Putusan Majelis Hakim PN Depok, Jawa Barat, yang menjatuhkan vonis 20 tahun kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak kandungnya sendiri, layak diapresiasi. Demikian terungkap dalam diskusi online “Darurat Kekerasan Seksual, Mendampingi Korban Mencari Keadilan” yang digelar DPP PSI, Jumat 15 Juli 2022.
Salah seorang pendamping korban dari LBH DPP PSI, Francine “Noni” Widjojo mengatakan, vonis hakim tersebut lebih berat dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut terdakwa 18 tahun penjara.
“Yang kami apresiasi sekali adalah Majelis Hakim justru memutuskan yang lebih berat, diambil 20 tahun. Selain pidana penjara, dendanya juga dikenakan cukup besar, yaitu Rp 1 miliar,” kata Noni.
Selain mendampingi proses hukum korban, tambah Noni, LBH DPP PSI juga memperjuangkan agar korban menerima restitusi atau ganti rugi materiel dari pelaku yang tak lain adalah ayah kandung korban.
Meski nilai restitusi yang dikabulkan oleh Majelis Hakim lebih kecil daripada yang diajukan, Noni tetap bersyukur. Sebab, restitusi senilai Rp 76 juta itu sangat berarti bagi kelangsungan hidup korban ke depan.
“Di sini, yang dibantu juga oleh LBH DPP PSI adalah terkait dengan restitusi. Kita bisa bandingkan dengan berbagai kasus, menurut saya ini pencapaian yang cukup baik secara nilai, walaupun belum tentu dibayarkan,” ujar perempuan yang juga tergabung dalam Tim Advokasi Pejuang Hak Hidup Hewan itu
“Kami ajukan biaya hidup, kemudian kerugian imateriel, dan biaya pemulihan selama 6 tahun 7 bulan (selama penjara minimal), LPSK mengabulkan 12 bulan, tapi ini sudah cukup baik, dikabulkan biaya hidupnya, tempat tinggal selama 12 bulan. Ditambah lagi ada bantuan hidup sementara yang kami mintakan itu juga dikabulkan untuk 6 bulan,” imbuhnya.
Noni juga mengungkapkan, keterlibatan LBH DPP PSI dalam pendampingan korban kekerasan seksual yang sempat viral di media sosial Twitter itu karena diminta oleh Ibu korban.
Narasumber lain, Ketua DPC PSI Sukmajaya Depok, Francisca Dhita Wedhayanti, yang turut mendampingi korban sejak kasus ini mencuat, mengaku prihatin dengan lingkungan korban.
Menurutnya, alih-alih membantu mencari keadilan, lingkungan sekitar justru cenderung menghakimi korban. Kondisi ini, kata dia, membuat korban yang masih di bawah umur itu semakin trauma.
“Jangan menghakimi korban, ‘ah elo sih begini, begitu, jangan!’. Itu akan membuat trauma si korban,” sebut Wedha, panggilan akrabnya.
Belajar dari pengalaman itu, ucap Wedha, hal pertama yang paling dibutuhkan oleh korban kekerasan seksual adalah teman bicara yang dapat memulihkan rasa percaya diri dan mendorong keberanian korban untuk melapor ke Kepolisian.
“Ketika kita melihat atau mendengar peristiwa kekerasan seksual di sekitar kita, jangan menghakimi. Justru ajak ke Kepolisian untuk memberi laporan, kita harus memotivasi bahwa kita harus berani bersuara, walaupun pelaku adalah keluarga atau teman atau tetangga,” tuturnya.
Walaupun Majelis Hakim telah memvonis pelaku dengan hukuman berat, itu saja tidak cukup. Yang terpenting, lanjutnya, bagaimana menghilangkan trauma korban sehingga dia bisa kembali menjalani kehidupan normal.
“Saat teman-temannya sudah sekolah tatap muka, dia masih secara daring. Dia hanya ke sekolah untuk ambil tugas, kerjakan, kalau gak ngerti nanya sama saya. Lalu dia kembalikan lagi tugas sekolahnya. Udah, hanya sebatas itu. Karena dia masih mengalami ketakutan luar biasa, karena lingkungannya tidak mendukung korban,” papar dia.
Pada diskusi yang dimoderatori Juru Bicara DPP PSI, Ariyo Bimmo itu, Wedha pun menegaskan pentingnya edukasi seks sejak dini. Ini sebagai upaya untuk melawan tindakan pelecehan dan kekerasan seksual.
“Yang tak kalah penting adalah edukasi untuk mengenali dirinya, mana yang boleh dipegang orang lain dan mana yang tidak boleh. Edukasi mengenai alat kelamin itu penting, baik anak perempuan atau pun anak laki-laki,” pungkasnya