Kenapa minyak goreng seharga Rp 14 ribu sulit dicari?
Informasi yang kami dengar, pasokan sebenarnya mencukupi. Faktanya, minyak goreng masih bisa dibeli di lapak-lapak online, tapi lebih mahal dari Harga Eceran Tertinggi atau HET yang ditetapkan pemerintah.
Kalau pasokan cukup, artinya masalah ada dua: pertama ada pada jalur distribusi yang tidak ditata dengan baik, hal kedua dan ini yang paling utama: kesalahan ada pada kebijakan Harga Eceran Tertinggi yang ditetapkan Menteri Perdagangan.
Kita seharusnya belajar dari pengalaman bahwa intervensi negara terhadap pasar dalam bentuk mengontrol harga, tidak akan pernah efektif.
Harga seharusnya tercipta lewat mekanisme pasar. Tugas menteri perdagangan adalah memastikan persaingan di antara produsen berlangsung fair, tidak ada regulasi yang menghambat produksi, dan memastikan distribusi sampai ke rakyat dengan harga wajar.
Lihat dampak kebijakan harga eceran tertinggi: harga minyak goreng tetap mahal kelangkaan terjadi di mana-mana.
Kebijakan harga eceran tertinggi ini bermasalah. Pertama, bagaimana mengawasinya? Bagaimana memastikan seorang pedagang di Kota Ternate misalnya, menjual minyak goreng tidak lebih dari Rp 14 ribu rupiah per liter sesuai keinginan Menteri perdagangan? Apakah Pak Menteri punya kemampuan, punya sumber daya memastikan itu terjadi, bukankah pengawasan itu biayanya mahal?
Ya, kebijakan harga eceran tertinggi ini adalah kebijakan malas yang cost-nya mahal. Dalam situasi harga minyak sawit dunia sedang melambung seperti sekarang, kebijakan harga eceran tertinggi memaksa produsen menjual dengan harga lebih rendah dari biaya produksi alias jual rugi.
Ini tidak masuk akal dan keterlaluan. Apa dasar yang bisa membenarkan seorang Menteri Perdagangan diperbolehkan memaksa seorang produsen minyak goreng – warga negara pembayar pajak yang mencoba berusaha dengan baik dan berkontribusi membuka lapangan kerja – untuk menjual dengan harga rugi? Dan kalau menolak mereka akan dituduh sebagai penimbun dan dikriminalkan.
Kalau ini terus terjadi, bukan tidak mungkin para produsen minyak goreng akan memilih menghentikan produksi, yang dampaknya lebih buruk lagi: minyak goreng semakin langka.
Kebijakan harga eceran tertinggi adalah kebijakan malas, di hadapan publik seolah-olah Menteri perdagangan telah bekerja dan bisa mengontrol harga minyak goreng di pasar. Kalau harga tetap mahal salahkankan saja produsen, salahkan pedagang, sebut saja ada spekulan. Padahal kenyataannya, sumber masalah ini ada pada kebijakan harga eceran tertinggi yang ditetapkan Menteri Perdagangan.
Kasus minyak goreng ini mengingatkan kepada kita bahwa intervensi pemerintah kepada pasar lewat kebijakan harga eceran tertinggi tidak akan efektif mengatasi kelangkaan. Tidak hanya pada kasus minyak goreng, tapi pada produk lainnya juga.
Jelas, kebijakan harga eceran tertinggi pada akhirnya memukul konsumen. Rakyatlah yang kini harus menanggung akibat dari kebijakan Menteri Perdagangan yang keliru.
Hal yang paling menyedihkan, kebijakan ini berpotensi konflik. Rakyat saling curiga bahwa ada penimbun, di lapangan rakyat saling berebut membeli minyak goreng karena langka.
Sudahlah, Pak Lutfi, cabut kebijakan harga eceran tertinggi. Mulailah memberi penjelasan yang utuh kepada publik, dan cari solusi terbaik agar minyak goreng tidak langka dan mahal. Dan, jangan pernah ulangi lagi kebijakan keliru ini.