Dalam rangka International Women’s March (IWM) yang diperingati pada 8 Maret setiap tahunnya, Dewan Pimpinan Pusat Partai Solidaritas Indonesia (DPP PSI) menyoroti sejumlah isu terkait keamanan perempuan di ruang publik dan ruang digital. Ini disesuaikan dengan tema utama IWM 2023 #EmbraceEquity dan tema yang ditetapkan PBB “DigitALL: Innovation and Technology for Gender Equality”.
“Kesetaraan gender masih menjadi agenda global bagi perjuangan perempuan. Sehingga hashtag #EmbracingEquity dipilih menjadi tema Internasional Woman’s March tahun ini. PBB juga menetapkan tema senada “DigitALL: Innovation and Technology for Gender Equality”. Kata kuncinya adalah equity dan equility, keadilan dan kesetaraan. Bagi kami, kedua kualitas ini tidak mungkin dicapai jika perempuan masih hidup dalam ketakutan karena rasa tidak aman. Kerentanan perempuan terhadap kejahatan di jalan dan transportasi umum serta pelecehan dan diskriminasi di tempat kerja adalah di antara realitas hari ini yang masih menghantui perempuan yang berkiprah di ranah publik. Bagi perempuan yang bekerja dari rumah tantangannya juga tak kalah menakutkan. Ada problem kecakapan digital di sini dan kerentanan terhadap kejahatan cyber atau kekerasan berbasis gender online (KBGO) yang mengancam perempuan. Sehingga bagi kami perjuangan untuk mencapai keadilan dan kesetaraan gender harus dimulai dari sini. Dimulai dari upaya menciptakan ruang publik dan ruang digital yang lebih aman, lebih inklusif dan berkeadilan untuk kemajuan bersama.” Demikian disampaikan Mary Silvita, Wakil Sekretaris Jenderal DPP PSI dalam keterangan tertulis, Kamis 9 Maret 2023.
Momen Women’s March menurut Mary adalah saat yang tepat untuk kembali mentabulasi hambatan dan tantangan bagi perempuan untuk berdaya. Mengenali kerentanan perempuan dan ketimpangan yang ada adalah langkah awal yang dibutuhkan untuk kemudian merancang gerak dan kerja bersama menanggulangi kerentanan dan ketimpangan itu. Terkait jaminan atas rasa aman sebetulnya telah banyak piranti hukum yang tersedia. Seperti misalnya UU No.39 tahun 1999 pasal 30 dan 35, UU No.12 tahun 2005 pasal 9 ayat 1, UU No. 7 tahun 1984 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Namun faktanya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat, sebanyak 25.050 perempuan menjadi korban kekerasan di Indonesia sepanjang 2022. Jumlah tersebut meningkat 15,2% dari tahun sebelumnya sebanyak 21.753 kasus.
Survey Nasional Pelecehan Seksual di Ruang Publik (2018) menunjukkan transportasi umum sebagai lokasi tertinggi kekerasan terhadap perempuan.
Masih menurut Mary, data yang sangat memprihatinkan ini jelas rapor merah bagi kita semua. Pemerintah, masyarakat dan aparat keamanan masing-masing memiliki tanggung jawab untuk menciptakan jaring pengaman sosial sehingga ruang aman bagi semua kelompok gender dapat tercapai. “Jelas ini tanggung jawab kita bersama, baik pemerintah, aparat penegak hukum, masyarakat sipil, dan termasuk juga partai politik. Perjuangan kesetaran gender harus jadi agenda bersama, sehingga memang mindset yang melihat perjuangan kesetaraan gender sebagai kepentingan perempuan sendiri harus sudah dibuang jauh-jauh. Sebab nyatanya ketimpangan gender bukan hanya merugikan kaum perempuan melainkan juga masyarakat secara keseluruhan.” Tambahnya.
Lebih lanjut Mary menuturkan langkah-langkah kongkrit yang dapat diperjuangkan bersama, “Banyak hal yang bisa kita kerjakan bersama, di antaranya yang paling mendesak misalnya mendorong pemerintah untuk segera meratifikasi Konvensi ILO 190 tahun 2019 tentang Kekerasan dan Pelecehan di dunia kerja sebagai langkah proteksi dini para pekerja, terutama perempuan dari kekerasan dan pelecehan. Transportasi umum juga harus sudah dilengkapi dengan sistem pengamanan real time. Kemudian terkait keamanan di ruang digital, perempuan harus dibantu untuk lebih cakap tekhnologi. Kecakapan ini penting, sehingga terbuka lebih banyak peluang dan kesempatan bagi perempuan untuk meningkatkan taraf hidupnya, termasuk menyokong keluarga.”
PSI kata Mary menyadari bahwa memang tidak ada jalan pintas dan solusi tunggal untuk menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Oleh karena itu semua upaya yang dilakukan semua pihak mestinya dihitung sebagai kerja bersama. “Tentu saja tidak ada short cut untuk masalah ini, karenanya kami berharap segala upaya dari berbagai pihak untuk menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan harus dilihat sebagai kerja bersama. Semua pihak yang memiliki concern yang sama harus saling terhubung dan mendukung satu sama lain.” pungkasnya.