Fahri, Bau Kencur Tsamara, dan Dialektika Politik Indonesia

Jagat maya tengah diramaikan oleh perdebatan (twitwar) antara Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah dan Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Tsamara Amany.  Karena perbedaan usia antara keduanya yang sangat jauh, oleh pendukung Fahri, Tsamara disebut masih “bau kencur.” Duhh…

Ini bukan soal perdebatan laki-laki paruh baya dengan perempuan bau kencur. Kalau ini yang disoal, sebagian Anda, para laki-laki tentu merasa sangat malu.

Yang menarik, meski Fahri oposisi, dan Tsamara pendukung pemerintah, tapi ini bukan sepenuhnya perdebatan antara oposisi dengan pendukung pemerintah. Karena yang berdiri di pihak Fahri sebagian juga elite-elite partai yang mendukung pemerintah.

Perdebatan Fahri dengan Tsamara mempresentasikan antara pendukung Panitia Khusus Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan yang menolaknya; atau antara pihak yang tidak mempercayai KPK dan yang mempercayainya.

Mengapa di pihak Fahri tak semata dari pihak oposisi? Ini membuktikan bahwa dukungan partai kepada pemerintah sejatinya bukan karena kesamaan visi, misi, apalagi ideologi. Tapi lebih karena adanya kepentingan yang ingin dicapai, baik sebagian atau keseluruhan.

Siapa yang benar di antara keduanya? Saya kurang tertarik menjawab pertanyaan “bodoh” ini karena masing-masing Anda pasti sudah tahu jawabannya. Saya lebih tertarik melihat perdebatan ini dalam konteks yang lebih sistemik, yakni dalam kerangka dialektika politik di Indonesia.

Dialektika, dalam makna yang sederhana, merupakan proses komunikasi dua arah (dalam bentuk perdebatan atau yang lain) untuk melahirkan arah baru yang lebih baik. Dalam perspektif Hegelian, dua hal yang dipertentangkan–antara tesis dan antitesis– untuk melahirkan sintesis dan terus berproses menuju kesempurnaan. Meski kesempurnaan itu tidak akan tercapai, setidaknya dialektika bisa dijadikan sarana menuju “eksistensi” yang lebih baik.

Dalam perspektif politik, negara merupakan sintesis antara keluarga (tesis) dan masyarakat warga (antitesis). Untuk melahirkan negara yang terus berproses menuju kebaikan dibutuhkan proses dialektika di antara tiga cabang kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) yang merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat (keluarga dan masyarakat warga).

Di negara yang sistem demokrasinya sudah mapan, proses dialektika berjalan secara seimbang (check and balances) sehingga melahirkan kebijakan-kebijakan politik yang sesuai dengan aspirasi rakyat, yakni terpenuhinya kebutuhan hidup, kesejahteraan, yang kemudiaan berujung pada kebahagiaan.

Di Indonesia, proses dialektika politik belum berjalan normal. Banyak faktor yang menyebabkan ketidaknormalan ini (perlu bahasan tersendiri). Yang jelas, masing-masing cabang kekuasaan yang ada tampak memiliki ego ingin menonjolkan diri. Masing-masing fokus pada maksimalisasi peran, seolah ingin tampak paling baik di mata rakyat.

Padahal bukan itu yang dibutuhkan rakyat. Penonjolan peran hanya akan melahirkan ketidakseimbangan di antara cabang kekuasaan. Alih-alih memenuhi aspirasi dan kebutuhan rakyat, ketidakseimbangan sudah pasti akan mengabaikan aspirasi rakyat. Setiap cabang kekuasaan sibuk dengan dirinya sendiri dan mengabaikan fungsi dan tugasnya sebagai pelayan rakyat.

Pada situasi seperti ini kontrol publik yang berada di luar cabang-cabang kekuasaan menjadi penting. Proses dialektika tidak hanya terjadi antara tiga cabang kekuasaan, tapi antara pemegang kekuasaan (pejabat negara) dan rakyat sebagai warga negara.

Kontrol dari warga negara diharapkan bisa menyadarkan pejabat negara yang telah melalaikan tugas-tugasnya untuk memenuhi kebutuhan, menyejahterakan, dan (bahkan) membahagiakan warga negara.

Melalaikan tugas adalah bentuk pengkhianatan yang nyata terhadap sumpah jabatan, dan terhadap rakyat yang telah memilih (baik secara langsung atau tidak langsung) dan mengupahnya (melalui pajak yang dibayarkan pada negara).

Jika dalam proses dialektika tersebut tidak mampu melahirkan kesadaran pejabat negara, pilihannya cuma dua: pejabat negara seyogianya mengundurkan diri, atau dipaksa harus mundur. Karena rakyat tidak membutuhkan pejabat yang berkhianat. Jika karena sesuatu dan lain hal, dua pilihan ini tidak bisa dilakukan, maka pilihan terburuknya, rakyat bersabar hingga pemilu tiba dan tidak memilih kembali pejabat yang bersangkutan.

Kembali pada perdebatan antara Fahri dan Tsamara, jika kita menganggapnya sebagai proses dialektika, tidak perlu dijelaskan, tentu Anda paham siapa mewakili siapa.

Abd. Rohim Ghazali

Sumber : GEOTIMES

Recommended Posts