Ancaman di Ruang Publik

Oleh: Sonya Hellen Sinombor

Berbagai kekerasan seksual terhadap perempuan di ruang publik terus terjadi. Lemahnya penegakan hukum membuat pelaku tidak jera dan memungkinkan beraksi lagi.

Kekerasan seksual kini menjadi ancaman serius bagi perempuan di Tanah Air. Tidak hanya di ruang-ruang privat, pelaku kekerasan seksual kini semakin berani melakukan aksi di ruang publik.

Bentuknya beragam, mulai dari pelecehan secara verbal ataupun non-verbal atau tindak fisik. Belakangan ini, jalanan dan fasilitas-fasilitas publik menjadi tempat pelaku melancarkan aksinya.

Parahnya, meskipun hampir setiap saat terjadi pelecehan terhadap perempuan, baik dewasa maupun anak-anak, pelaku kekerasan seksual tetap saja melenggang—karena lemahnya proses hukum.

Pelaku bebas melakukan aksinya karena tidak tersentuh hukum. Apalagi, ketika aksi kekerasan seksual yang dilakukan tidak ada saksi.

Contoh paling aktual adalah pelecehan seksual yang menimpa seorang perempuan saat berjalan sendirian di daerah Beji, Depok, Jawa Barat. Pelakunya seorang pengendara sepeda motor. Aksi pelaku yang menyentuh salah satu bagian tubuh korban (payudara) terekam kamera pemantau (CCTV) milik warga dan diunggah di media sosial sehingga menjadi viral. Pelaku akhirnya tertangkap polisi. Anehnya, pelaku kemudian dibebaskan polisi dan hanya dikenakan wajib lapor.

Aksi pelecehan itu mendapat sorotan dan kecaman dari berbagai kalangan karena menunjukkan betapa lemahnya perlindungan terhadap perempuan di ruang publik.

Aksi kekerasan seksual tersebut hanyalah salah satu dari sederet kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan di ruang publik. Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional 2016 oleh Badan Pusat Statistik yang didanai Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menunjukkan bahwa dari tiga perempuan Indonesia berusia 15-64 tahun atau sekitar 28 juta orang pernah mengalami kekerasan fisik atau kekerasan seksual oleh pasangan dan selain pasangannya. Lokasinya mencakup ruang privat dan publik, di kota dan di desa.

Sejumlah aktivis organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam gerakan antikekerasan terhadap perempuan mengungkapkan kasus-kasus kekerasan seksual di ruang publik sudah sering terjadi dan dialami perempuan saat berada di jalanan, fasilitas transportasi umum di bus ataupun kereta api, dan ruang-ruang publik lain.

Badan PBB untuk Kesetaraan Jender dan Pemberdayaan Perempuan (UN Women) bersama Yayasan Pulih pernah melakukan penelitian berjudul ”Scoping Study: Audit Keamanan di Tiga Wilayah Jakarta di Jakarta Timur, Jakarta Selatan, dan Jakarta Barat pada Tahun 2017”.

Dari pengakuan responden, meski Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah berupaya meningkatkan keamanan perempuan, terutama dalam hal transportasi publik, sebagian besar responden belum merasa aman, termasuk di jalan atau enam tempat, yakni tempat menunggu angkutan umum, pasar, toilet umum, dekat jembatan, dan tempat lain.

Direktur Yayasan Pusat Pendidikan dan Pemberdayaan untuk Perempuan dan Anak (PUPA) Susi Handayani mengungkapkan, dalam beberapa kasus, pelaku sering mengambil kesempatan melancarkan aksinya pada saat kondisi perempuan tidak bisa melakukan perlawanan. Misalnya, saat perempuan dewasa atau remaja mengendarai sepeda motor, sejumlah pelaku yang juga di atas sepeda motor memegang bagian-bagian tubuh perempuan, seperti memegang payudara atau pantat.

Tidak peka

Kalaupun ada kasus kekerasan seksual di ruang publik yang sampai ke kepolisian, prosesnya tidak sesuai harapan. Tidak ditahannya pelaku menunjukkan sikap aparat penegak hukum yang tidak peka terhadap perlindungan perempuan.

”Ini juga menunjukkan pengaturan hukum tentang pelecehan seksual dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana masih lemah,” ujar Veni Siregar, pengurus LBH APIK Jakarta.

Minimnya pemahaman kesadaran masyarakat akan kekerasan seksual sebagai tindak kejahatan membuat praktik kekerasan seksual terus berulang.

Menurut Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan, Sri Nurherwati, pelecehan seksual hanya dianggap persoalan moralitas semata.

Selain mendorong lahirnya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, untuk mencegah kekerasan seksual, perempuan harus berani melawan dan bersuara, serta melaporkan kepada penegak hukum.

Sumber: Harian Kompas, 20 Januari 2018

Recommended Posts