Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga menerbitkan Surat Keputusan nomor: B 1031/Un.02/R/AK.00.3/02/2018 yang melarang tegas penggunaan cadar bagi mahasiswi, di mana tujuan diterbitkannya peraturan tersebut dimaksudkan untuk mengantisipasi masuknya paham radikal ke kampus.
Berdasarkan hasil investigasi kampus yang dilansir oleh Tugu Jogja pada Kumparan (5/3/2018), bahwa mahasiswi bercadar terindikasi menolak Pancasila, Bhineka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bahkan mereka mengibarkan bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di sejumlah tempat kampus tersebut. Pihak kampus akan melakukan konseling bagi mahasiswa bercadar, apabila setelah diperingatkan dan diberikan konseling sampai sembilan kali masih bertahan maka akan dikeluarkan dari kampus. Seperti yang disampaikan oleh Yudian Wahyudi (Rektor UIN Sunan Kalijaga) kepada Nuraki Aziz untuk BBC Indonesia (05/03/2018).
Cadar menjadi salah satu simbol yang mengindikasikan pada paham radikal tersebut. Sama konyolnya dengan menganggap orang yang tidak bersalaman dengan lawan jenis, berjenggot atau bercelana ngatung juga radikal, di mana dengan adanya simbol radikalisme tersebut dapat mengganggu kebinekaan dan stabilitas nasional.
Menurut Prof. Sarlito Wirawan (2012) radikalisme adalah afeksi atau perasaan yang positif terhadap segala sesuatu yang bersifat ekstrim sampai ke akar-akarnya. Sikap yang radikal mendorong perilaku individu untuk membela secara mati-matian mengenai suatu kepercayaan, agama atau ideologi yang dianutnya.
Pada dasarnya radikal merupakan istilah positif bahwa seseorang berpegang teguh prinsip. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, apabila kata radikal melekat pada bahasan politik diartikan sebagai sikap yang sangat keras dalam menuntut perubahan, apakah perubahan pada pemerintahan atau perubahan undang-undang. Contoh : gerakan reformasi, Judicial Review undang-undang ke Mahkamah Konstitusi, gerakan anti-korupsi, dll.
Sementara menurut Dr. K.H. Said Aqil Siroj (2006), pengertian Islam Radikal adalah orang Islam yang mempunyai pikiran kaku dan sempit dalam memahami Islam, serta bersifat eksklusif dalam memandang agaman-agama lainnya. Kelompok radikal ini akan ada di dalam setiap agama apapun, termasuk di dalam agama Islam sekalipun. Radikalisme bisa melekat dimana saja, kanan atau kiri, konservatif atau modern, fundamental atau liberal.
Prasangka dan intervensi
Identitas berfungsi untuk mengenal antar-manusia tentu membawa keragaman, bersifat personal seperti: ciri-ciri fisilogis, daerah asal, dan lain-lain, juga identitas sosial yang didasarkan pada afiliasi kelompok, seperti cara berpakaian, beribadah, dan budaya.
Identitas sosial tentu tidak terbentuk secara tiba-tiba, bukan sekedar dari pemberian informasi saja bahkan perlawanan terhadap identitas secara ekstrim membuat individu semakin meningkatkan militansi pada identitas sosialnya.
Teori Identitas Sosial (dalam Taylor, et.al, 2009) berpendapat bahwa antagonisme kelompok bisa muncul bahkan tanpa ada konflik kepentingan riil, karena harga diri orang terkait erat dengan identitas sosialnya dan dengan evaluasinya terhadap in-group dan out-group. Sistem kognitifnya akan melakukan evaluasi dan klasifikasi yang melahirkan sekat yang dapat mengganggu kehidupan berbangsa, rasa kesatuan pun terkikis dan inilah awal mula terjadinya disintegrasi.
Contoh kasus pelarangan memakai cadar, apakah akan mengganggu harga diri karena mempermasalahkan identitas sosialnya? Niat ingin mengantisipasi radikalisme, barangkali semakin memperkuat militansi untuk mempertahankan harga dirinya.
Pun apabila terjadi pada keyakinan lainnya seperti menutup rumah ibadah, merobohkan patung sesembahan, persekusi pada keyakinan yang dianggap berbeda, bukan “memberangus” tapi “menyuburkan militansi” dan “memperluas konflik”. Jika terlalu banyak tekanan akan menyebabkan orang melakukan yang bertentangan.
Brehm (1966) menyebutkan fenomena ini sebagai reactance (reaktansi), yakni orang berusaha untuk mempertahankan kebebasan tindakan personal mereka. Ketika kebebasannya terancam, mereka melakukan hal-hal yang diperlukan untuk mempertahankannya dan menolak tunduk pada peraturan tersebut bahkan pada sistem yang lebih besar.
Di Indonesia kebebasan beragama setiap warga negaranya dijamin oleh konstitusi. Dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28E ayat (1) : “setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga mengakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia. Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 22 mengatur tentang hak atas kebebasan beragama dan beribadah sebagai berikut :
- Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
- Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Jika ada kebijakan yang mengganggu kebebasan beragama warga negara dengan dalih menjaga keutuhan NKRI, sejatinya dia telah mencabik-cabiknya. Tempatkanlah dengan adil, jangan sampai kita menganggap orang lain berbahaya bagi keragaman tapi diam-diam ternyata kita yang mengkoyak-koyaknya.
Bagaimana toleransi dibangun?
Cadar tidak perlu diberangus dengan peraturan. Seperti orang demam berdarah, bukan mengobati dengan memberikan salep pada bintik-bintik merahnya. Namun apabila jelas-jelas ada mahasiwa yang mengibarkan bendera HTI silahkan diintrograsi dan kenakan sanksi. Jika pelarangan cadar merupakan antisipasi agar tidak ada joki ujian, toh bisa scan sidik jari atau menunjukkan wajah kepada petugas perempuan.
Fritz Heider (1958) mengatakan bahwa setiap manusia memiliki motif yang kuat, yakni : 1) kebutuhan untuk membentuk pemahaman yang utuh tentang dunia dan; 2) kebutuhan untuk mengontrol lingkungan. Namun apabila motiv tersebut saling berbenturan, maka akan terjadi prasangka yang melahirkan konflik. Cara paling efektif membangun harmonisasi adalah dengan memberikan informasi dan pengetahuan tentang keragaman dan toleransi. Seperti yang ditulis oleh Taylor, et. Al (2009) bahwa sosialisasi toleransi dan pendidikan adalah cara efektif mengurangi prasangka walau lambat.
Jika kita menjunjung tinggi toleransi seharusnya tidak bermasalah dengan perbedaan cara pandang dan sikap dalam keseharian hidup kita. Asal cara pandang dan tindakan itu tidak menghancurkan sistem besar yang menaungi keragaman itu sendiri (Pancasila). Namun jika ingin bebas berekspresi lalu merobohkan bangunan keragaman namanya barbar, tidak patut berbicara toleransi apalagi menuntut hak diakui dan dihargai.
Jika menganggap Pancasila adalah thagut, maka jangan pernah pula interupsi jika ada kelompok yang melarang dan membatasi ruang gerak Anda di Negara Pancasila ini. Pancasila sebagai konsensus Nasional untuk menghargai hak-hak pribadi rakyatnya, tidak perlu diimani cukup junjung tinggi dan intrepretasikan dalam kehidupan sehari-hari jika tidak ingin berkelahi.