dunia internasional untuk menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang cinta damai dan anti penjajahan.

Bung Karno saat berpidato pada 1962 mengatakan “selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menentang penjajahan Israel. Inilah perwujudan komitmen bangsa Indonesia kepada bangsa Palestina dan dunia karena konflik di tanah Palestina bukanlah soal anda adalah Yahudi bukan pula soal kita adalah Muslim atau Kristen tapi semata ini adalah soal kemanusiaan yang harus kita jaga dan perjuangkan bersama-sama.





Sumber

Recommended Posts