Amanat Perempuan untuk PSI

Rubrik Khusus Refleksi Awal Tahun – Koran Solidaritas Edisi VII, Januari 2016

Oleh: Dewi Candraningrum*

Indonesia sampai dengan sekarang memiliki kurang lebih 202.9 juta yang mengidentifikasikan dirinya sebagai Muslim (kurang lebih 88.2% dari seluruh penduduk Indonesia sejumlah 237 juta). Mayoritas mengadopsi tradisi Sunni, dan ada sekitar 1 juta mengadopsi tradisi Syiah, dan kurang lebih 400.000 adalah Ahmadiyah. Secara umum ada dua kategori yang bisa dilihat, yaitu modernis dan tradisionalis—tetapi ini tidak menafikan aliran-aliran lain yang ada dalam tradisi Islam.  Sebagai rumah dari agama-agama besar dunia, terutama rumah terbesar dari umat Islam dunia, Indonesia dikejutkan oleh Pileg pada 9 April 2014 lalu. Yang pertama adalah bahwa perolehan suara PDIP melemah dan perolehan suara partai-partai berbasis agama menaik. Pada tahun 2009 total suara untuk partai-partai yang mengidentifikasikan dirinya pada Islam adalah 29%, merupakan titik terendah selama beberapa Pemilu. Sedangkan prediksi polling tahun 2014 untuk mereka hanya 15-25 persen, tetapi kemudian, terbukti hasil Pileg 2014 menunjukkan kenaikan pesat yaitu 31-32% dari keseluruhan pilihan nasional—dimana PKS turun 1 persen saja.

Perihal ini mengkonfirmasi kenaikan ideologi Islam dalam peta politik Indonesia, yang kemudian digunakan sebagai mesin politik pada Pilpres 2014. Hampir semua partai, baik sekuler dan berbasis agama, menggunakan narasi visual berbasis agama, yaitu Islam, untuk menarik massa lebih banyak. Wajah-wajah politisi kemudian berubah-ubah sesuai dengan massa yang dikunjungi. Apabila mengunjungi massa konservatif, maka wajah agama yang dipakai. Sedangkan apabila mengunjungi massa nasional, maka wajah-wajah inklusif, pluralis, universalis, kemudian digunakan. Berbagai bentuk narasi primordial dan visual tersebut digunakan sebagai alat politik praktis, sedangkan muatan normatifnya seringkali dilupakan, atau dengan sengaja ditiadakan demi memperluas elektabilitas. Di samping itu, hampir tidak ada partai-partai berbasis Islam yang kemudian mengkampanyekan agenda-agenda (s)yariah Islam. Satu-satunya partai yang mengagendakan adalah Partai Bulan Bintang yang hanya mendapatkan 1.5% dalam Pileg kemarin (KPU 2014). PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) menjadi salah satu pemenang dari partai berbasis Islam, terutama warga NU—karena memiliki garis primordial dengan Gus Dur—yang naik menjadi 9% di Pileg 2014 dari 4.9% di tahun 2009 (KPU 2014). Keberhasilan ini terutama karena kedekatan mereka dengan warga NU yang memiliki basis massa besar terutama di Jawa Timur. Selain PKB, PAN meraih 7.5%–mengalami kenaikan yang juga cukup signifikan, dibanding PKS yang hanya 6.9% dan PPP 6.5% (KPU 2014).

Pileg 9 April 2014 tidak mengindikasikan kenaikan ideologi Islam, tetapi ketahanan partai Islam dalam demokrasi dan menunjukkan kemampuannya beradaptasi dalam iklim politik yang berubah-ubah. Mereka telah berada dalam pusat kekuasaan, dalam pemerintahan SBY, dan mereka kemudian semakin pragmatis karena telah menikmati kekuasaan demokrasi—yang membuat mereka kemudian tidak mengajukan agenda-agenda (s)haria Islam. Pertarungan politik nilai—amanat normatif dari simbol-simbol yang dieksploitasi tersebut—hampir-hampir tidak ada. Maka dari itu perlu dikembangkan politik nilai (politics of value)—yaitu apa yang manusia katakan harus juga manusia perbuat. Max Weber mencontohkan nilai ‘sintas’ dalam bukunya The Protestant Ethic and the Spirit Capitalism (1930) yang menarasikan bagaimana semangat protestanisme, yaitu religiositas, mengubah Eropa menjadi Negara-negara yang memajukan narasi kesejahteraan dan keadilan—yang ini kemudian melahirkan konsep negara kesejahteraan.

Lalu bagaimana dengan hak, peran, partisipasi, dan status perempuan dalam Pileg dan Pilpres? Perempuan aktif terlibat dalam Pileg, meskipun mesin partai politik banyak mengecewakan perempuan seperti dilaporkan dalam banyak kajian di Jurnal Perempuan Edisi 81 Perempuan Politisi Mei 2014 (lihat pada rubrik Riset Anita Dhewy), yaitu masih sedikitnya perempuan menjabat di struktur partai dan semakin menurunnya tingkat keterwakilan perempuan di parlemen. Pileg 2014 ini bukan kabar menggembirakan bagi gerakan politik perempuan karena jumlahnya turun dari 18% di tahun 2009 menjadi 17% di tahun 2014. Bagaimana partai berbasis Islam memberikan ruang aktivitas politik untuk perempuan? Anggota legislatif jadi (selanjutnya disingkat Aleg) dari PPP adalah sejumlah 25.64%; PKB adalah 21.28%; PAN sejumlah 15.52% Aleg perempuan; dan paling sedikit adalah PKS sejumlah 2.50%. 97.50% Aleg PKS laki-laki mendominasi kursi di parlemen. Ini kabar yang sama sekali tidak bagus.

Bagaimana dengan status perempuan dalam partai-partai yang tidak berbasis agama, atau kerap disebut sebagai partai nasionalis atau partai sekular? Kabarnya juga tidak begitu menggembirakan. Aleg perempuan dalam Demokrat mengungguli dari keenam partai, yaitu meraih 21.31%, kemudian diteruskan oleh PDIP 19.27%, Golkar 17.58%, Gerindra 15.07%, Hanura 12.50% dan paling sedikit adalah Nasdem 11.43%. Dalam strukur partai dan parlemen, kursi masih didominasi oleh laki-laki. Perempuan, minoritas seksual dan kelompok rentan lain, hampir-hampir tak terlihat dalam Pemilu 2014 kali ini.

Pertanyaan selanjutnya adalah, dengan diumumkannya pemenang hitung manual KPU (Komisi Pemilihan umum) atas pasangan JK yaitu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa: 62.576.444 (46,85 persen)  dan Joko Widodo-Jusuf Kalla: 70.997.833 (53,15 persen) (Sumber KPU, 22 Juli 2014)—apakah kemudian kabinet baru, strategi kebijakan eksekutif, dan eksekusi-eksekusi politik dari 2014-2019 akan berpihak pada perempuan dan kelompok minoritas? Seluruh gerakan perempuan, baik paradigmatik dan praktis, perlu bersinergi, bahu-membahu, untuk terus mengawal, mengkritisi, dan merawat naskah-naskah keadilan ini untuk peradaban yang setara di era mendatang. PSI sebagai partai baru mengemban amanat ini untuk tidak lagi menjadikan perempuan dan kelompok minoritas rentan lain sebagai liyan baru dalam peta politik Indonesia. Selamat mengemban amanat keadilan! Solidaritas atas emansipasi dunia baru bernama “kesetaraan”. 

*Penulis di Jurnal Perempuan

Recommended Posts