Jakarta Terancam Tenggelam, Eksploitasi Air Tanah Harus Segera Dihentikan

Ancaman Jakarta bisa tenggelam disebabkan oleh eksploitasi air tanah secara berlebihan. Eksploitasi air tanah itu tak terlepas dari persentase warga Jakarta pengguna air PDAM yang terbilang rendah. Demikian disampaikan Sekretaris Fraksi PSI DPRD DKI Jakarta, Anthony Winza Probowo, dalam diskusi online “Jakarta Segera Tenggelam?” yang digelar DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan Aji Bromokusumo Center for Development and the Environment (ABCDE), Rabu 15 September 2021.

“Kenapa terjadi eksploitasi air tanah? Tidak lain karena akses terhadap pipanisasi air bersih masih sangat terbatas. Data kita menunjukkan paling hanya 63 persen warga yang mendapatkan akses air bersih PDAM,” ujar anggota Komisi C DPRD DKI Jakarta itu. Penurunan muka tanah di Jakarta beragam, antara 0,1 – 8 sentimeter per tahun.

Anthony menuturkan, dari kunjungannya ke sejumlah warga dia menemukan bahwa banyak warga kurang mampu Jakarta harus membeli air keliling dengan harga mahal. Pasalnya, mereka belum mendapat akses air bersih PDAM, sementara kualitas air tanah di daerah mereka sangat buruk.

“Yang saya temukan, warga miskin itu membayar air bersih 10 kali lebih mahal daripada hotel bintang 5. Ya bagaimana mereka gak pakai air bawah tanah karena pipanya gak ada, terpaksa beli air keliling atau memakai air tanah,” ucap Anthony.

Anthony menambahkan, untuk memasang pipa-pipa dan mengalirkan air PDAM ke seluruh warga Jakarta dibutuhkan anggaran yang sangat besar, berkisar 23 – 30 triliun sampai tahun 2030. Namun masalahnya, anggaran untuk PDAM dari tahun ke tahun hanya ratusan miliar saja, sehingga tidak realistis terhadap program tersebut.

“Masalah yang terjadi adalah, APBD dari tahun ke tahun untuk air bersih ini hanya berkisar ratusan miliar saja. Selama kami di DPRD, gak pernah anggaran air bersih ini mencapai Rp 1 triliun, paling Rp 200 miliar per tahun. Jadi kalau kebutuhannya Rp 20 triliun, masih butuh waktu 100 tahun lagi baru kita mencapai 100 persen pipanisasi air bersih ke seluruh warga, baru kita mengharapkan orang-orang tidak memakai air tanah,” papar lulusan Magister Hukum dari Georgetown University, AS itu.

Pada kesempatan yang sama, pegiat lingkungan, Agus Sari, yang turut mengisi diskusi memaparkan laporan Sixth Assessment Report oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).

Menurut Agus, berdasarkan laporan tersebut kenaikan suhu bumi kian hari kian mengkhawatirkan. Kenaikan suhu bumi saat ini mencapai 1.2 derajat, padahal IPCC menjaga batas maksimal kenaikan suhu bumi antara 1.5 – 2 derajat.

Jika tidak ada terobosan, kata Agus, dalam 20 tahun ke depan suhu bumi benar-benar akan mencapai kenaikan maksimal dan dampaknya sangat mengkhawatirkan bagi manusia. Hal itu juga yang berpotensi membuat Jakarta tenggelam.

“Makin panas bumi, makin tinggi suhu bumi, penguapan air laut juga akan semakin tinggi juga. Selain itu, es di kutub utara juga akan mencair. Miliaran ton es mencair dari kutub utara akan meningkatkan volume air laut secara signifikan. Nah uap air yang menjadi awan lebih banyak dari biasanya, lalu menjadi hujan, dan akan membebani infrastruktur hidrologi di kota-kota besar, di antaranya Jakarta,” urai Agus.

Permasalahan yang sama, juga memantik kegelisahan penyanyi dan pegiat lingkungan, Shae. Bagi anak-anak muda yang sudah memiliki kesadaran untuk menyelamatkan bumi dari kerusakan lingkungan seperti dirinya, menurut Shae, yang dibutuhkan adalah dukungan sosial dan wadah untuk mencari bimbingan.

Dia juga menilai bahwa urusan menyelamatkan bumi merupakan kerja kolektif dari semua unsur, dan tidak bisa hanya mengandalkan pihak-pihak tertentu saja.

“Kita butuh support system dan juga komunitas yang mengajarkan info yang tepat karena itu masih sangat kurang, ini yang menurutku dibutuhkan. Dan jangan lagi menunggu top-down, kita harus menemukan cara untuk bekerja sama dan bergerak dari bottom to top, juga top-down, bagaimana caranya kita bertemu di tengah,” ujarnya dalam diskusi yang dimoderatori Direktur Eksekutif Aji Bromokusumo Center for Development and the Environment, Revana Cellosh Natalie, itu.

Pada kesempatan yang sama, Prof Dr Emil Salim menyebut generasi muda memegang peran penting menyelamatkan bumi dari perubahan iklim yang merusak, termasuk soal ancaman tenggelamnya Jakarta yang mungkin saja terjadi di tahun-tahun mendatang.

“Sebagai pemimpin masa depan, generasi muda harus mengubah orientasi berpikir pembangunan ini berdasarkan pola pembangunan berkelanjutan. Generasi muda harus mampu menguasai ilmu pengetahuan dan melakukan inovasi teknologi dalam upaya menemukan energi-energi terbarukan. Sehingga pada gilirannya, target net-zero emissions (emisi nol persen) di tahun 2050 bisa tercapai, ” kata Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup 1983 – 1993 itu.

Ekonom senior itu melanjutkan, kerusakan bumi akibat perubahan iklim sebenarnya dapat disiasati. Generasi muda, menurut Emil, harus menciptakan teknologi inovatif dan mengubah orientasi serta pola pembangunan yang selama ini mengandalkan fossil fuels (bahan bakar fosil) ke pemanfaatan energi bersih atau energi terbarukan, misalnya, energi matahari, angin, gelombang, mikrohidro, dsb.

“Langkah yang harus ditempuh anak muda adalah mengubah kebijakan yang bersifat eksploitasi sumber daya, ke memperkaya jenis-jenis sumber daya alam melalui menangkap gas rumah kaca dan mengurangi efek gas rumah kaca dengan memanfaatkan matahari, gelombang laut, angin, dan sebagainya untuk jadi sumber energi baru,” ujarnya.

Selain itu, Emil juga mengkritik model pembangunan pemerintah yang berkiblat pada UU Minerba yang selama ini mengeksploitasi energi dari bahan bakar fosil sebagai sumber pendapatan negara, tanpa memperhitungkan dampak eksternalitas berupa kerusakan lingkungan.

“Kebijakan energi Indonesia masih mengandalkan pada energi bahan bakar fosil dan batu bara, kita ekspor mereka (bahan bakar fosil dan batu bara) sehingga tujuan pembangunan kita bukan pembangunan berkelanjutan (resource enrichment), tetapi memanfaatkan sumber daya alam yang kotor. Jadi kita mengharapkan revenue dari mengekspor bahan-bahan cemar CO2, batu bara, minyak bumi, dll,” terang Emil.

Ancaman Jakarta akan tenggelam beberapa tahun ke depan memang pernah diutarakan sejumlah otoritas baik di dalam maupun dari luar negeri.

Beberapa waktu lalu, Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) pada laman resminya menyebut, Jakarta dan pulau reklamasi menjadi salah satu kota pesisir yang terancam tenggelam. Prediksi terebut berdasarkan kondisi dari berbagai faktor. Di antaranya perubahan iklim, jumlah penduduk yang terus bertambah, juga eksploitasi air di wilayah Ibu Kota.

Bahkan, pada Agustus kemarin, Presiden AS Joe Biden sempat menyinggung soal Jakarta terancam tenggelam dalam 10 tahun mendatang akibat perubahan iklim yang melanda dunia.

Recommended Posts