Sebagai warga DKI Jakarta, saya merasakan betul bagaimana pembangunan infrastruktur betul-betul terasa drastis sejak sekitar 2014 hingga lengsernya Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dengan ditimpa isu SARA. Setelah itu, rencana Pak Ahok untuk fokus pembangunan manusia, otomatis tertunda. Sampailah kita pada hari ini, di mana banyak terdapat pembangunan infrastruktur ambisius, yang terkesan tak tepat guna dan terdapat mismanajemen di sana-sini.
Sebut saja instalasi Bambu Getah-Getih, Tugu Sepeda, Tugu Sepatu, dan yang paling absurd dan kurang mengindahkan perasaan korban Pandemi Covid-19, yaitu Tugu Peti Mati. Itu adalah sederetan pembangunan yang mubazir dan menghamburkan biaya. Terlepas adanya campur tangan swasta, alangkah lebih baiknya jika dialokasikan untuk pembangunan yang lebih bermanfaat bagi kemaslahatan masyarakat. Utamanya yakni, Pembangunan Manusia, seperti yang pernah digembar-gemborkan.
Persoalan Pendidikan dan Kebudayaan
Pendidikan adalah hal utama dalam kaitannya dengan pembangunan manusia. Sebab pendidikan, adalah faktor terpenting paling berpengaruh dalam Sumber Daya Manusia. Hal ini semestinya disadari betul oleh seorang mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ketika memikul tanggung jawab sebagai kepala daerah.
Lain janji dan angan, lain pula di kenyataan. Setidaknya, menurut data salah satu anggota DPRD DKI Jakarta dalam suatu kesempatan di Jakarta Selatan, terdapat 299 Gedung Sekolah di Jakarta yang tak layak. Anggaran untuk Dinas Pendidikan DKI Jakarta pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2022 adalah senilai 16,54 triliun. Namun, hanya Rp 21,2 miliar yang dianggarkan untuk renovasi sekolah. Padahal, setidaknya butuh 500 Miliar untuk mencukupi rehabilitasi gedung dan peningkatan mutu sekolah di Jakarta. Belum lagi, penanganan pendidikan di tengah pandemi. Di tengah meningkatnya kasus Omicron, Pemda DKI Jakarta masih bersikukuh dengan kebijakan PTM 100 Persen. Ini tentu amat membahayakan keselamatan pelajar dan pengajar.
Alih-alih fokus pada persoalan yang saya jabarkan tadi, proyek ambisius seperti Formula E yang telah memakan 560 Miliar, Jakarta International Stadion dan TIM malah lebih diutamakan. Untuk yang terakhir, dalam hal ini Taman Ismail Marzuki, baru pada tahap mengurus gedung dan belum pada keseriusan mengurus kesejahteraan para seniman dan sastrawan di Jakarta. Ditambah lagi, kesan TIM yang semakin eksklusif dan tak seaktif era kepemimpinan Ali Sadikin semakin menjadi keresahan kawan-kawan pegiat kebudayaan di Jakarta. Salah satu seniman yang terbaring sakit, baru dibiayai dan dijenguk setelah 2 tahun terakhir menderita penyakit. Kemana sajakah selama ini?
Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta, selama kepemimpinan tersebut, rasanya, hanya menjadi objek populis semata.
Lalu, kemanakah pembangunan manusia itu? Mungkin akan berujung menjadi komoditi kampanye lagi.
Sungguh Ironi.