‘Invictus’, Asian Games, dan Keindonesiaan Kita

Oleh Raja Juli Antoni

Akhir pekan lalu, dalam penerbangan Batik Air ke luar kota, saya melihat deretan film di layar sentuh yang menempel di punggung kursi di depan. Mata saya tertuju ke sebuah film lama yang pernah saya tonton sekitar delapan tahun lalu di Brisbane ketika masih jadi mahasiswa.

Invictus judulnya. Film yang dibintangi Morgan Freeman dan Matt Damon itu memiliki relevansi dengan demam Asian Games yang sedang melanda bangsa kita bahwa olahraga sangat berpotensi menyatukan bangsa dari sekat-sekat politik identitas yang membelah.

Cerita dari Afrika Selatan

Invictus diangkat dari sepenggal kisah nyata pemimpin legendaris Afrika Selatan, Nelson Mandela. Penggalan sejarah Madiba –panggilan akrab Mandela– ini direkam dengan baik dalam biografi yang berjudul Playing the Enemy: Nelson Mandela and the Game That Made a Nation, ditulis secara apik oleh John Carlin.

Setelah terpilih menjadi presiden, Mandela menghadapi realitas politik yang pahit. Rakyatnya masih terbelah berdasarkan politik apartheid yang membagi warga negara berdasarkan warna kulit.

Olahraga pun ternyata terbagi berdasarkan warna kulit. Rugbi adalah olahraga bagi kulit putih dan sepak bola merupakan olahraga kulit hitam. Bahkan di kalangan warga kulit hitam Springboks, nama tim nasional rugbi Afrika Selatan, merupakan simbol supremasi kulit putih.

Celakanya, Afrika Selatan segera menjadi tuan rumah Piala Dunia Rugbi. Sebagai presiden kulit hitam pertama pasca-tumbangnya rezim apartheid, langkah mudah bagi Madiba tentu saja mengikuti sentimen mayoritas pemilihnya yang membenci rugbi apalagi Springboks. Dengan mudah Madiba bisa membatalkan piala dunia itu dengan alasan politik yang mudah disusun.

Tapi, Madiba bukan pemimpin biasa. Ia mengambil jalan terjal dan curam. Laki-laki yang pernah menghabiskan waktunya selama dua puluh tujuh tahun di penjara ini bersikukuh meneruskan persiapan perhelatan piala dunia rugbi meski diprotes oleh orang-orang di lingkar paling dekat karena konsekuensi politik yang akan ia hadapi, termasuk citranya yang bisa tergerus habis di mata konstituennya.

Madiba berjudi. Ia berharap mendapatkan keuntungan besar bagi dirinya dan bagi bangsanya dari perjudian itu. Madiba melihat piala dunia rugbi menjadi momentum rekonsiliasi, merobohkan tembok kebencian antara si hitam dan si putih yang fondasinya telah berdiri kokoh dari waktu ke waktu.

Tentu saja sebagai politisi, Mandela tidak hanya gunakan event ini sebagai keharusan moral saja, tapi juga untuk kepentingan politik-pragmatisnya. Mandela sadar bahwa kekuasan politik memang sudah berada di tangannya. Namun, kekuatan ekonomi masih berada di tangan elite kulit putih yang tetap tidak mempercayainya sehingga mereka mulai memindahkan bisnis dan investasi mereka ke luar negeri. Tentu saja ini akan sangat mengganggu pemerintahan Mandela.

Dengan berbagai drama yang tidak bisa dituliskan di sini, akhirnya perhelatan piala dunia rugbi dilaksanakan dengan meriah. Rugbi mendadak menjadi olahraga bersama yang dapat menyatukan si hitam dan si putih. Dengan baik Clint Eastwood, sutradara Invictus, menyajikan gambar-gambar apik proses pembauran diri dua warna kulit berbeda, terutama ketika di final Springboks berhadapan dengan All Black (tim nasional Selandia Baru).

Di bawah satu bendera, semua berharap, berdoa, berteriak, dan menari mendukung Springboks, tim nasional rugbi mereka. Olahraga, akhirnya, dapat membantu proses rekonsiliasi, menyatukan anak bangsa yang terbelah.

Robohnya Politik Primordial

Dalam konteks dan setting politik yang berbeda, Asian Games yang sedang berlangsung memainkan peran yang signifikan dalam merekatkan kembali keindonesiaan kita.

Di tengah politik identitas yang membara empat tahun terakhir, Asian Games datang untuk menyiram bara api politik primordial tersebut. Para atlet memberikan teladan kepada kita bahwa mereka berjuang dan bekerja keras mendulang emas di bawah naungan satu bendera: merah-putih.

Latar belakang etnis dan agama mereka merepresentasikan Indonesia sesungguhnya. Para penonton pun, semua warga negara Indonesia, mendukung sepenuh hati para atlet yang berlaga tanpa tersekat oleh pandangan politik primordial sempit yang acap mengemuka di luar arena olahraga.

Siapa yang tidak bangga kepada Defia Rosmaniar, peraih emas pertama kita di Asian Games? Berbalut busana muslimah, Defia mengangkat derajat Indonesia di pentas negara-negara Asia. Sekeping emas berikutnya datang dari atlet Wushu Lindswell Kwok. Semua berdecak kagum, mengucapkan alhamdulillah tanpa ada sindiran “asing-aseng” kepadanya.

Di layar kaca dua hari lalu saya sempat menonton tim nasional voli putri kita yang berlaga melawan tim nasional Thailand. Meskipun akhirnya kalah, kekompakan mereka masih dapat dijadikan teladan kebangsaan kita. Asih dan Fadillah (keduanya berjilbab) berjibaku bersama Manganang (berkalung salib) dan kawan-kawan mereka lainnya untuk memperjuangkan merah-putih. Mereka berangkulan dan berpelukan memberikan semangat satu sama tanpa ada kecanggungan sindrom mayoritas-minoritas.

Tidak satu orang pun, saya kira, yang mempertanyakan keindonesiaan dua “spiderwomen” berjilbab Indonesia Aries Susanti Rahayu dan Puji Lestari yang masing-masing mendulang emas dan perak bagi Indonesia dari Panjat Tebing. Begitu pula tidak ada yang nyinyir mempertanyakan kalung yang menggelayut di leher Jonathan Cristie ketika ia membuka baju merayakan emas dari cabang Badminton. Semua larut dalam kegembiraan dan tersihir, terutama tentu saja perempuan, oleh tubuh Jojo yang kekar.

Politik Baru

Politik kita mesti naik kelas. Mesti beranjak dari kredo klasik Lasswell “who gets what, when and how”. Politik mesti beranjak dari sekadar kepentingan jangka pendek personal dan kelompok menuju politik kebangsaan yang bersifat jangka panjang.

Sebagai sebuah negara demokratis, kompetisi politik tentu saja diizinkan. Tapi, kompetisi itu hendaknya tidak melahirkan sikap nyinyir dan miskin apresiasi terhadap capaian kita sebagai bangsa.

Dalam konteks ini, mestinya tidak perlu ada yang nyinyir mempertanyakan apakah presiden mempergunakan stuntman dalam pembukaan Asian Games. Acara berjalan dengan baik, menghibur, dan diapresiasi oleh dunia. Keberhasilan acara tersebut tentu saja bukan karena Presiden Jokowi semata, melainkan berkat kerja sama kolektif ribuan orang, termasuk kita para pembayar pajak yang mendanai acara itu.

Tidak perlu pelit mengapresiasi dan menolak realita bahwa pada Asian Games kali ini, di bawah kepemimpinan Pak Jokowi, prestasi olahraga bangsa kita naik secara signifikan. Sebaliknya, tidak perlu pelit juga mengakui bahwa hampir setengah dari tambang emas kita adalah dari Pencak Silat yang diketuai oleh Pak Prabowo. Rakyat mesti bangga dan berterima kasih atas capaian ini.

Kemarin olahraga secara simbolik mempertemukan dua tokoh bangsa kita. Pak Jokowi dan Pak Prabowo berangkulan merayakan kemenangan bangsa kita. Mereka terlihat akrab dan hangat. Olahraga kembali menjadi fasilitator ‘rekonsiliasi’.

Bila pemimpin kita akur, kenapa rakyat di akar rumput mesti saling pukul? Bila masih ada yang memfitnah, menyebar hoaks dan ujaran kebencian tampaknya ada yang salah dengan ‘otak’ mereka. Orang Arab bilang: al-‘aqlu as-Salim fi al-Jiami as-Salim –otak yang sehat terdapat pada badan yang sehat.

Ayo olahraga supaya badan sehat, otak waras, dan tidak merusak persatuan bangsa!

 

*Pertama kali dimuat di Detik.com

Recommended Posts