Peneliti Kebijakan Kependudukan
Pasca-2015 ada tiga laju besar dalam dinamika kependudukan yang perlu dicatat untuk agenda nasional pembangunan berkelanjutan dan pemuda memiliki posisi sangat sentral dalam mewujudkan keberhasilan pembangunan ini. Pertama, jumlah penduduk akan tetap terus meningkat dengan tingkat pertumbuhan yang terus menurun. Proyeksi Penduduk 2010-2035 (BPS, 2014) menunjukkan bahwa dari 2010 sampai 2035 jumlah penduduk Indonesia terus bertambah dari 237 juta jiwa menjadi 305 juta jiwa dengan Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) yang menurun dari 1,49% pada 2010 menjadi 0,6% pada 2035.
Kedua, Indonesia memasuki era bonus demografi atau surplus penduduk usia kerja yang pada saat ini mencapai hampir 70% dari seluruh penduduk. Ketiga , terjadi pergeseran pola mobilitas penduduk, dari perpindahan permanen dan jarak jauh, menjadi nonpermanen dan berjarak dekat atau kerap disebut komuter. Tulisan ini akan membahas poin ketiga, yaitu pergeseran pola mobilitas penduduk dan implikasinya yang menjadi sumber lahirnya format baru urbanisasi. Apa itu format baru urbanisasi? Kenapa dan di mana letak pentingnya pemberdayaan pemuda?
Budaya Komuter dan Urbanisasi
Budaya komuter erat kaitannya dengan pertumbuhan urban dan penyusutan rural atau urbanisasi. Mobilitas jarak dekat dan nonpermanen oleh penduduk sekitar area perkotaan dengan alasan ekonomi kerap disebut sebagai penyebab transformasi desa tempat mereka tinggal menjadi perkotaan seperti yang terjadi pada Kota Depok, Jawa Barat. Tercatat penduduk perdesaan terus menurun selama beberapa dekade terakhir hingga pada 2015. Survei kependudukan BPS (Supas) menunjukkan bahwa hari ini sudah lebih banyak penduduk di area perkotaan dibandingkan perdesaan.
Sebuah kajian berbasis Sensus Penduduk 2010 dari United Nations Population Fund (UNFPA) mengatakan bahwa tren peningkatan pesat penduduk perkotaan sebagian besar disebabkan oleh transformasi desa menjadi kota dibandingkan perpindahan penduduk dari desa menuju kota maupun angka kelahiran di lingkup urban. Masuknya sumber daya finansial dari kota induk tempat pelaku komuter bekerja ke desa dan kecamatan penyangga tempat pelaku komuter berdomisili disebut sebagai kontributor utama transformasi perdesaan menjadi perkotaan.
Fenomena ini menyebabkan terciptanya berbagai mega urban region (MUR) atau kota-kota yang terintegrasi secara sosial, kultural, dan ekonomi seperti Jabodetabek, Medan Pangrango, Bandung Raya, dan Surabaya Gerbangkertosusilo. Sistem perundang-undangan di Indonesia saat ini belum mengakomodasi fenomena MUR. Akibatnya, arah kebijakan dan pembangunan masih bersifat sporadis antara kota-kota dalam satu MUR yang bahkan kerap berbenturan seperti kebijakan pembuangan sampah oleh Pemprov DKI dan kebijakan penerimaan sampah oleh Pemkot Bekasi beberapa tahun silam.
Kedua, dari dimensi sosial dan ekonomi, kebijakan yang tidak tersinergi dan ketidakmerataan pembangunan antarkota MUR menyebabkan transfer kriminalitas antarkota MUR. Secara demografis, menurut Sensus Penduduk 2010 dan Supas 2015, sebagian besar pelaku mobilitas penduduk adalah mereka yang berusia produktif, terutama pemuda untuk tujuan bekerja maupun sekolah/kuliah. Tidak mengherankan jika BPS juga mencatat bahwa sebagian besar penduduk urban saat ini adalah mereka di usia produktif yang didominasi pemuda. Akibatnya, banyak masalah sosial di perkotaan yang terkait pemuda dan remaja seperti seks yang tidak bertanggung jawab, peredaran narkoba, tawuran dan begal, yang cepat sekali ditularkan dari satu kota ke kota lain di dalam satu MUR.
Respons UU dan Kebijakan
Terkait masalah-masalah ini Indonesia membutuhkan perangkat perundang-undangan sebagai payung hukum aturan main pemerintahan terintegrasi yang mencakup kota-kota administrasi MUR tanpa harus mengikis wewenang pemerintah kota/provinsi yang ada saat ini. Hal ini dibutuhkan untuk menghindari benturan maupun overlapping kebijakan antarkota administrasi di dalam MUR. Di tingkat kebijakan, diperlukan paket lima kebijakan bersama kota-kota MUR sebagai solusi dari permasalahan-permasalahan utama MUR di atas.
Pertama, diperlukan kebijakan bersama kota-kota administrasi MUR (selanjutnya disebut kebijakan MUR) untuk mengedukasi dan menyosialisasikan perilaku sosial dan kesehatan (termasuk kesehatan seksual dan reproduksi) yang bertanggung jawab terutama kepada pemuda. Kedua, diperlukan kebijakan MUR yang mendukung pendidikan dan pelatihan sesuai kebutuhan tenaga kerja industri atau potensi ekonomi di dalam area MUR.
Ketiga, diperlukan kebijakan MUR untuk meningkatkan tingkat layak huni kota-kota tersebut secara terintegrasi. Keempat, diperlukan kebijakan MUR untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, terutama pemuda dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan lintas kota administrasi. Terakhir, dibutuhkan kebijakan MUR untuk pemerataan pembangunan fasilitas dan infrastruktur, termasuk tata ruang, sarana dan prasarana penghubung kota-kota MUR.
Sebagai kesimpulan, agenda pembangunan nasional harus mengakomodasi tiga megatren kependudukan, salah satunya adalah lahirnya MUR di berbagai daerah di Indonesia. Fenomena ini melahirkan berbagai permasalahan ekonomi dan sosial. Untuk itu, diperlukan paket pembangunan berwawasan kependudukan, yakni pembangunan berorientasi manusia, perilaku, dan lingkungannya. Dibutuhkan koordinasi yang baik antarlembaga penyelenggara negara, baik itu lintas sektor, lintas tingkat, maupun lintas area administrasi agar kebijakan yang dihasilkan efektif dan efisien. (pur)