Mahfud Aurelius

Oleh Suci Mayang Sari

Pada masa Romawi Kuno, hiduplah seorang kaisar bijak, Marcus Aurelius. Sang kaisar menampik anaknya sendiri untuk menggantikan dirinya memimpin negeri karena menyadari kelemahan terbesar dari darah dagingnya, yakni ambisi pribadi. Sang kaisar lebih memilih panglima perangnya untuk menjadi kaisar baru.

Kaisar Roma yang hidup pada abad 161-180 SM itu tak hanya dikenal sebagai pemimpin, tapi juga pemikir dan filsuf. Siang, ia bertempur di medan perang; malam hari, di antara kelelahan, ia disiplin bermeditasi, membaca, dan menulis catatan pribadi. Ia bertahun-tahun hidup menempa diri mencapai kesempurnaan sebagai manusia.

Sejarah mencatat, Marcus Aurelius adalah seorang Stoik, pengikut aliran filsafat Stoa yang percaya bahwa penyakit terbesar dalam diri manusia adalah emosi; hasrat berlebihan, ambisi menginginkan atau menampik sesuatu. Aliran filsafat ini mengajarkan manusia agar senantiasa mengambil jarak dari ambisi pribadi.

Pada Stoa, manusia seharusnya hanya mengandalkan apa yang ada pada dirinya, yakni “jiwa dan akal”. Di luar itu semua, harta benda, kekuasaan, relasi, bahkan tubuh manusia sendiri adalah sesuatu yang di luar ide tentang kesejatian manusia dan bisa membangkitkan emosi atau hasrat berlebihan. Sesuatu yang harus dihindari manusia.

Sikap seperti yang diteladani Marcus Aurelius itu kini semakin langka, terutama di antara orang-orang yang ada di gelanggang politik.

Terpentalnya Mahfud MD dari kancah pemilihan wakil presiden lalu, mengingatkan saya kembali pada ide kaum Stoik. Ia memiliki kualitas langka dibanding para elite lain yang ada di pasar politik sebagai kandidat wakil presiden.

Mahfud MD dikenal sebagai satu-satunya hakim yang tidak bisa disuap ketika menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi. Ia menampik sogokan besar demi mempertahankan konstitusi di negeri ini.

Ketika memberikan pidato di hadapan seluruh Calon Legislatif Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Senin (20/08) lalu, Mahfud bercerita bagaimana ia membongkar kejahatan aktor-aktor dari partai politik lama yang merampok uang rakyat melalui Daftar Isian Masalah (DIM) terkait Dana Alokasi Umum, yang ia taksir nilai korupsinya mencapai Rp50 miliar rupiah per satu DIM. Ia berdiri kokoh mempertahankan integritas dan nilai-nilai yang ia yakini.

Sejarah akan mencatat, orang bersih itu tersingkir dari gelanggang karena sikapnya yang antikorupsi. Partai-partai lama menganggap Mahfud MD sebagai figur yang terlalu “independen”, tidak bisa diatur, terlalu pro-pemberantasan korupsi, dan karena alasan itu semua harus disingkirkan lantaran potensial menyaingi mereka dalam Pemilihan Presiden 2024.

Kita, masyarakat, menyaksikan persekongkolan itu terjadi dengan cara yang sangat telanjang. Para politisi lama, manusia-manusia yang dipenuhi ambisi pribadi, menampik orang berintegritas. Praktik-praktik seperti inilah yang menjadi ancaman terbesar bagi demokrasi Indonesia. Membuat orang semakin apatis dan tidak percaya terhadap dua institusi kunci demokrasi, yakni partai politik dan parlemen.

Dalam testimoninya di sebuah program TV, Mahfud bercerita begini:

Pada 1 Agustus, Istana memberitahu pilihan sudah mengerucut ke Mahfud untuk menjadi wakil capres Jokowi untuk pemilu 2019. Maka sejak 10 hari sebelum pendaftaran, Mahfud mulai menyiapkan segala yang dibutuhkan: dari berkas dokumen yang harus diurus di Yogyakarta, CV, hingga menyiapkan baju yang harus dipakai.

Namun, beberapa jam sebelum pendaftaran, terjadi perubahan. Mahfud digantikan oleh Ma’ruf Amin.

Sore jelang sehari pendaftaran, partai-partai koalisi mendatangi Pak Jokowi dengan membawa nama calonnya masing-masing. Mahfud paham situasi sulit yang dihadapi Jokowi. Mahfud menerima ini dengan ikhlas. Tidak ada rasa sakit hati, tidak ada rasa kecewa, hanya kaget saja.

Keperluan negara ini dan keberlangsungan NKRI jauh lebih penting dari sekadar nama Mahfud MD sebagai wapres kelak. Mahfud dengan legawa mengatakan, “Ini realitas politik yang tidak terhindarkan.”

Meski batal menjadi cawapres, Mahfud mengatakan ia masih tetap berada di pihak Jokowi. Menurut Mahfud, Jokowi merupakan pribadi yang baik, tidak korupsi, dan tegas.

Ketegasan ini terbukti ketika kasus UU MD3. Mahfud menyarankan Jokowi melobi terlebih dahulu ke para parpol terkait tidak disahkannya UU MD3. Namun Jokowi menampik. Tidak perlu melobi parpol karena secara hukum dan prosedural sudah benar.

Mahfud juga mengungkit pada masa lalu, Jokowi sempat menawarkan dirinya beberapa posisi. Antara lain menjadi Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) hingga Komisaris Utama.

Tapi Mahfud menolak dengan alasan etika politik. Pasalnya, pada tahun 2014, Mahfud masuk di tim Prabowo. Mahfud merasa masih banyak orang lain yang lebih berkeringat untuk Jokowi, yang lebih layak mengisi jabatan itu.

Suatu ketika Jokowi gundah dengan situasi ideologi dengan maraknya intoleransi dan radikalisme. Maka di situlah Mahfud baru bersedia mengisi tugas mengawal ideologi bangsa, menjadi anggota Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

Dari testimoni ini, terlihat betapa Mahfud sudah mampu hanya bergantung pada jiwa dan akal. Mahfud sudah mampu melepaskan hasrat kuasa dan harta.

Stoa mengajarkan untuk mampu memilah apa saja yang ada padaku dan apa saja yang di luar aku. Sejatinya, yang tergantung padaku hanyalah jiwa dan akal. Sementara harta milik, relasi, kuasa, bahkan tubuh adalah sesuatu yang di luar. Semua yang berada di luar aku dapat membangkitkan emosi. Pemikiran Stoa ini wajib dimiliki oleh seorang pemimpin bila ia ingin menjadi negarawan.

Dan lihatlah bagaimana reaksi Mahfud ketika dirinya terpental. “Saya tidak kecewa, tapi kaget,” kata dia dengan nada tenang ketika menjelaskan perasaan dirinya.

Di hadapan kami, anak-anak muda PSI, Mahfud MD menyerukan kepada kaum muda agar tidak menjadi Golput. “Jadilah Golfud…,” kata dia setengah bercanda menyebut istilah “Golongan Mahfud (Golfud)” yang dikenalkan Akhmad Sahal di Twitter.

“Saya sejak awal mendukung lahirnya Partai Solidaritas Indonesia dengan harapan agar partai ini menjadi semacam virus positif yang bisa memperbaiki politik Indonesia. Perpolitikan Indonesia—yang sekarang didominasi oleh partai-partai politik lama—tidak dapat disembunyikan dari siapa pun: citranya sangat buruk,” kata Mahfud MD memberi semangat kepada orang-orang muda PSI.

Ia sedang mengingatkan kepada kami, anak-anak muda yang terjun ke politik, tentang bahaya terbesar negeri yang dikuasai oleh orang-orang yang hanya mengedepankan kepentingan sempit kelompoknya.

Ya, Indonesia memerlukan lebih banyak Golfud. Orang-orang yang rela berkorban mengesampingkan ambisi pribadinya untuk sesuatu yang lebih besar. Politik negeri ini sudah semakin menjauh dari ide politik sebagai alat untuk kebaikan bagi orang banyak. Politik kita kini dikuasai oleh ide tentang politik sebagai alat kepentingan pribadi atau golongan.

Mahfud MD memberi teladan kepada para politisi tentang bagaimana cara berpolitik yang benar, sebagaimana dicontohkan oleh founding fathers Indonesia. Indonesia perlu lebih banyak Golfud. Politisi generasi baru harus belajar menjadi stoik, Mahfud Aurelius!

 

*Terbit pertama kali di  Qureta.com

Recommended Posts