Partai Solidaritas Indonesia (PSI) kembali menegaskan urgensi pengesahan RUU Perampasan Aset yang mengandung klausul Pengayaan Tidak Sah dan Beban Pembuktian Terbalik. Hal ini disampaikan Ketua DPP PSI Bidang Hukum dan HAM, Ariyo Bimmo menyikapi terungkapnya kekayaan tidak wajar seorang pegawai Ditjen Pajak, menyusul insiden penganiyaan seorang anak di Jakarta.
“Netizen membongkar kekayaan (terlihat) yang diduga dimiliki oleh orang tua si tersangka penganiayaan. Rubicon itu minimal 1 Milyar. Harley ratusan juta. Kekayaan ditaksir 56 Milyar. Padahal jabatan eselon 3. Fantastis!!” ujar Bimmo.
Sayangnya, kekayaan yang diduga tidak wajar tersebut tidak dapat dimintakan pembuktiannya mengenai asal muasal harta tersebut. Dari LHKPN yang dilaporkan, beberapa temuan netizen tidak terlihat dan untuk meminta pembuktian terbalik, aparat belum memiliki dasar hukumnya.
“Disini dapat terlihat urgensi disahkannya RUU Perampasan Aset. Masyarakat dan aparat membeku melihat fenomena ini. Padahal mestinya, harta haram yang dibekukan,” tukas lulusan Universitas Groningen Belanda ini.
Menurut Bimmo, dengan dimasukannya klausul Pengayaan Tidak Sah (illicit enrichment) dan Beban Pembuktian Terbalik, maka pejabat yang dicurigai harta kekayaannya dapat dimintakan pertanggungan jawab dan dikenai tindakan perampasan aset bila terbukti kekayaannya tidak didapatkan secara sah.
“DPR perlu lebih peka. Apakah mungkin RUU ini tidak kunjung selesai karena ada kepentingan dari anggota DPR sendiri?” tanya Bimmo.
PSI berpendapat, permasalahan korupsi tidak akan selesai selama harta haram masih bebas berkeliaran dan menjadikan pidana kurungan terlihat ringan dijalani. Menurut PSI, tidak ada alasan untuk menunda RUU yang naskah akademiknya sudah sangat baik disusun dari tahun 2012, kecuali bila DPR khawatir UU tersebut akan berdampak pada dirinya sendiri.
“Political will, itikad baik atau apapun itu tetap kami tunggu. Bila tidak selesai juga, tunggu kami di Senayan,” tutup Bimmo